Warta

450 Juta Buruh Tani di Dunia Terancam Kelaparan

Jumat, 7 Oktober 2005 | 04:16 WIB

New YorK, NU Online
Badan-badan PBB bidang pertanian dan perburuhan mengingatkan bahwa sekitar 450 juta buruh tani di berbagai negara di dunia terancam kemiskinan dan kelaparan jika tidak ada upaya memperbaiki kondisi kerja mereka saat ini.

"Pertanian tidak bisa berlanjut saat para buruh tani dalam kondisi yang genting dan hidup dalam kemiskinan," demikian laporan yang dihimpun Badan PBB untuk Pertanian dan Pangan (FAO), Organisasi PBB untuk buruh se-dunia (ILO), serta Asosiasi internasional pekerja sektor pertanian, pangan, hotel dan restoran (IUF), Kamis.

<>

Dari sekitar 1,1 miliar pekerja bidang pertanian di dunia, 40 persennya atau 450 juta adalah buruh tani. Tekanan ekonomi makin memperburuk tingkat proteksi bagi para buruh tani tersebut, termasuk yang menyangkut upah, keamanan kerja, dan kesehatan.

Laporan tersebut juga memperkirakan dari 246 juta anak-anak di seluruh dunia yang harus bekerja, sebanyak 170 juta atau 70 persennya bekerja di sektor pertanian. Tiap tahun, 22.000 anak meninggal dunia dalam pekerjaannya, banyak di antaranya dari sektor pertanian.

Anak-anak terpaksa bekerja dengan upah rendah karena orang tua mereka tidak punya cukup uang untuk menghidupi keluarga atau membiayai sekolah anak-anaknya. Banyak buruh tani anak-anak yang bekerja hingga 10 jam dan dibayar kurang dari 1 dolar AS per hari.

Upah buruh tani, yang tidak memiliki atau mengolah lahan sendiri, umumnya lebih rendah dibanding pekerja di sektor industri. Pertanian, pertambangan dan konstruksi merupakan sektor dengan resiko kecelakaan kerja yang tinggi. Dari 355.000 kasus kecelakaan kerja tiap tahun, separuhnya terjadi di sektor pertanian, di antaranya karena penggunaan mesin, penyakit menular atau keracunan pestisida.

Anak-anak dan perempuan banyak yang menjadi korban tewas, cedera atau sakit karena bekerja di sektor pertanian ini. Di sejumlah negara, para buruh tani seringkali tidak mendapat hak-hak dasar, seperti hak untuk berserikat, dan hak untuk bernegosiasi soal upah.

Laporan itu juga mengkritik pemerintah, institusi peneliti, perbankan dan kalangan swasta di berbagai negara karena sering mengabaikan masalah buruh tani tersebut.(ant/mkf)