Jika sebagian pengamat berkata bahwa mayoritas para kiai pesantren sudah terserap dalam dunia politik praktis, maka anggapan itu tak sepenuhnya benar. Beberapa bulan terakhir, saya lumayan rajin beranjangsana berjumpa dengan banyak kiai pesantren yang masih konsisten di jalur pendidikan. Mereka sibuk melakukan kerja-kerja sosial, mengedukasi masyarakat, tak terpesona dengan hiruk pikuk perebutan politik kekuasaan. Para kiai yang berjuang di jalur kultural, membimbing umat Islam, umat Nabi Muhammad SAW.
Mari kita berkunjung ke pulau Madura. Dari Pelabuhan Kalianget Sumenep, kita bergerak ke timur. Dengan menaiki kapal laut selama tiga jam, maka kita akan tiba di gugusan pulau-pulau nan indah. Dari deretan pulau-pulau itu, Pulau Kangean adalah yang terbesar. Di tengah pulau itu ada seorang kiai sepuh. Usianya sudah mencapai 92 tahun. Di kelilingi ratusan santri. Sang kiai masih istiqomah menjadi imam shalat berjemaah lima waktu. Membimbing para santri membaca kitab-kitab Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Beliau adalah KH Syarfuddin Abdus Shomad, lahir pada 1925, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Huda Duko Lao’ Arjasa Kangean Sumenep Madura, Jawa Timur. Silsilahnya adalah Kiai Syarfuddin ibn Kiai Abdus Shomad ibn Kiai Daud ibn Kiai Damsyiah ibn Kiai Abdul Bari. Menurut Kiai Syarfuddin, Kiai Abdul Bari adalah murid Sunan Giri yang diutus untuk menyebarkan Islam hingga ke Pulau Kangean.
Melanjutkan khittah perjuangan leluhurnya, Kiai Syarfuddin tak bosan membimbing masyarakat agar mereka mengerti pokok-pokok ajaran Islam. Hari-harinya penuh dengan aktivitas peribadatan, dari habis subuh hingga malam. Di samping mengerjakan yang wajib, beliau sangat rajin mengerjakan perkara-perkara sunnah. Bahkan, doa-doa di setiap basuhan dan usapan dalam wudhu’ seperti dianjurkan Imam Ghazali, beliau amalkan.
Tak mudah menemukan sosok kiai seistiqomah Kiai Syarfuddin. Coba perhatikan aktivitas kesehariannya. Selesai shalat subuh, Kiai Syarfuddin memanjangkan wiridnya hingga matahari terbit di ufuk timur. Berlanjut dengan membaca kitab-kitab utama buat para santri seperti kitab Bidayatul Hidayah dan Fathul Qarib. Selesai melaksanakan shalat dhuha 8 rakaat, sang kiai mengajar di madrasah hingga menjelang shalat zuhur.
Tidur qailulah sebentar, lalu menjadi imam shalat zuhur. Usai shalat, Kiai Syarfuddin memberi pengajian kitab yang lebih tinggi seperti kitab Mutammimah dan Ibnu Aqil. Usai menjadi imam shalat ashar, kembali ke madrasah hingga menjelang maghrib. Usai shalat maghrib, menerima setoran bacaan al-Qur’an para santri hingga Isya’. Usai shalat Isya’, menerima para tamu dari berbagai desa hingga larut malam. Habis Isya’, pada malam Selasa dan Jum’at, beliau membaca Kitab Kifayatul Atqiya’.
Sementara pada hari libur pesantren, seperti Hari Jum’at, waktu Kiai Syarfuddin sepenuhnya didedikasikan buat masyarakat. Menyelesaikan soal-soal kemasyarakatan, mulai dari kasus-kasus keluarga hingga kasus kriminal. Konflik-konflik keluarga bisa mudah ditangani karena kepercayaan tinggi masyarakat kepada beliau. Begitu juga, kasus kriminal seperti carok yang kerap terjadi bisa dilerai dan diselesaikan sehingga tak berujung pada kematian salah satu pihak. Pada hari-hari tertentu, beliau kerap terjun sendiri memimpin kerja gotong royong memperbaiki jalan yang rusak, menata bendungan perairan sawah yang jebol, dan lain-lain.
Begitulah hari-hari Kiai Syarfuddin yang dijalaninya selama puluhan tahun. Mencengangkan, beliau menjalani aktivitas pembelajaran dan kerja kemasyarakatan itu dalam keadaan berpuasa. Ia meneladani para orang tuanya yang berpuasa sepanjang masa. Ketika ditanya, “bukankah puasa dahr itu dilarang?”. Kiai Syarfuddin menjawab, “saya sebenarnya mengikuti puasa Nabi Daud. Bedanya, jika hari ini diniati berpuasa, maka besoknya sekalipun tidak makan dan minum tidak diniati berpuasa”. Beliau mengisahkan, “pernah dicoba beberapa kali, sehari berpuasa dan sehari berikutnya makan, maka justru jatuh sakit”.
Sejak tahun 1973 sepulang dari menjalankan ibadah haji, Kiai Syarfuddin memilih tidak makan dan tidak minum di siang hari. Alias berpuasa sepanjang masa, kecuali pada hari-hari yang betul-betul diharamkan berpuasa seperti pada dua hari raya. Itu pun beliau hanya meminum segelas air mineral saja, sekedar membatalkan puasa. Walau aktivitas beliau bergerak sejak terbit matahari hingga larut malam, tak tampak guratan kelelahan di wajahnya. Padahal, di samping berpuasa, Kiai Syarfuddin adalah salah seorang kiai yang istiqomah qiyamul lail. Mungkin berkah puasa dan tahajud juga, beliau sangat jarang sakit.
Melihat kemampuan fisik Kiai Syarfuddin yang kuat itu membantu saya memahami stamina fisik Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang sangat prima. Jika disebut dalam sejarah bahwa Perang Badar berlangsung ketika umat Islam menjalankan ibadah puasa, maka itu bukan mitos belaka. Jika dikisahkan bahwa Nabi SAW dan para Sahabatnya pernah melakukan perjalanan darat dari Madinah ke Tabuk (jarak seribu kilometer), maka itu bukan sesuatu yang mustahil. Keimanan yang kuat akan kebenaran ajaran Islam bisa menambah kekuatan dan stamina umat Islam dalam mendakwahkan ajaran Islam. Kiai Syarfuddin sudah membuktikan itu.
Belakangan memang tipe ulama seperti Kiai Syarfuddin ini sudah kian berkurang, yaitu ulama yang tak hanya cakap memberi mau’idah hasanah melainkan juga sanggup menjadi uswah hasanah. Di tengah usianya yang sudah sepuh ini, kita berdoa: semoga Kiai Syarfuddin selalu sehat wal afiat, panjang umur seperti ayahandanya dan para kakek buyutnya yang usianya bisa seratusan tahun lebih. Kita juga berharap akan tumbuhnya kiai-kiai istiqomah seperti Kiai Syarfuddin Abdus Shomad. Amin ya mujibas sa’ilin.
Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, Dosen Program Pascasarjana UNU Jakarta, Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.