Warta

Hubungan NU-PKB Harus Ditata Ulang

Senin, 30 Juni 2008 | 07:31 WIB

Tegal, NU Online
Hubungan antara Nahdlatul Ulama (NU) dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) harus ditata ulang. Sebab, akhir-akhir ini muncul fenomena ketidaksinambungan hubungan antara keduanya. Padahal, PKB merupakan partai yang didirikan para kiai dan ulama NU.

NU yang dibatasi wilayah kerjanya di wilayah politik praktis melalui Khittah 1926, harus didukung PKB sebagai partai politik. Sinergi antara keduanya, tentu tak akan menjadikan NU juga akan bergerak di politik praktis, seperti halnya yang terjadi belakangan ini.<>

Pendapat tersebut diungkapkan Abdul Fatah, Sekretaris Pengurus Cabang Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU Tegal, Jawa Tengah. Ia mengatakan hal itu pada sarasehan yang digelar Pimpinan Anak Cabang Ikatan Pelajar NU dan Ikatan Pelajar Putri NU Talang, Tegal, Ahad (29/6) kemarin.

Fatah mencontohkan beberapa kasus ketidaksinambungan NU-PKB. Di antaranya, saat KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum Pengurus Besar NU) menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) pada Pemilihan Presiden, 2004 silam.

Di saat yang sama, PKB memiliki calon lain, yakni, Wiranto-Sholahuddin Wahid (Gus Solah) yang juga didukung Partai Golkar.

Hal serupa terjadi lagi dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jateng pada 22 Juni lalu. Mohammad Adnan (Ketua Pengurus Wilayah NU Jateng) yang menjadi calon wakil gubernur justru memilih Bambang Sadono sebagai pasangannya yang diusung Partai Golkar. PKB punya jagoan sendiri: Agus Soeyitno-Kholiq Arif.

Di Jawa Timur pun tidak jauh berbeda. Calon Wakil Gubernur Ali Maschan Moesa yang sebelumnya adalah Ketua PWNU Jatim, malah berpasangan dengan Soenarjo yang diusung Partai Golkar. Sekali lagi, PKB memiliki cagub-cawagub sendiri, yakni, Achmady-Suhartono.

“Fakta di lapangan, ternyata NU yang melahirkan PKB ternyata tidak konsisten pada PKB. Tidak ada singkronisasi antara struktural NU dan elit PKB sehingga umat menjadi bingung,” terang Fatah, seperti dilaporkan Kontributor NU Online, Wasdiun.

Jika kondisi tersebut tak bisa diubah, maka, sebaiknya NU kembali menjadi partai politik seperti pada era 1955-1973. Khittah NU 1926 yang melarang NU terlibat di politik praktis, sebaiknya ditinjau kembali.

“Lebih indah manakala NU kembali menjadi partai politik. Khittah ternyata telah dirobek-robek maknanya oleh pengurus NU sendiri. Khittah perlu dikaji ulang,” jelas Fatah. (rif)