Warta

In Memoriam KH Ishomuddin Hadziq, Pemimpin NU Masa Depan

Senin, 28 Juli 2003 | 11:39 WIB

Jakarta, NU.Online
Seperti terkena hallintar, pandangan mata ini berkaca-kaca, seakan tak percaya, tatkala mendengar  wafatnya KH Ishomuddin Hadizq (Gus Ishom). Hari sabtu, 26 Juli 2003, tepat pukul 06.30 WIB, beliau dipanggil ke pangkuan Sang Ilahi. Sosok kiai muda yang begitu anggun mempesona. Seorang “darah biru” keturunan Kiai Moh Hasyim Asy’ari (pendiri dan Ra’is Akbar NU) dari putrinya Hj Khodijah.

 

Gus Ishom yang lahir pada 18 Juli 1965 (genap berusia 37) adalah salah satu dari cucu KH Hasyim yang mewarisi kewibawaaan, keilmuan, kedewasaan, kematangan, kesabaran, keanggunan, dan keajaiban Sang Kakek. Gaya bicaranya yang “khas”, penuh humor, perilaku yang tawadlu’, ikhlas, penuh senyum (mencerminkan kedalaman spritual dan kekuatan pribadinya), selalu dinantikan para santri, lebih-lebih saat Ramadlan tiba. Seluruh halaman Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dijubeli oleh ribuan santri, baik yang berada di Pondok Pesantren Tebuireng sendiri ataupun pondok sekitarnya, Seblak, Pacul Gowang, Khuffadz, Mu’allimat-Darul Falah Cukir, dan lain-lain. Semuanya ingin mendengarkan wejangan-wejangan Gus Ishom,menyimak, merenungkan, menghayati dan mengamalkannya. 

 

 

Tatkala mengaji ini, semua santri seperti merasakan aroma karamah dari Sang Kakek KH. Hasyim Asy’ari, yang diyakini nuzul pada diri Gus Ishom. Mereka berharap mendapat ilmu manfaat, barakah dunia-akhirat. 

 

Memang berat ditinggal sosok kiai “Nyentrik” ini, kiai yang banyak kelebihan dan keajaiban. Dialah yang sejak mondok di Lirboyo sudah sering diekspos di media sebagai sosok pemimpin NU masa depan. Dialah yang diyakini mampu membawa kejayaan NU masa depan. Dialah yang diharapkan mampu membawa Pondok Pesantren Tebuireng menjadi pondok yang maju yang mampu menelurkan kader-kader kiai yang salafi-akademis, yakni kiai yang tidak hanya menguasai kitab kuning sebagai panji keislaman dan moralitas, tapi juga menguasai wacana kemodernan sebagai instrumen merespons globalisasi. Karena, kombinasi dua mainstream pemikiran itulah bekal utama santri berkiprah ditengah situasi dunia yang sangat kompetitif sekarang ini. 

 

Dan, Gus Ishom telah memberikan contoh untuk itu. Banyak pihak optimistis, Tebuireng mampu besar di bawah panji kebesaran Gus Ishom, Tebuireng akan mampu mengembalikan kebesaran pesantren Tebuireng sebagaimana era keemasan Sang Kakek tempo dulu yang mampu melahirkan sosok kiai-kiai handal, perintis pondok hampir seluruh Nusantara, seperti KH Saifuddin Zuhri, KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, Kiai Abdul Karim (pendiri Lirboyo), KH Muchith Muzadi, KH Tholhah Hasan, dan lain-lain. 

 

Namun, takdir Tuhan berkata lain, sebelum semua impian itu terwujud, sebelum santri dan masyarakat kenyang mereguk untaian hikmah dan mutiara ilmunya, ketika usianya masih begitu muda, usia yang penuh produktivitas, ajal mendahuluinya. Idza Jaa Ajaluhum Fala Yasta’khiruna Sa’atan Wala Yastaqdimun, Jika ajal telah tiba, tidak akan dapat diundur dan tidak bisa dimajukan, semua berjalan sesuai ketentuan Sang Khaliq, dzat pengatur alam semesta, dzat pemilik nyawa setiap insan, yang akan menariknya kembali sesuai kehendakNya. Seluruh santri dan masyarakat menangis, terurai air mata, penuh keharuan dan kesedihan mendalam, menatap jauh kesana, ke alam lain dimana hanya amal yang bisa melindunginya, seakan ada sesuatu yang hilang yang berat rasanya, keadaan seperti menjadi hampa tanpa kehadirannya. Lebih-lebih, sebelum wafatnya, terbilang tiga kali Gus Ishom nongol di acara dunia lain di sebuah stasiun televisi swasta, komentar ulama terhadap alam ghaib. Tidak tahunya, ternyata hal itu adalah sebuah isyarat langit akan dipanggilnya ruh sucinya menghadap Ilahi Rabbi. 

 

Rasa kehilangan mendalam terhadap sosok calon kiai besar dan pemimpin masa depan NU ini sangat beralasan, tidak semata-mata apologi seorang santri yang larut dalam kesedihan. Para aktivis, intelektual, kiai, merasakan hal yang sama. Gus Ishom sudah menjadi bagian tersendiri dalam jiwa masyarakat umum. Rasanya terlalu dini beliau harus meninggalkan kita. Di saat beliau harus mengemban tugas besar, di saat beliau mampu berkarya secara maksimal. Kemampuan Gus Ishom dapat dilihat dari beberapa aspek :

 

Pertama, penguasaan terhadap kitab kuning. Tidak diragukan lagi, penguasaannya yang mendalam terhadap khazanah klasik sangat kelihatan ketika beliau masih di Lirboyo. Selama puluhan tahun beliau ngasuh ilmu disana. Saat usia masih dua puluhan, beliau sudah mengajar tingkat Tsanawi, bahkan Aliyah sebagai mustahiq. Menurut cerita dari kawan Lirboyo, Gus Ishom itu luar biasanya, karena tidak pernah membawa kitab ketika ngajar. Kitab sebesar Uqud al-Juman (kitab dalam bidang balaghah [sastra] ), yang demikian sulit menurut standar santri, di tangan Gus Sihom seperti di luar kepala. Anehnya, ketika ngajar, yang dibawa bukan kitab, tapi koran, majalah, dan buku-buku umum (wacana).