Tokoh

KH Muhammad Masthuro, Tokoh NU dari Sukabumi

Selasa, 24 Maret 2020 | 16:08 WIB

KH Muhammad Masthuro 
Ajengan KH Muhammad Masthuro adalah pendiri Pondok Pesantren Al-Masthuriyyah, Babakan Tipar, Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat. Ia lahir di Kampung Cikaroya, Tipar, Sukabumi pada tahun 1901. 
Masa kanak-kanak Masthuro belajar kepada ayahnya bernama Kamsol, seorang amil atau lebe yang bertugas mengurusi masalah keagamaan di desa. Kemudian ia berguru kepada kiai-kiai di Sukabumi diantaranya: H. Asy’ari (dari tahun1909 sampai 1911) K.H. Katobi (dari1911sampai 1914) K.H. Hasan Basri (tahun 1914 sampai 1915) K.H. Muhammad Kurdi (tahun 1914 sampai 1915), K.H. Ghazali (dari 1915-1916) K.H. Muhammad Sidiq (tahun1916-1916) K.H. Ahmad Sanusi (tahun 1918 sampai 1920).

Kemudian ia belajar kepada Al Habibib Syekh Ibnu Salim Al Attas, guru para ajengan Sukabumi. KH Masthuro merupakan santrinya yang paling disayang, sehingga sebelum wafat, Habib Syekh berpesan supaya dikebumikan di samping KH Masthuro. Kedua ulama tersebut dimakamkan berdampingan di Pesantren Al-Masthuriyah.

KH Masthuro memiliki 13 putra dan putri. Salah seorang putranya, almarhum KH E. Fachrudin Masthuro, pernah menjabat Wakil Rais ‘Aam PBNU, hingga wafatnya menjadi salah seorang Musytasayar PBNU. 

Sebagai seorang yang hidup di masa penjajahan Belanda, KH Masthuro memperlihatkan keberaniiannya. Ia melindungi para pejuang dan rakyat Indonesia. Sering penjajah memeriksa pesantrennya, tetapi K.H. Masthuro tidak menyerahkan mereka yang meminta perlindungan itu, sekalipun penjajah menodongkan senjata kepadanya.

Sebelum wafat, K.H. Masthuro mewasiatkan 6 hal kepada anak-anak dan mantu-mantunya, yaitu: 1. Kudu ngahiji dina ngamajukeun Pesantren, Madrasah. Ulah Pagirang-girang tampian. (harus bersatu untuk kemajuan pesantren) 2) Ulah hasud (jangan hasud) .3) Kudu nutupan kaaeban batur,(harus menutupi aib orang lain) 4.) Kudu silih pikanyaah, (saling mengasihi) 5.) Kudu boga karep sarerea hayang mere,(suka memberi) 6.) Kudu mapay thorekat anu geus dijalankeun ku Abah (harus mengikuti tarekat KH Masthuro).

Wasiat tersebut, hingga kini menjadi pegangan keturunan dan penerus KH Masthuro di pesantren Al-Masthuriyah. Wasiat tersebut, terutama yang poin pertama, dalam keberlangsungan lembaga pendidikan memiliki makna penting untuk menanamkan dan memperkuat lembaga yang dirintisnya. Wasiat ini diungkapkan dengan jelas agar para pewaris perjuangan KH Masthuro tidak sulit menafsirkan maknanya. Dan sluruh putra-putrinya 100% tinggal di kompleks pesantren tersebut untuk turut serta mengembangkan Al-Masthuriyah. Dan hanya sekitar 20% cucunya yang tidak tinggal di Al-Masthuriyah. Lembaga pendidikan di Pesantren Al-Masthuriyah sudah lengkap mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi.. 

KH Masthuro mengarang kitab berjudul Kaifiyatus Solat, tebal 89 halaman, yang ditulis dengan bahasa Arab. Kitab ini merupakan tukilan dari berbagai kitab yang membahas bab solat, mulai dari Safinatun Naja, Sulam Munajat, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, tapi lebih banyak dari kitab Bajuri. Kitab ini ditulis dengan bahasa Arab yang mudah dipahami.   
 
KH Muhammad Masthuro dan NU
Pondok pesantren Al-Masthuriyah pernah melahirkan seorang Wakil Rais Aam PBNU, yakni KH E. Fakhruddin Masthuro. Ia tiada lain merupakan putra dari KH Muhammad Masthuro. Wakil rais aam, bukan kedudukan yang main-main di NU, tapi menempati posisi kedua dalam pimpinan tertinggi, setelah rais aam. Dan tentu, orang yang terpilih menjadi wakil rais aam adalah kiai yang secara organisasi dan keilmuan sudah terverifikasi oleh para kiai lain.  
 
Partiapasi politik Kiai Masthuro dimulai tahun 1955 pada saat pemilu pertama kali diselenggarakan di Indonesia, Mama saat itu memutuskan memilih partai NU sebagai wadah aspirasi politiknya.
 
Lalu bagaimana asal-mula KH Masthuro menjadi NU?
 
Menurut salah seorang cucu KH Masthuro, Endang Iskandar, kemungkinan besar kakeknya mulai aktif di NU sejak 1952. NU dipilih sebagai saluran aspirasi politik merupakan ijtihad politik Kiai Masthuro.
 
Menurut dia, ini adalah ijtihad politik yang luar biasa mengingat saat itu NU bukanlah partai populer di Jawa Barat yang merupakan basis Masyumi dan PNI.  Bahkan NU masih kalah populer dibandingkan PKI. Ketidak populeran NU saat itu sebagai akibat keluarnya NU dari Masyumi tahun 1952.  Pilihan Kiai Masrhuro kepada NU sebagai partai politik tidak lepas pada pilihan-pilihan rasional,  bisa jadi salah satu pertimbangan adalah karakter keagamaan dan karakter politik NU yang moderat dan tidak kaku dalam menghadapi persoalan kehidupan politik bangsa Indonesia.
 
Sepeninggal Kiai Masthuro, pada Pemilu tahun 1971 suara keluarga besar dan santri Al-Masthuriyah tetap disalurkan pada NU bahkan ketika NU dipaksa disatukan dalam PPP, Al-Masthuriyah tetap mendukungnya, hal ini bisa dilihat dari militansi keluarga besar Al-Masthuriyah dibawah Trio Kepemimpinan KH Syihabudin, KH Fakhrudin dan KH Aziz Masthuro konsisten mendukung PPP setidaknya sampai pada pemilu 1982.
 
Sejalan dengan Khittah NU 1926 tahun 1984 dimana NU keluar dari PPP, pada pemilu 1987, suara keluarga besar Al-Masthuriyah tidak hanya disalurkan ke PPP sebagian menyalurkanya kepada Golkar. Kemudian, pasca reformasi, ijtihad politik  dilanjutkan oleh KH E. Fakhrudin Masthuro, yakni pada tahun 1999, ia turut serta mendeklarasikan PKB di Kabupaten Sukabumi. 
 
Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Alhafiz Kurniawan