Warta

Hasyim: AS Tak Berani Serang Iran

Senin, 23 April 2007 | 08:05 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menduga kuat Amerika Serikat (AS) tak akan berani menyerang Iran secara militer meski sanksi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) telah dijatuhkan.

“Kalau menyerang secara militer, sepertinya (AS, Red) tidak berani. Tapi kalau secara ekonomi atau blokade, mungkin saja,” kata Hasyim kepada wartawan usai menerima kunjungan Duta Besar (Dubes) Prancis untuk Indonesia Catehrine Boivineau, di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Senin (23/4)

<>

Alasannya, ujar Hasyim, Iran yang sekarang menjadi sorotan dunia terkait program nuklirnya, adalah negara yang utuh dan kuat. Selain dukungan penuh dari rakyatnya, Iran juga memiliki dukungan politik yang luas dari sejumlah negara dan kelompok-kelompok militan lain.

“Iran ini negara utuh yang tidak tergantung pada negara lain. Juga punya ‘kaki’ (jaringan dan pengaruh) di mana-mana (terutama di Timur Tengah). Dan kaki-kakinya ini nekat-nekat (militan),” terang Hasyim yang juga Presiden World Conference on Religion for Peace.

Hasyim menambahkan, negeri Kaum Mullah itu berbeda dengan Irak yang sekarang sudah berhasil dihancurkan oleh AS. “Beda dengan Irak. Irak itu rapuh, dimiskinkan terlebih dahulu, dibuat konflik di dalamnya dan tidak punya kaki di mana-mana. Sehingga mudah untuk dihancurkan,” urainya.

Hal yang sama, katanya, juga tak akan dilakukan negara-negara Barat yang selama menjadi sekutu AS terhadap Iran. Menurutnya, negara-negara Barat pun akan berpikir ulang jika Iran semakin meningkatkan perlawanan dan menolak tunduk pada sanksi DK PBB, terutama dalam prorgram pengayaan uraniumnya. “Rupanya Barat mikir-mikir kalau Iran tambah kenceng,” tandasnya.

Terkait pertemuannya dengan Dubes Prancis, Hasyim menceritakan bahwa Prancis dan Uni Eropa yang mendukung Resolusi DK PBB bernomer 1747 itu, pada dasarnya untuk membuka ruang dialog antara Iran dan DK PBB. “Dubes Prancis berpendapat bahwa resolusi itu sesungguhnya lebih merupakan uluran tangan dari Uni Eropa (UE) untuk dialog dari pada sanksi itu sendiri,” ujarnya.

Namun demikian, bagi Hasyim, pendapat tersebut merupakan pendapat atau hal baru yang memerlukan diskusi dan penjelasan lebih lengkap lagi. Pasalnya, di dalam negeri, resolusi DK PBB yang disepakati secara bulat oleh 15 negara anggota DK PBB, termasuk Indonesia, pada 25 Maret lalu, itu, dinilai sebagai sebuah bentuk tekanan terhadap Iran.

“Di Indonesia, resolusi itu dinilai bukan uluran tangan untuk dialog, tapi membuka jalan bagi Amerika Serikat lewat DK PBB untuk meningkatkan tekanan ke tingkat yang lebih berat. Kalau Prancis punya pendapat seperti itu (uluran tangan untuk dialog), maka menarik buat saya,” jelas Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars itu.

Pendapat tersebut, bagi Doktor Kehormatan bidang Peradaban Islam itu, tidak lebih dari upaya UE untuk menyatakan diri berbeda dengan AS sekalipun pada dasarnya juga khawatir terhadap program nuklir Iran. (rif)