Tokoh

KH Moh Tolhah Mansoer, Ahli Hukum Tata Negara Pertama

Kamis, 20 Oktober 2016 | 01:00 WIB

KH Moh Tolhah Mansoer, Ahli Hukum Tata Negara Pertama

KH Moh Tolhah Mansoer.

Oleh Muhtar Said

Prof KH Mohammad Tolhah Mansoer (akrab dipanggil dengan nama Tolhah) lebih dikenal sebagai seorang Kyai dan penggerak daripada seorang aktor intelektual dalam bidang hukum tatanegara. Padahal beberapa karya dan pemikirannya telah mampu memberikan sumbangsih terhadap perkembangan ilmu hukum tatanegara di Indonesia.

Pada tahun 1969 dibawah bimbingan Prof. Abdul Gaffar Pringgodigdo, Tolhah mampu merampungkan disertasinya yang berjudul “Pembahasan Beberapa Aspek tentang Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia”. Disertasinya diselesaikan melalui kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Bagi Tolhah, kekuasaan eksekutif dan legislatif perlu dibedakan, kedua jenis kekuasaan tersebut tidak bisa dicampuradukan ranah kerjanya. Hal ini diperlukan supaya model check and balance diantara keduanya terjaga. Kedua ranah kekuasaan tersebut harus mempunyai pekerjaan yang berbeda.

Untuk menjaga agar dua wilayah kekuasaan itu maka, dibutuhkan Balance of Power supaya tidak ada ketimpangan diantara keduanya. Ketika kedua lembaga kekuasaan tersebut mempunyai kekuatan yang berimbang maka tidak akan ada yang seenaknya memonopoli kebijakan.

Tholhah menyadari betul arti pentingnya balance of power, sehingga pemikirannya itu ia catat dalam karyanya. Melihat itu semua maka, tidak heran jika isi disertasi Tolhah tentang gambaran ideal mengenai ranah kerja eksekutif dan legislatif. Bisa jadi, apabila penemuan-penemuan Tolhah yang tercantum dalam disertasinya itu diterapkan kedalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, memungkinkan bisa menjadi pedoman bagi Indonesia menuju good govenernance.

Karya Tolhah menjadi istimewa lagi, karena pada waktu yang bersamaan muncul gelombang liberalisasi politik, ekonomi, dan kebudayaan di seluruh dunia (Jimly Asshiddiqie, 2006 :65). Sehingga Tolhah “ditantang” untuk memberikan karya otentik yang bercirikhas budaya Indonesia, bukan malah menjadi agen dari paham liberal yang mudah diterima oleh banyak kalangan cendekiawan di bumi nusantara ini. 

Sebagai orang yang lahir dari kalangan santri, Tolhah juga tidak menginginkan adanya faham liberal yang menguasasi sendi-sendi sistem ketatanegaraan Indonesia. Namun, Tolhah sendiri juga tidak menginginkan adanya sistem totalitarian menguasai Indonesia. Dalam hal mencermati fenomena ini, Tolhah menggunakan cara-cara Nahdlatul Ulama (NU) yakni menggunakan cara pandang tawasuth, berpikiran tengah-tengah atau moderat dalam menyikapi sesuatu. 

Ahli Hukum Tata Negara Pasca Proklamasi

Cara pandang moderat ini digunakan oleh Tolhah ketika mengkaji sistem pemerintahan di Indonesia. Pada tahun 60-an sistem pemerintahan Indonesia terdapat ketidakjelasan pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif. Pada masa ini, eksekutif lebih berkuasa daripada legislatif, sehingga eksekutif bisa dengan mudahnya mengontrol tugas dan wewenang legislatif.

Wilayah eksekutif menjadi lebih istimewa daripada legislatif itu tidak bisa dipungkiri pada waktu orde lama dan orde baru berkuasa, karena pada waktu itu pemerintah menganut faham negara integral, kekuasaan terpusat. Keistimewaan ini terjadi dibanyak hal, termasuk dalam ranah “pendapatan”. Mahbub Junaidi seorang intelektual muda saat itu pernah menyindir melalui tulisannya yang berjudul “Demokrasi: Martabat dan Ongkosnya”. Tulisan ini menceritakan tentang lemahnya organ legislatif di Indonesia. 

Tolhah merupakan ahli hukum tatanegara yang berani menyuarakan adanya ketidakberesan sistem tatanegara Indonesia. Dalam hal menyuarakannya, Tolhah lebih memilih melalui jalur akademik, salah satunya melalui karya disertasinya yang berjudul “Pembahasan Beberapa Aspek tentang Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia”.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, disertasi Tolhah itu lahir di tengah-tengah gelombang liberalisasi politik dan otoritarianisme eksekutif yang “menyelimuiti” wajah sistem pemerintahan di Indonesia memberikan daya tarik tersendiri bagai para kalangan akademisi hukum tatanegara masa kini, karena dirasa mampu menjaga orisinalitas pemikiran, tidak condong mengikuti arus yang digelontorkan oleh bangsa barat ke Indonesia, juga tidak menjadi legitimasi akademik bagi pemerintahan otoriter pada waktu itu.

Keunikan karya yang dibuat oleh Tolhah tersebut mampu menjadi daya tarik bagi ahli hukum tatanegara saat ini untuk merujuknya. Jimly Asshiddiqie dan Mahfud merupakan tokoh atau ahli hukum tata negara kekinian yang sering merujuk karya Tolhah.

Pemikiran Tholhah dalam sistem ketatanegaraan ini, seolah-olah menjadi jembatan antara ilmu tatanegara sebelum prokalamasi dengan perkembangan ilmu tatanegara pasca proklamasi. Hal itu bisa terjadi karena karyanya lahir di tengah-tengah peralihan pemerintahan orde lama ke pemerintahan orde baru.

Soepomo dan Muhammad Yamin Ahli apa?

Tholhah bersama Ismail Suny (Fakultas Hukum Universitas Indonesia) merupakan generasi awal munculnya ahli hukum (murni) tatanegara di Indonesia semenjak proklamasi dikumandangkan. Sebelum Ismail Suny dan Tolhah, Indonesia belum pernah mempunyai sosok ahli hukum yang memang murni bergerak dalam hukum tatanegara. 

Bisa jadi gelar tersebut (ahli hukum tatanegara murni) dianggap berlebihan, karena sebelum era Tolhah dan Ismail Suny sudah ada orang-orang yang mempunyai peran (lebih daripada Tolhah dan Ismail Suny) dalam membangun sistem negara Indonesia, yakni Soepomo dan Muhammad Yamin.

Tidak bermaksud merendahkan Soepomo dan Muhammad Yamin, kedua punggawa ini merupakan ahli hukum tatanegara yang dilahirkan bukan dari rezim ilmu hukum tatanegara. Soepomo merupakan ahli hukum yang lahir dari rezim ilmu hukum adat. Soepomo ditasbihkan sebagai ahli hukum tatanegara, karena ada unsur “keterpaksaan”. Pada saat sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Soekarno tidak mempunyai ahli hukum lain yang mampu membuat draff Undang-Undang Dasar (UUD) kecuali Soepomo. Demi percepatan, maka dengan isidental Soekarno menyuruh Soepomo untuk membuat UUD. Dari peristiwa ini jadilah nama Soepomo dikenang sebagai penata sistem ketatanegaraan Indonesia, sehingga banyak kalangan yang melabelinya sebagai ahli hukum tatanegara juga.

Sedangkan Muhammad Yamin mempunyai cerita lain. Tidak bisa dipungkiri peran Yamin dalam menata sistem pemerintahan republik Indonesia sangat terasa, terutama dalam hal merumuskan sistem unitaris di Pemerintahan Indonesia. Adanya pemerintahan pusat sampai dengan pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan dari usulannya. Meskipun demikian, sistem-sistem tersebut bukanlah murni dari dirinya sendiri.

Di dalam karyanya Yamin yang berjudul “Sapta Parwa”, dirinya lebih banyak menceritakan sistem pemerintahan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Bagi Yamin, sistem pemerintahan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya itu akan cocok diterapkan sebagai sistem pemerintahan. Jadi, pemikiran Yamin berisikan anjuran untuk meniru, meskipun ada beberapa inovasi yang telah dibuat oleh Yamin.  

Dari sinilah kemudian banyak orang yang menyebut Yamin sebagai ahli sejarah, bukan hanya itu saja, Yamin juga dijuluki sebagai ahli bahasa, karena peranannya dalam menata bahasa Indonesia. Kedua gelar ini mampu menyisihkan pemikiran ketatanegaraan yang dimiliki oleh Yamin.

Supaya tidak terkesan membandingkan pemikiran Tolhah dengan Soepomo dan Yamin maka, penulis memberikan gelar kepada Tolhah sebagai ahli hukum tatanegara pasca proklamasi. Sedangkan Soepomo dan Yamin merupakan tokoh hukum yang lahir sebelum Proklamasi.***

Penulis adalah Alumni Ponpes Al-Barokah, Penggaron Kidul, Semarang; Dosen Ilmu Hukum di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta.