Tokoh SUFI NUSANTARA

Syekh Imam Maghfuro, Pembawa Tarekat Syathariyah-Sayadziliyah ke Jawa

Rabu, 5 Maret 2025 | 17:46 WIB

Syekh Imam Maghfuro, Pembawa Tarekat Syathariyah-Sayadziliyah ke Jawa

Makam Syek Imam Maghfuro atau Kiai Imam Puro (Foto: koranpurworejo.com)

Syekh Imam Maghfuro atau Kiai Imam Puro dikenal sebagai pembawa pertama Tarekat Syathariyah di Purworejo. Dia memperoleh tarekat ini dari Kiai Guru Loning atau Syekh Mansyur Rofi'i, adik dari Kiai Taftazani (guru utama Pangeran Diponegoro). 


Namun, bila merujuk pada manaqib yang penulis temukan, sanad tarekat Syathariyah-Sadziliyah Kiai Imam Puro didapatkan dari Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti Syafiiyah di Makkah pada masa 1800-an. Meski demikian, tetap saja ada kemungkinan Kiai Imam Puro menerima Tarekat Syathariyah (dari jalur Syekh Abdullah Syathari) dari Ki Guru Loning.

 

Kiai Imam Puro di dalam cerita rakyat dikenal sebagai salah seorang guru tarekat penyokong perlawanan Pangeran Diponegoro di dalam Perang Jawa (1825-1830), untuk wilayah  bagian Purworejo. Beliau juga dikenal sebagai keturunan Kraton. Manaqib Kiai Imam Puro, yang disusun dalam kitab tipis pegon berjudul Manaqib Kiyahi Raden Imam Puro al-Masyhur bi Waliyyillah, sedikit memberikan gambaran tentang perjalanan beliau mencari ilmu, pertemuan dengan syekh di Makkah, beberapa keramat, dan doa-doa lain yang disusun melalui riwayat murid dan mereka yang bertemu dengan Imam Imam Puro. Hanya saja dalam manaqib ini tidak dijelaskan silsilah keluarga beliau.


Karena dikenal sebagai guru yang hidup pada masa  Perang Diponegoro dan silsilah sanad tarekatnya dari Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, maka dapat juga dikatakan bahwa beliau hidup di antara masa ini. Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, menurut sebagian sumber kitab disebutkan lahir tahun 1816 M/1232 H. Angka tahun ini, secara masa juga menguatkan bahwa hidup Imam Imam Puro sekitar abad itu (1800-an), dan semasa dengan Perang Diponegoro 1825-1830. Namun, dalam manaqib tidak disebutkan tahun kehidupan Kiai Imam Puro secara eksplisit.


Dilihat dari kitab manaqib, murid tarekat Kiai Imam Puro disebutkan banyak berasal dari berbagai daerah, yaitu: Kebumen, Kudus, dan tempat-tempat lainnya. Hanya saja, kalau diperhatikan keterlibatan dengan Perang Diponegoro, antara 1825-1830, maka dapat dikatakan hidup beliau antara tahun itu dan setelah Perang Diponegoro, atau di antara masa itu, dapat dibenarkan. 


Pesantren Al-Ishlah Purworejo atau dulunya disebut Pesantren Sidomulyo berdasarkan penuturan KH Adib Luthfi Hakim, menjadi pusat penyiaran Tarekat Syathariyah Sadziliyah ini, dan kini tarekat ini berkembang di pesantren ini.


Silsilah Tarekat  Syathariyah Sadziliyah yang disebutkan dalam manaqib:

1.    Syekh Imam Maghfuro/Imam Puro, dari;
2.    Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, dari;
3.    Abdurrahman bin Ali as-Saqqof, dari;
4.    Ali bin Umar, dari;
5.    Umar bin as-Saqqof, dari;
6.    Hasan Abdullah bin al-Haddad, dari;
7.    Abdurrahman bin Alwi al-Haddad, dari;
8.    Umar bin Abdurrahman al-Athasy, dari;
9.    Abu Bakar bin Salim, dari;
10.    Umar bin Muhammad Ba Syaiban;
11.    Abdurrahman bin Ali as-Saqqof, dari; 
12.    Ali bin Abdurrahman as-Sakron, dari;
13.    Bakar bin Abdurrahman as-Saqqof, dari;
14.    Abdurrahman, dari;
15.    Muhammad Maulad Dawilah, dari;
16.    Alwi bin al-Faqih al-Muqoddam, dari;
17.    Muhamamd bin Ali (al-Faqih al-Muqoddam), dari; 
18.    Muhammad al-Baqir ke atas sampai dari Nabi Muhammad. 


Melihat silsilah yang dikemukakan dalam manaqib, Tarekat Syathariyah-Sadziliyah Kiai Imam Puro, bukan Syathariyah yang dihubungkan dengan Tarekat Syathariyah yang silsilahnya sampai kepada Syekh Abdullah Syathari. Hal ini membawa pengertian, penamaan Syathariyah memiliki makna yang lain, dan ini didukung oleh adanya tarekat lain yang diajarkan oleh Syekh Ibrahim Brumbung, kepada KH Hasan Anwar, kepada KH Madchan Abdul Manan, kepada Kiai Rohani Draman di Yogyakarta, dan kemudian kepada kami, juga dinamakan dengan nama Qadiriyah wa Nasyabandiyah wa Syathariyah.


Makna syathariyah tidak semata merujuk kepada Imam Abdullah Syathari. Hal ini juga diulas oleh Syekh Muhammad al-Ghauts, salah satu mahaguru Tarekat Syathariyah dalam kitab al-Jawahirul Khamsah ketika menulis tingkatan dzikir-dzikir, beliau menyebut tingkatan masyrab syathar, adalah tingkatan dzikir setelah tangga abraar (yaitu tangga beramal dengan amal-amal ibadah fardhu dan sunnah-sunnah beserta melazimi dzikir-dzikir dan doa-doanya), juga setelah tangga ahyaar, dan kemudian menyibukkan diri dengan masyrab syathaar


Tangga syathar (mereka yang bergerak cepat dalam perjalanan rohani) memasuki jenjang perjalanan dengan minuman batin dan dzikir-nya bermacam-macam sesuai dengan apa yang diberikan gurunya, dan pokoknya adalah memasuki jenjang akhlak manusia utama, yang di antaranya disebutkan banyak hal, dan di sini aku sebutkan tiga saja:

 

Pertama, memiliki manifestasi dan penglihatan dari sisi shuwariyyun-sisi bentuk dan ma’nawiyyun-sisi makna (al-Jawahir al-Khamsah, 2010: 297): (1) shuwariyyun, lahirnya berakhlak baik-mempesona (sesuai dengan yang diajarkan Kanjeng Nabi), dan menyaksikan lahir kauniyah/kosmos dengan penuh perhatian, karena menyadari adanya kehadiran tajalli Al-Haqq di dalam semua hamparan kauniyah; dan. (2) ma’nawiyyun, sisi makna sampainya ia kepada penemuan setiap sesuatu ada tajalli Al-Haqq dengan tanpa ada usaha keras lagi (sebagaimana kasab para aabidin dan kepasrahan zaahidin yang berat, dan tidak ada penentangan batin yang hebat) tentang pemberian makna-makna batin, yang tidak bisa ditemukan kecuali oleh penemu yang terpercaya; dan ma’nawiyyun juga berwujud pemberian-pemberian asraar Ilaahii yang ber-tajalli dengan Sifat-Asma Al-Kamaal disertai dengan pemberian hak setiap orang akan haknya di dalam relasi sosial; 


Kedua, menyibukkan diri dengan musyaahaadah atas Al-Haqq, dalam semua ahwal yang ia terima (sebagai bagian dari af`al-Nya Allah), dan memiliki kemampuan menggambarkan dalam gambaran-gambaran makna akan ash-shuurah al-Muhammadiyah, melihat pada alam dengan bertafakkur sebagai manifestasi dari al-jamaaliyyah(-Nya), dan pada batinnya melihat manifestasi al-jalaaliyyah(-Nya), dan me-nafakkuri (akhlak-akhlak) Nabi Muhammad di dalam keadaan lahir dan batin dengan optik al-Jamaal, al-Jalaal (dan al-Kamaal) menurut tingkatan dan kesanggupannya.


Ketiga, menyibukkan hati-batin dengan mengenali adanya tafaawut (adanya level-level) di dalam tajalliyaat al-Haqq kepada makhluk, yang masing-masing guru bisa saja menggambarkannya secara berbeda: misalnya, al-Jilli menggambarkan 40 tingkat, dan kalangan Syathariyah lain menggambarkan hanya 7 tingkat: ajsam, khayal, arwah, wahidiyah, wahdah, ahadiyah, dan insan kamil.


Tiga hal itu adalah hanya sebagian saja dari banyak aspek-karakter penglihatan yang dimiliki mereka yang telah menapaki tangga syathari. Karenanya, penamaan syathari adalah tingkatan bagi mereka yang sudah menapaki jenjang abraar dan ahyaar. Karena hal inilah, sebagian  tarekat para guru menyebut dan dinamakan di belakangnya ada “Syathariyah”, meskipun tidak memiliki silsilah kepada Syekh Abdullah Syathari. Demikian pula terhadap Tarekat Syathariyah Sadziliyah yang dihubungkan dengan Kiai Imam Puro.


Selain mengamalkan aurad Tarekat Syathariyah Sadziliyah, berdasarkan manaqib pula, Kiai Imam Puro juga mengamalkan ratib, Shalawat Kubra, Shalawat Tamlaa’u Khazaa’inallaah (di antaranya diamalkan 100 x), dan shalawat dalam redaksi An-Nabii Shollu `alaihi, Shalawaatullaahi `alaih…, dan dzikir aurad tahlil yang juga dikenal pada saat ini.


Hanya saja, tentang kehidupan dan putra-putrinya, dalam manaqib yang disusun KH Muhammad Ma’mur, yaitu ayah dari Kiai Adib Luthfi Hakim (mursyid tarekat yang sekarang), tidak dijelaskan. 


Kita hanya tahu bahwa beliau mursyid Tarekat Syathariyah Sadziliyah, memiliki sejumlah murid dan kekeramatan, dan makamnya ada di Geger Menjangan. Sementara, Zainul Milal Bizawi menyebut dalam Masterpiece Islam Nusantara dan sejumlah laporan media, nama asli Kiai Imam Puro adalah Khasan Benawi, keturunan ke-8 dari Joko Umbaran (kerabat dekat Sultan Agung Hanyokrokusumo). Setelah belajar agama Islam, Khasan Benawi hijrah ke Purworejo dan menetap di sana. Ia kemudian dikenal sebagai Kiai Raden Imam Puro. Namun, hal ini perlu ditelaah lebih lanjut.


Nur Khalik Ridwan, berafiliasi dengan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah wa Syathariyah, Lurah NDiko Publishing, dan pegiat Majelis Reboan Yogyakarta