Warta

Gus Dur Tuding Jenderal Purnawirawan di Balik Pelarangan Ahmadiyah

Ahad, 25 Mei 2008 | 00:07 WIB

Jakarta, NU Online
Mantan presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kembali membuat pernyataan kontroversi. Kali ini, ia menuding ada seoarang jenderal purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berada di balik upaya pelarangan aliran Ahmadiyah di Indonesia.

Namun, Ketua Umum Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa itu tak mau menyebutkan nama jenderal purnawirawan yang dimaksud. Ia hanya mengisyaratkan beberapa ciri, di antaranya, kini sedang diisukan bakal menjadi calon presiden.<>

"Cari saja yang calon presiden yang bintang empat siapa. Semuanya purnawirawan. Saya tahunya dari Kivlan Zein (mantan Kepala Staf Komando Strategi Angkatan Darat). Dia yang kasih tahu saya itu," cetus Gus Dur dalam acara Kongkow Bareng, di Jakarta, Sabtu (24/5).

Menurut Gus Dur, oknum mantan jenderal itu juga merupakan pihak di balik gerakan Front Pembela Islam (FPI) selama ini. "Pokoknya seorang jenderal Angkatan Darat, seorang jenderal polisi di balik FPI, seorang mayjen dan jenderal bintang empat di balik FBR. Masa’ dijelasin. Sudah jelas itu. Soal nama, saya nggak bakal sebut," tandasnya.

Dijelaskan Gus Dur, dulunya, para perwira tinggi TNI itu saling bersaing dan sama-sama kuat sehingga perlu mencari nilai lebih. Mereka kemudian menciptakan berbagai organisasi kemasyarakatan, seperti, FPI dan Front Pembela Islam (FBR).

"Motifnya memperkuat diri sendiri dalam persaingan. Tujuannya, ya berebut jabatan," kata Gus Dur yang mengaku sudah melaporkan hal ini ke polisi namun belum mendapat tanggapan.

Terkait masalah Ahmadiyah, sebelumnya, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengaku sudah menyelesaikan tinjauan yuridis penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB). "Kalau saya, dari tinjauan yuridisnya sudah selesai. Tapi, kan SKB itu harus dinilai dari 3 sudut, yaitu yuridis, sosiologis dan filosofis," katanya.

Jadi, kerangka SKB itu, lanjut dia, sudah selesai dari aspek yuridis. Pertimbangan Jaksa Agung sudah sesuai dengan ketentuan UU. Sekarang tinggal pertimbangan dari Mendagri dan Menag. Kalau 3 aspek itu terpenuhi, selesai sudah.

"Dilihat dari ketentuan UU, tidak ada batasan waktu. Pokoknya itu selesai, valid, solid, bukan hanya sebulan, hari ini selesai, ya diteken," ujar Hendarman.

Dijelaskan dia, aspek yuridisnya bahwa SKB itu adalah amanat UU, dan itu sudah benar menurut UU 1PNPS/1965. "Kalau UU itu dianggap tidak valid, ya diajukan saja untuk dicabut," pungkasnya. (ant/ini/rif)