Warta

FSPI : Impor Beras Jangan Dipaksakan

Selasa, 18 Oktober 2005 | 08:02 WIB

Jakarta, NU Online
Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) mengecam langkah pemerintah yang akan (memaksakan) mengimpor sebanyak 250.000 ton beras karena akan merugikan petani.

"Dalam hal ini pemerintah terkesan gali lobang tutup lobang, dengan kata lain pemerintah menimpakan beban yang ditimbulkan akibat kebijakan menaikan harga BBM kepada petani," kata Sekjen Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Henry Saragih melalui siaran persnya yang dikirim ke redaksi, Selasa (18/10).

<>

Menteri Perdagangan Mari E Pangestu seperti di kutip Bisnis Indonesia (26/9) sebelumnya mengatakan jika harga beras eceran kelas menengah melampaui Rp 3500 dan stok Bulog dibawah satu juta ton impor akan dilakukan. Syarat itu sendiri ditetapkan oleh rapat sejumlah menteri yang dipimpin oleh Wapres Jusuf Kalla.

Pernyataan ini, dinilai Henry sebagai situasi yang "sengaja diciptakan", contohnya dengan melepas stok Bulog bulan November di akhir Oktober agar terkesan stok Bulog menipis selain alasan naiknya harga beras di tingkat pengecer menjelang bulan puasa, lebaran, natal, hingga tahun baru 2006. "Hal itu untuk menguatkan alasan mengimpor beras,” ujarnya.

Padahal, lanjut Henry Menteri Pertanian Anton Apriyantono berulang kali menyatakan stok beras nasional mencukupi. Bahkan berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) sampai awal Desember 2005 mendatang kelebihan stok masih sekitar 3,39 juta ton dengan asumsi bahwa sisa stok bulan sebelumnya sebesar 5,06 juta ton ditambah produksi 1,04 juta ton. Jadi ketersediaan stok beras bulan Desember mencapai 6,1 juta ton, sedangkan konsumsi sekitar 2,71 juta ton.

Ditambahkan Henry apabila pemerintah tetap memaksakan kebijakan impor beras, pihak yang paling dirugikan adalah petani dan buruh tani, khususnya petani beras. Harga gabah di tingkat petani akan terus terkoreksi semakin rendah. Ujung-ujungnya pendapatan petani akan tertekan. Padahal selama ini petani merupakan lapisan masyarakat yang paling rentan terhadap kemiskinan.

FSPI dalam siaran persnya juga menyarankan sebaiknya pemerintah bercermin dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, sekali keran impor dibuka maka harga gabah di tingkat petani akan tertekan. "Ditambah lagi dengan mentalitas birokrasi dan aparat yang korup, kemungkinan penyelundupan beras akibat dibukanya keran impor semakin terbuka lebar," kata Henry.

Sementara itu menurut Achmad Ya'kub (deputi pengkajian kebijakan dan kampanye FSPI), berdasarkan fakta-fakta yang ada pemerintah tidak mempunyai alasan untuk untuk mengimpor beras. "Pemerintah mengambil langkah tersebut semata-mata karena tekanan pihak luar. Ada kepentingan bisnis yang selalu berupaya agar negara kita bergantung terhadap beras impor," ujarnya.

Hal ini, kata Ya'kub tercermin dari perundingan-perundingan tentang pertanian di WTO. “Pemerintah tidak bisa lagi menetapkan larangan impor beras akibat perjanjiannya dengan WTO, karena itu kebijakan  melarang import beras ini harus didukung oleh setiap elemen masyarakat,” tegas Ya’kub. (cih)