Siang itu, pria berumur 34 tahun pergi ke alun-alun Tasikmalaya. Dia kemudian berdiri tegap di atas babancong, podium terbuka yang tak jauh dari pendopo kabupaten. Ia berpidato, menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan yang sudah diraih bangsa Indonesia cocok dengan perjuangan Islam.
Menurut dia, kemerdekaan harus dipertahankan dan jangan sampai jatuh kembali ke tangan penjajah. Ia meneriakkan pekik merdeka seraya menghunus pedangnya itu.
Dialah Ajengan Ruhiat, tokoh pertama di Tasikmalaya yang melakukan hal itu, tak lama setelah berita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia sampai ke Cipasung. Dialah tokoh NU yang berjuang, bersama kiai-kiai lain untuk membesarkan NU di daerah tersebut.
Seblumnya, sebagai seorang pejuang, Ajengan Ruhiat dipenjara tak kurang dari empat kali. Pertama, pada tahun 1941 ia dipenjara di Sukamiskin selama 53 hari bersama pahlawan nasional KH Zainal Mustofa. Alasan penahanan ini karena Pemerintah Hindia Belanda cemas melihat kemajuan Pesantren Cipasung dan Sukamanah yang dianggap dapat menganggu stabilitas kolonial.
Kedua, bersama puluhan kiai ia dijebloskan ke penjara Ciamis. Ia hanya tiga hari di dalamnya karena keburu datang tentara Jepang yang mengambil alih kekuasaan atas Hindia Belanda tahun 1942.
Ketiga, tahun 1944 ia dipenjara oleh pemerintah Jepang selama dua bulan, sebagai dampak dari pemberontakan KH Zainal Mustofa di Sukamanah. Pada saat itu, Ajengan Cipasung dan Sukamanah lazim disebut dua serangkai dan sama-sama aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Keempat, ia dijebloskan ke penjara Tasikmalaya, lalu dipindahkan ke Sukamiskin selama 9 bulan pada aksi polisional kedua tahun 1948-1949, dan dibebaskan setelah penyerahan kedaulatan.
Dari beberapa kali penangkapannya, membuktikan bahwa Ajengan Ruhiat sangat tidak kooperatif terhadap penjajah Belanda sehingga sangat dibenci. Sebelum masuk penjara yang terakhir itu, sepasukan tentara Belanda datang ke pesantren pada waktu ia sedang Shalat Ashar bersama tiga orang santri. Tanpa peringatan apapun, tentara Belanda memberondong tembakan. Ajengan Ruhiat selamat, tapi dua santrinya tewas seketika.
***
Ajengan Ruhiat adalah ayahanda Rais Aam PBNU 1994-1999 KH Ilyas Ruhiat atau kakeknya pelukis dan penyair Acep Zamzam Noor. Dalam NU, Ajengan Ruhiat pernah jadi A’wan Syuriyah PBNU periode 1954-1956 dan 1956-1959.
Ajengan Ruhiat konsisten memilih jalur pesantren sebagai perjuangan sebagai pengabdiannya, bahkan sebagai tarekatnya. “Tarekat Cipasung adalah mengajar santri,” demikian kesaksian HM. Ihrom, salah seorang pengagum Ajengan Ruhiat dari Paseh, Tasikmalaya.
Ajengan Ruhiat lahir 11 Nopember 1911 dan wafat 28 Nopember 1977. Hari wafatnya bertepatan dengan 17 Dzulhijjah 1397.
Kiai Ruhiat masuk NU sekitar tahun 1933 disamping mengelola pesantren. Inovasi pendidikan pesantren Cipasung tampak pada tahun 1935 dengan didirikannya Madrasah Diniyyah. Sekolah agama pertama di Pesantren Cipasung. Selanjutnya, pada tahun 1937 didirikan Kursus Kader Muballighin wal Musyawwirin (KKMM). (Abdullah Alawi)