Warta

Gus Dur Kritik Konsep Ekonomi Kerakyatan

Jumat, 12 Juni 2009 | 01:56 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mengatakan banyak sejarah di Indonesia yang masih tersembunyi dan perlu digali. Dia pun melontarkan kritik pada konsep ekonomi kerakyatan yang tak mengacu pada sejarah. Menurut dia, sejarah Indonesia dipenuhi dualistik.

''Kita teriak-teriak ekonomi kerakyatan, padahal tidak tahu sejarahnya ya bagaimana,'' kata Gus Dur saat memberikan tausyiah pada pembukaan Musyawarah Pimpinan  Nasional (Muspimnas) PKB, di Jakarta, Kamis (11/6) kemarin.<>

Ekonomi kerakyatan yang mengacu pada konsep dari para pendiri bangsa Indonesia, menurut dia, sebenarnya adalah elitis. ''Karena, para pemimpinnya (sejak merdeka 1945) semua bangsawan,'' katanya.

Konsep ekonomi yang disusun pun menurutnya sesuai dengan keadaan para pemimpin itu. Gus Dur pun menyindir, bangsawan itu kependekan dari 'bangsa tangi awan' (bangsa yang bangun tidurnya siang, red).

Karena itu, ia mengatakan, Indonesia pada 1945 baru merdeka secara politik. Tetapi secara ekonomi, ujar dia sembari minta maaf, belumlah merdeka. ''Dualistik, karena hanya selalu elitis, rakyat tidak dipikirkan,'' ujar dia. Ia menyebutkan semua tokoh pendiri bangsa—dari Bung Karno, Bung Hatta, sampai Mr Sartono—semuanya bangsawan.

Persoalan konsep ekonomi ini, menurutnya, salah satu contoh dari dualistik sejarah Indonesia, bagian dari sejarah yang banyak tersembunyi. Contoh lain adalah tentang DI/TII. ''Pendiri DI/TII itu, ya Bung Karno, Panglima Soedirman, ayah saya (Hasyim Asy'ari), dan itu Kartosuwiryo,'' ujar dia.

Sejarah pembentukan DI/TII, papar Abdurrahman, bermula dari hasil perjanjian Renville. Perjanjian tersebut mengharuskan APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia, cikal bakal TNI) kembali ke daerah asal masing-masing. ''Maka dibentuklah DI/TII. Karto Suwiryo itu kental sekali dengan Bung Karno,'' jelasnya.

Persoalan sejarah semacam itu adalah contoh hal-hal yang tidak diketahui dan tidak merasa perlu tahu. ''Saya rasa, kita harus menggali kembali sejarah kita secara terbuka dan apa adanya,'' tegas dia.

Menurut Abdurrahman, banyak hal yang tanpa merunut sejarahnya menjadi hal yang diributkan sekarang. Termasuk, ujar dia, gagasan negara Islam menggantikan Indonesia sebagai negara multietnis.

Meski demikian, tegas Gus Dur, ketika bicara Indonesia maka harus bicara tentang Islam di Indonesia juga. Karena pembahasan atas apa yang banyak dipersoalkan di Indonesia akhir-akhir ini sudah dibahas sejak abad 13 Masehi oleh tokoh-tokoh Islam.

Semuanya tak terlepas dari sejarah organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah, NU, dan yang kontroversial - Ahmadiyah. ''Tidak usah kaget soal yang begitu. Dualistik (di Indonesia) itu sejak lama,'' tegas dia. (rep/rif)