Warta

KH Hasyim : Terorisme dan Bom Tak Ada Di Kitab NU

Rabu, 30 November 2005 | 08:53 WIB

Pekalongan, NU Online
Munculnya kelompok-kelompok Islam radikal yang menghalalkan kekerasan dinilai karena salah dalam memahami agama. Maka untuk membasminya, juga harus ada perbaikan dalam pemahaman beragama.

Pernyataan itu ditandaskan Ketua Umum PBNU KH Ahmad Hasyim Muzadi dalam acara Halal Bi Halal warga NU di halaman Kantor PCNU Kabupaten Pekalongan hari ini.
Di depan ribuan warga Nahdliyyin Kota Santri, Hasyim menegaskan, agama dipakai untuk kekerasan karena tidak adanya manhaj (kerangka berpikir-red) dalam memahaminya. ''Termasuk jika ada yang mengartikan jihad dengan membunuh dan bom bunuh diri itu karena tidak adamanhaj,'' tegasnya.

<>

Dia menyontohkan dengan budaya dan cara beragama yang dijalankan NU selama ini. Dalam kitab yagn digunakan NU tidak dikenal istilah terorisme atau bom. ''Orang NU membuat mercon saja gagal,''kelakarnya disambut tawa hadirin.

Orang yang berpengetahuan agama banyak tapi tidak banyak yang bisa memahami dan melaksanakan agama. Sehingga tidak sedikit yang menggunakan simbol agama hanya untuk alat kekuasaan atau politik. ''Masa mau merusak dan membunuh teriak llahuakbar,''paparnya.

KH Hasyim yang pernah menjadi calon wakil presiden dalam pemilihan presiden tahun lalu mengajak kepada warga Nahdliyyin untuk kembali ke jalan NU termasuk dalam memahami agama. Kebiasaan orang NU sebelum melaksanakan agama harus tahu patokannya dulu dan memahaminya.

Dengan melakukan pemahaman yang benar terhadap agama, pengetahuan agama diharapkan bisa menjelma menjadi rasa beragama dan muncul dalam kejujuran, keadilan, dan perilaku lain yang mencerminkan orang yang takwa. '' Ketakwaan dicerminkan tidak hanya dalam hubungan kepada Allah namun juga kepada manusia dan alam,''tambah beliau.

KH Hasyim mengilustrasikan puasa sunah yang bisa dilaksanakan pada Bulan Syawal. Puasa tersebut dinilai cukup berat karena dilakukan ketika orang lain tidak puasa, dan dia harus tetap memperlihatkan bahwa dia tidak berpuasa.

Jika itu digambar sebagai seorang pemimpin maka mereka yang bisa melakukan hal itu adalah pemimpin yang benar-benar bisa melayani dengan ikhlas. Fenomena saat ini sebaliknya. Banyak pemimpin yang seolah-olah puasa padahal tidak, sepertinya simpatik padahal penipu, sepertinya membangun tapi sebenarnya menggerogoti.

Rasa beragama tambah dia, tidak diwujudkan dalam pengetahuan namun dengan pemahaman dan perbuatan. ''Kita bisa mendirikan fakultas hukum tapi tak bisa membuat fakultas keadilan atau kejujuran,'' tegasnya.(sm/Die)