Tokoh

Nyai Hindun, Peletak Dasar-dasar Muslimat NU

Rabu, 30 November 2016 | 23:00 WIB

Jika kita mengenal nama Nyai Chodijah sebagai ketua Muslimat NU pertama (1946), maka sesungguhnya ada yang lebih awal dari itu kala Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM) belum benar-benar mapan dan resmi sebagai bagian dari organisasi NU. Pada tahun 1940 PBNU menunjuk Nyai R Hindun sebagai ketua NOM yang berkedudukan di Surabaya.

Namanya muncul setelah kongres (sekarang disebut muktamar) NU di Surabaya tahun 1940. Kemudian ditunjuk sebagai Wakil Ketua Nyai R Djunaisih dari Bandung. Penulis I Nn Sudinem dari Surabaya, Penulis II Nyai Hasanah dari Indramayu (Jawa Barat), Penulis II Nyai Rufiah dari Surabaya. Bendahara I Nyai Marfuah dari Cirebon (Jawa Barat, Bendahara II Nyai Siti Salamah dari Tegal (Jawa Tengah), Pembantu Siti Maryam dari Surabaya, Siti Aisyah dari Jombang, dari Siti Ipah dari Bandung.

Sayangnya, nama itu tiba-tiba menghilang seiring dengan pesatnya perkembangan Muslimat NU. Dalam berbagai kongres Muslimat yang diselenggarakan kemudian, nama Hindun tak pernah disebut lagi.

Tak banyak catatan sejarah yang bisa dirujuk terkait biografi Hindun. Dugaan kuat, ia adalah seorang ibu asal Surabaya yang memahami tulis menulis sehingga dimanfaatkan untuk kebutuhan Muslimat NU oleh PBNU. Namanya yang bergelar raden mengindikasikan bahwa Hindun berasal dari keluarga ningrat. Sayangnya, sejauh ini namanya tak dikenal lagi.

Penunjukkan Hindun merupakan keputusan kongres NU yang memilih kembali Mahfudz Siddiq sebagai ketua tanfidziyah. Pada saat itu, Muslimat sudah difasilitasi untuk rapat sendiri dan menentukan usulannya. Meskipun, PBNU baru mengakui secara bulat dan resmi berdirinya NOM sebagai bagian dari lembaga organik NU pada tahun 1946 melalui kesepakatan forum Muktamar ke-16 di Purwokerto, Jawa Tengah, dengan menunjuk Nyai Chodijah sebagai ketuanya.

Pascakeputusan Muktamar ke-16 NU pun, NOM belum resmi menjadi badan otonom NU (hingga 1952). Pada era Nyai Hindun bentuk formal NOM lebih samar lagi. Memang, rumusan NOM lengkap dengan anggaran dasar dan pengurus besarnya diterima pada kongres NU tahun 1940. Hanya saja, muktamirin belum sampai pada “ketok palu” sebagai tanda pengakuan NOM sebagai lembaga resmi NU.

Dalam sebuah versi sejarah dinyatakan, Hindun dan rekan-rekannya menjadi pelaksana keputusan kongres NU Surabaya yang (1) mengesahkan NOM, (2) mengesahkan Anggaran Dasar NOM, (3) dibentuknya Pengurus Besar NOM, (4) menetapkan daftar pelajaran tingkat Madrasah Banat, dan (5) rencana menerbitkan majalah bulanan NOM.

Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa Nyai Hindun adalah di antara tokoh penting dalam sejarah Muslimat NU generasi awal, bahkan saat organisasi perempuan NU ini masih prematur. Ia memberikan pondasi-pondasi bagi berdirinya Muslimat NU pada 29 Maret 1946 atau 26 Rabiul Akhir 1365 yang di kemudian hari diperingati tiap tahun sebagai hari lahir Muslimat NU. (Mahbib)

Diolah dari buku “70 TahunMuslimat NU: Kiprah dan Karya Perempuan NU”, 2016 (Jakarta: PP Muslimat NU) dan buku "50 Tahun Muslimat NU, Berkhidmat untuk Agama, Negara & Bangsa", 1996 (Jakarta: PP Muslimat NU).