Warta

Dari pagelaran Satu Rasa Menyentuhkan Kasih Sayang

Kamis, 23 Maret 2006 | 04:19 WIB

Jakarta, NU Online


Senandung lirih menghantar pentas Pagelaran  Satu Rasa, Menyentuhkan Kasih Sayang”, duet dua mestro, KH. Mustofa Bisiri (Gus Mus) dan Idris Sardi. sejak awal senandung lirih lamat-lamat terdengar dan makin jelas . 

<>

Saat layar terbuka. Panggung gelap. Hanya ada layar lebar dibelakang dan sosok putih yang tidak tampak  jelas. Gesekan biola mengalun miris seolah mengiris yang menyaksikan pentas tersebut. Lampu perlahan terang, terlihatlah sosok sang violis memainkan biolanya dengan teknik tinggi. Tak lama, disusul suara Gus Mus dari balik layar membacakan puisi yang juga lirih.

Lalu, Gus Mus muncul dengan baju hitam. Entah tanda apa. Tapi di belakang terdapat visualisasi yang menggambarkan nestapa yang sedang menimpa sebuah bangsa. Bangsa Indonesia. Sejenak musik berhenti. Gus Mus lalu menyalami Idris Sardi.

Malam itu, penampilan  duet KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dan violis Idris Sardi mampu memukau penonton yang memadati Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Rabu (22/3), kemarin. Mata-mata penonton tak berkedip, mereka seolah tersihir  oleh kepiawaian Gus Mus membaca puisi dan gesekan-gesekan biola Idris Sardi.

Keduanya mampu mengekspresikan kepiawaian berkesenian dengan caranya masing-masing. Puisi dan gesekan biola saling bersautan, mereka seolah benar-benar sedang  ‘ngobrol’ membicarakan kepiluan dan nestapa yang menimpa bangsa Indonesia. Anehnya, kepiluan dan nestapa itu dibuat sendiri.

Pada saat Idris Sardi tampil solo, semua terkesima. Dengan teknis tinggi Idris Sardi mampu memainkan gesekan biola mengalun seperti mengiris-iris hati kita yang memang sedang terluka. Penampilan Idris Sardi mampu menyirep penonton. Sepanjang pentas, penonton dibuat terdiam, terpana dan terpesona. Idris memang memenuhi janjinya. Ia main seperti dirinya sendiri. Gesekan-gesekannya tampak tidak berdasarkan pesanan. Ia total sebagai dirinya sendiri.

“Saya mengaku berdosa, ketika tidak berbuat apa-apa saat bangsa kita sedang berduka. Saya hanya asik sendiri dengan biola ini. Maka saat Gus Mus mengajak untuk berbagi rasa, menebar kasih sayang. Saya berkata inilah saatnya saya ikut menebar kasih sayang yang sudah menjadi barang langka,” ujar Idris Sardi sesudah memainkan biolanya.

Atas pentas tersebut Presiden penyair Indonesia Sutardji Calzom Bahri merasakan pertunjukan sufistik dari alunan musik dan lantunan syair. Ia melihat  panggung dihadapannya seperti samak (tikar). Dari balik samak itu, memancar sinar ke arah penonton yang menyejukan.  Sehingga penonton bisa menjadi masdzuk.  Bahkan ia mengaku tubuh sampai bergetar. 

“Jadi ini sebagai sebuah tontonan sangat menarik.  Pengabungan spiritual dan estetik,” katanya.

Dari sisi pertunjukan pendiri Teater Satu Merah Panggung, Ratna Sarumpait menilai sudah memenuhi unsur dramatikal. Terhadap puisi Gus Mus, Ratna mengangumi isinya yang sangat dalam. Dikatakan, seringkali sebuah puisi tersimpan dalam laci meja. Kalau pun dibukukan tidak semua orang bisa menikmatinya. “Dengan dipentasakan, saya pikir kesemaptan untuk mensosialisasikan sastra.  Dan mudah-mudahan pesan kasih sayang sampai kepada kita semua. Apalagi nanti akan disiarkan televisi,” katanya.
 
Sementara Prof. DR. Qurais Shihab merasakan menemukan kembali “kamar rasa” perasaaan kita yang telah hilang. Karenanya, pertunjukan semacam itu, harus sering diadakan, supaya kita tidak terpaku pada materi dan akal saja. ***

Menyaksikan pentas “Pagelaran  Satu Rasa, Menyentuhkan Kasih Sayang”, duet Gus Mus-Idris Sardi, Rabu (22/3), kemarin,  di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) seolah Gus Mus sedang membawa kita berada di hadapan cermin besar. Dalam cermin besar itu, Gus Mus seperti  menelanjangi  kita sebagai bangsa Indonesia. Bangsa yang telah kehilangan  banagaimana caranya  berbudaya,
bertutur dan berbangsa dengan baik 

Bahkan, rasan-rasane kita menyaksikan Gus Mus sedang menumpahkan “amarah” pada kondisi yang semakin hari cara berbangsa kita semakin kacau.  Dari 19 puisi yang dibacakan, Gus Mus  menyentil atau lebih tepatnya mengkritik semua lapisan masyarakat, dari pemimpin bangsa hingga pemimpin agama yang dinilai turut andil terjadinya kekacauan. Sebagai seoranag kiai, amarah Gus Mus yang dituangkan  dalam bait-bait puisi tidak ada kata makian. Puisi Gus Mus m