Tokoh

Pengabdian Tanpa Batas Mbah Umar Syahid

Kamis, 5 Januari 2017 | 02:01 WIB

Mbah Umar Syahid alias Mbah Umar Tumbu sosok ulama  yang pengabdiannya pada NU dan bangsa Indonesia tanpa batas.  Ketika fisiknya  masih kuat, beliau mengelilingi pulau Jawa untuk menyiarkan Islam ala NU dengan modal jualan tumbu. Ketika tidak lagi mampu berjalan, bukan berarti pengabdiannya selesai. Sebaliknya beliau memberi contoh yang sangat bagus, seolah menyindir kita yang masih sehat.

Beliau rela meninggalkan pesantrennya kemudian mendirikan pendopo NU di atas lahan 1900 meter, di sebuah desa di puncak bukit di Pacitan Selatan. Di sebelah pendopo itu didirikan menara NU setinggi 17meter, yang dari dasar hingga puncaknya tertera logo NU serta tak lupa bendera Merah Putih.

Orang lain akan menganggap ini perbuatan sia-sia,  mengerjakan sesuatu yang tak jelas manfaatnya karena di pedalaman yang jarang dilihat dan didatangi orang. Tapi  beliau sedang membuat mercusuar untuk memberi kabar pada dunia bahwa NU masih ada walaupun sekian lama ditindas orang.

Menara itu juga merupakan mercusuar, agar kapal yang lewat, agama lain dan ideologi lain tidak menabrak bumi NU ini. Kalau kapal sampai menabrak bumi Nusantara bisa pecah dan tenggelam karena yang ditabrak adalah karang. Menara itu dirancang sendiri dan dibangun sendiri. Setelah itu dilakukan pada PCNU Pacitan. Sekali lagi beliau menyindir kita.

Kalau selama ini banyak orang NU mengambil aset NU, sebaliknya beliau menyerahkan aset dan fasilitasnya pada NU.  Di hari tuanya, sang waliyullah itu rela hidup sendiri di tempat sepi sebagai Banser atau satpam penjaga mercusuar NU itu.

Persis seperti KH Muchit, walaupun sudah sangat uzur, kalau diajak bicara NU dan NKRI ia langsung perkasa kembali saking semangat dan cintanya pada NU. Justri saya yang merasa kasihan, tetapi setiap panutan selalu  menahan seolah ada yang ingin disampaikan dan ada banyak hal yang ingin beliau tanyakan kepada kami bagaimana keadaan NU sekarang ini.

Semoga kita tidak hanya bisa mengagumi. Tentu beliau akan bahagia kalau kita bisa meneladani. Maka tercapailah cita-cita beliau itu meninggal sebagai orang NU (wa la tamutunna illa wa antum Nahdliyun). Demikian kesan pertemuan saya dengan beliau sesaat sebelum beliau mengakhiri perjuangannya untuk bertemu dengan Tuhan. (Wasekjend PBNU Abdul Mun'im DZ)