Warta

Hasyim: Kekerasan Jadikan Keislaman Seseorang Tak Sah

Jumat, 25 Februari 2011 | 13:30 WIB

Jakarta, NU Online
Hubungan Negara dengan agama dan antarumat beragama itu tidak boleh ada kekerasan dan ancaman apapun. Sebab, kalau seseorang masuk Islam karena keterpaksaan akibat terancam, takut, teror, dan teraniaya, maka Islamnya itu menjadi tidak sah atau batal.

“Jadi, Negara harus melindungi keberagamaan warga negara, namun tidak boleh ada intervensi menyangkut ideology dan ritual keagamaan, karena keduanya itu tidak mungkin bisa disamakan. Tapi, Negara tidak boleh membiarkan terjadinya kekerasan bernuansa agama,” tandas mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dalam diskusi ‘Meneguhkan Kebhinnekaan, Menyelamatkan Bangsa” di Gedung DPR RI Jakarta, Jumat (23/2).<>

Hadir dalam bedah buku Hamka Haq “Islam Rahmah untuk bangsa” yang diselenggarakan FPDIP DPR itu antara lain mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Prabu Guna Avatar (Hindu) dan Ienar Sitompul (Kristen) dengan moderator Zuhairi Misrawi.

Oleh sebab itu lanjut Hasyim, Negara tidak boleh memaksakan yang berbeda, baik secara tekstual maupun substansial. Dengan begitu maka dari peguyuban keberagamaan yang ada tersebut tidak akan terjadi pergesekan-pergesekan, namun kalau terjadi konflik maka Negara harus melindungi. “Kalau begitu, maka Negara akan selamat,” ujar pengasuh pesantren Al-Hikam ini.

Menurut Hasyim itu penting, menyadari Negara bangsa ini lahir sebelum Indonesia merdeka. Bahwa titik temu dari kemajemukan, pluralism dan keanekaraman agama dan budaya tersebut tidak lain adalah ‘Bhinneka Tunggal Ika’. “Ini berbeda dengan Negara agama maupun Negara sekuler. Di mana Indonesia bukan Negara agama dan juga bukan Negara sekuler,” tambah Hasyim.

Indonesia lanjut Hasyim, tidak mungkin terjadi monoreligi, satu agama dan tidak mungkin pula tidak beragama atau skuler, karena adanya memang majemuk dan beragama agama, suku bangsa dan budaya.

Karena itu kesamaan-kesamaan tersebut melahirkan keluhuran budaya yang kemudian melahirkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Dan, situlah katanya, Piagam Madinah itu menjadi sangat relevan dengan Indonesia. Namun, demikian Negara tidak boleh mengambil jarak dengan persoalan umat, karena masalahnya akan menumpuk dan tidak terselesaikan.

Ia menyontohkan kalau Negara agama seperti Mesir dan mengapa terjadi revolusi? “Saya kira kalau kepemimpinan Negara itu sebangun dengan kesucian agamanya, maka rakyatnya tidak akan memprotes Husni Mubarak. Jadi, konflik agama itu ternyata hanya 30 % dan yang 70 % akibat social politik dan ekonomi yang dibingkai dengan kekuatan agama,” tutur Hasyim. (amf)