Rif'an Haqiqi
Kolomnis
Inti dari segala ilmu syariat terletak pada tiga disiplin ilmu, yaitu tafsir, hadits, dan fiqih. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari Jilid I (Mesir, Maktabah Salafiyyah, 1970: 141) menyatakan bahwa:
وَالْمُرَادُ بِالْعِلْمِ الْعِلْمُ الشَّرْعِيُّ الَّذِي يُفِيدُ مَعْرِفَةَ مَا يَجِبُ عَلَى الْمُكَلَّفِ مِنْ أَمْرِ عِبَادَاتِهِ وَمُعَامَلَاتِهِ، وَالْعِلْمُ بِاللَّهِ وَصِفَاتِهِ، وَمَا يَجِبُ لَهُ مِنَ الْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، وَتَنْزِيهِهِ عَنِ النَّقَائِصِ، وَمَدَارُ ذَلِكَ عَلَى التَّفْسِيرِ وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ
Artinya, "Ilmu yang dijelaskan keutamaannya dalam Al-Qur'an adalah ilmu syariat. Yaitu ilmu yang berisi tentang kewajiban bagi orang mukallaf dalam beribadah (ibadah), bertransaksi (muamalah), dan berkeyakinan (tauhid). Pokok dari itu semua ada pada ilmu tafsir, hadits, dan fikih."
Oleh karena itu, di antara sekian banyak ulama yang ahli dalam berbagai bidang ilmu sepanjang sejarah Islam, tiga ilmu tersebutlah yang paling banyak memiliki pakar. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga ilmu tersebut adalah yang paling banyak ditekuni. Namun, tidak banyak yang menguasai ketiganya sekaligus. Di antara yang sedikit itu adalah Al-Imam 'Utsman bin 'Abdurrahman Asy-Syahrazuri, yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Shalah, seorang ulama bermadzhab Syafi'i.
Al-Imam Ibn Khallikan, seorang ulama yang ahli dalam fikih, sejarah, dan sastra, serta salah seorang murid Ibnu Shalah, menceritakan kepakaran gurunya, sebagaimana dikutip dari karya Adz-Dzahabi, Siyar A'lamin Nubala' Jilid XXIII (Beirut, Mu'assasatur Risalah, 1985: 142):
وكان تقي الدين أحد فضلاء عصره في التفسير والحديث والفقه ، وله مشاركة في عدة فنون، وكانت فتاويه مسددة، وهو أحد شيوخي الذين انتفعت بهم، أقمت عنده للاشتغال، ولازمته سنة
Artinya, "Syekh Taqiyuddin (Ibnu Shalah) adalah salah satu ulama terkemuka pada masanya dalam bidang tafsir, hadits, dan fiqih, serta memiliki kontribusi dalam berbagai disiplin ilmu lainnya. Fatwa-fatwanya selalu tepat dan bermanfaat. Dia adalah salah satu guruku yang banyak memberikan manfaat, saya tinggal bersamanya untuk belajar dan mendampinginya selama satu tahun."
Ibnu Shalah lahir di Syarkhan, sebuah desa dekat Syahrazur, yang merupakan bagian dari kota Erbil, Irak, pada tahun 577 H. Ayahnya adalah seorang ulama ahli fikih yang menjabat sebagai mufti dan dijuluki Shalahuddin.
Nama Ibnu Shalah sendiri berasal dari nama ayahnya, yang secara harfiah berarti "putra Shalahuddin." Ayahnya merupakan guru pertama bagi Ibnu Shalah. Keterangan ini dikutip dari Adz-Dzahabi dalam Siyar A'lam an-Nubala, jilid XXIII, halaman 140, serta dari Nuruddin 'Itr dalam Muqaddimah Tahqiq Ma'rifat 'Ulum al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), halaman 7.
Setelah menyelesaikan belajar di bawah bimbingan ayahnya, Ibnu Shalah berkelana ke berbagai kota untuk menuntut ilmu. Ia tercatat pernah belajar di Mosul, Baghdad, Hamadan, Naisabur, Marwa, dan Damaskus, di mana ia menuntut ilmu dari para ulama terkenal di kota-kota tersebut. Di antara para gurunya adalah:
Al-Imam Abul Muzhaffar As-Sam'ani, seorang pakar ilmu akidah yang sangat dihormati. Al-Hafizh Ibn 'Asakir, seorang ulama ahli fikih madzhab Syafi'i, hadits, dan sejarah. Kemudian al-Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah, seorang ahli hadits dan fikih madzhab Hanbali.
Setelah menguasai berbagai ilmu dari para gurunya, Ibnu Shalah mulai mengajar dan membagikan ilmunya. Ia pertama kali mengajar di Madrasah Shalahiyyah, Baitul Maqdis, sebelum akhirnya pindah dan menetap di Damaskus, di mana ia mengajar di Madrasah Rawahiyyah.
Kemudian, ketika Raja Al-Asyraf, keponakan Shalahuddin Al-Ayyubi, mendirikan Darul Hadits Al-Asyrafiyyah, ia menunjuk Ibnu Shalah sebagai guru besar di madrasah tersebut, sebagaimana dikutip dari Adz-Dzahabi dalam Siyar A'lamin Nubala, jilid XXIII, halaman 141.
Selain dikenal dengan keilmuannya, Ibnu Shalah juga dikenal dengan kesalehannya. Berikut adalah kesaksian para ulama tentang dirinya, dimulai dari muridnya, Ibnu Khallikan, yang berkata dalam kitabnya Wafayatul A'yan Jilid III (Beirut, Dar Shadir, 1994: 244):
وكان من العلم والدين على قدم حسن، وقدمت عليه في أوائل شوال سنة اثنتين وثلاثين وستمائة، وأقمت عنده بدمشق ملازم الاشتغال مدة سنة
Artinya, "Ia memiliki ilmu dan agama yang sangat baik. Saya datang kepadanya pada awal bulan Syawal tahun 632 H dan tinggal bersamanya di Damaskus, mendampinginya untuk belajar selama satu tahun penuh."
Selain itu, muridnya yang bernama 'Umar Ibnul Hajib, seorang ulama ahli hadits dan fikih madzhab Maliki yang sezaman dengan beliau, memberikan kesaksian sebagaimana yang dikutip dalam Siyar A'lam an-Nubala (jilid XXIII, halaman 142):
إِمَامٌ وَرِعٌ، وَافرُ العَقْلِ، حَسَنُ السَّمتِ، مُتبحِّرٌ فِي الأُصُوْلِ وَالفُرُوْعِ، بِالغَ فِي الطَّلَبِ حَتَّى صَارَ يُضْرَبُ بِهِ المَثَلُ، وَأَجهَدَ نَفْسَهُ فِي الطَّاعَةِ وَالعِبَادَةِ.
Artinya, ""Ibnu Shalah adalah seorang imam yang wara', cerdas, dengan perilaku yang baik, menguasai ilmu ushul dan furu' dengan mendalam. Ia sangat giat dalam menuntut ilmu hingga menjadi contoh teladan bagi para pelajar. Ia juga sangat tekun dalam beribadah."
Ibnu Shalah mewariskan beberapa karya pada khazanah keilmuan Islam, kitab-kitab karya beliau di antaranya adalah Ma'rifatu Anwa'i 'Ulumil Hadits, Al-Amali, Adabul Mufti wal Mustafti, Syarh Shahih Muslim, Fatawa, Shilatun Nasik, Fawaidur Rihlah, Al-Mu'talaf wal Mukhtalaf fi Asma'ir Rijal, dan Syarh Al-Wasith. Di antara karya-karya beliau, nama pertama adalah sebuah karya fenomenal dalam bidang ilmu hadits, kitab tersebut populer dengan sebutan Muqaddimah Ibnu Shalah.
Kitab tersebut merupakan materi yang beliau sampaikan saat mengajar di Darul Hadits. Beliau mendiktekan kitab ini selama kurang lebih empat tahun, dan dicatat oleh para muridnya. Beliau memulai penulisannya pada tanggal 7 Ramadhan 600 H, dan menyelesaikannya pada hari Jum'at terakhir di bulan Muharram 634 H.
Kitab ini menjadi salah satu karya terpenting dalam ilmu hadits yang paling banyak diminati, serta menjadi acuan utama bagi para ulama setelahnya. Hal ini tidak terlepas dari keistimewaan dan keunggulannya dibandingkan dengan kitab-kitab ilmu hadits lainnya.
Dalam kitab ini, Ibnu Shalah mengumpulkan warisan ilmu hadits yang telah ditulis oleh para ulama sebelumnya, seperti kitab-kitab karya Al-Khathib Al-Baghdadi, Al-Hakim, Ar-Ramahurmuzi, dan ulama-ulama lainnya.
Namun, Ibnu Shalah tidak sekadar mengulang penjelasan dari ulama-ulama sebelumnya; ia menelitinya dengan teliti dan seringkali memberikan kritik. Ia juga menyusun kembali batasan-batasan (dhawabith) dalam ilmu hadits yang telah ada sebelumnya. Keterangan ini dikutip dari kitab Nuruddin 'Itr, Muqaddimah Tahqiq Ma'rifat 'Ulum al-Hadits, halaman 19-21.
Kitab ini mendapat banyak sanjungan dari berbagai ulama, salah satunya dari Al-Hafizh Zainuddin Al-'Iraqi dalam karyanya At-Taqyid wal Idhah (Madinah, Maktabah Salafiyyah, t.t.: 11), yang menyatakan:
فإن أحسن ما صنف أهل الحديث في معرفة الاصطلاح كتاب علوم الحديث لابن الصلاح
Artinya, "Sungguh kitab ilmu hadits terbaik yang pernah ditulis adalah kitab Ibnu Shalah."
Burhanuddin Al-Abnasi, seorang pakar fikih Syafi'i yang merupakan teman dekat Al-Hafizh Al-'Iraqi dan guru dari Al-Hafizh Ibnu Hajar, menyebutkan dalam karyanya Asy-Syadzal Fayyah (Riyadh, Maktabah Ar-Rusyd, 1998: 63):
وأحسن تصنيف فيه وأبدع وأكثر فائدة وأنفع علوم الحديث للشيخ العلامة الحافظ تقي الدين أبو عمرو بن الصلاح
Artinya, "Kitab ilmu hadits terbaik, terindah, paling banyak faidah dan manfaatnya adalah kitab 'Ulumul Hadits karya Syekh 'Allamah Al-Hafizh Taqiyuddin Abu 'Amr Ibnu Shalah."
Kemudian, terdapat komentar apresiatif dari Badruddin Az-Zarkasyi yang dimuat dalam karyanya An-Nukat Jilid I (Riyadh, Adhwa'us Salaf, t.t.: 9):
وَجَاء بعدهمْ الإِمَام أَبُو عَمْرو بن الصّلاح فَجمع مفرقهم وحقق طرقهم وأجلب بِكِتَابَة بَدَائِع الْعجب وأتى بالنكت والنخب حَتَّى اسْتوْجبَ أَن يكْتب بذوب الذهب
Artinya, "Setelah para ulama tersebut, datanglah Imam Abu 'Amr Ibnu Shalah, beliau mengumpulkan ilmu para pendahulunya yang tersebar di berbagai kitab dan meneliti pendapat-pendapatnya. Lalu beliau menulis kitab yang penuh keindahan yang menakjubkan, faidah-faidah, dan ilmu-ilmu pilihan, hingga kitab tersebut layak ditulis dengan tinta emas."
Ibnu Shalah mengisi hari-harinya dengan tekun menuntut ilmu dan beribadah, menjadikannya sosok yang sangat dihormati dalam dunia keilmuan. Ia terus mengabdikan hidupnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada hari Rabu, 25 Rabi'ul Akhir 643 H. Beliau meninggalkan warisan ilmu yang sangat berharga, terutama dalam bidang ilmu hadits, yang terus menjadi rujukan bagi para ulama hingga generasi berikutnya.
Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo
Terpopuler
1
Susunan Lengkap Pengurus Besar PMII 2024-2027
2
Duduk Perkara Persoalan JATMAN: Munculnya PATMAN hingga Ikhtiar PBNU Mencari Solusi
3
Khutbah Jumat: 4 Amal Ibadah Penghantar Menuju Surganya Allah
4
KH Achmad Chalwani dan KH Ali Masykur Musa Pimpin JATMAN 2024-2029
5
Khutbah Jumat: Meniti Jalan Menuju Surga
6
Khutbah Jumat: Mari Mendidik Anak dengan Tidak Memanjakannya
Terkini
Lihat Semua