Warta

KH Muchith Muzadi: NU Jangan Dijadikan Alat untuk Mereaksi

Kamis, 4 November 2010 | 02:01 WIB

Jakarta, NU Online
“Sebagai santrinya saya tidak rela Kiai Hasyim difiksikan seperti itu. Dikarang-karang sesuai dengan selera penulisnya. Kiai Hasyim itu bukan orang sembarangan, tetapi panutan jutaan warga Nahdliyin. Kalau apa yang diceritakan salah, maka akan menyesatkan pengikut beliau. Yang penting lagi, masyarakat pasti memersepsikan terbitnya novel itu adalah reaksi dari film dan buku Kiai Achmad Dahlan. NU jangan dijadikan alat untuk mereaksi.”
 
Demikian dikemukakan KH Muchith Muzadi mengenai terbitnya novel Bulan di Atas Ka’bah yang menceritakan kehidupan KH Hasyim Asy’ari. Mbah Muchith, demikian KH  Muchith Muzadi dipanggil, mengungkapkan kegelisahannya pada NU Online tadi malam (3/11) melalui pesawat telepon.<>

Mbah Muchith yang juga Musytasyar PBNU menyarankan bahwa jangan ada orang NU dan pesantren yang membantu penerbitan ataupun pendistribusian novel itu. “Penerbitan buku itu tidak ada kaitannya dengan PBNU. Tidak mungkin orang NU merendahkan tokohnya sendiri seperti itu. Kalaupun terpaksa menerbitkan buku tentang kehidupan sehari-hari Kiai Hasyim asy’ari mestinya ketemu beberapa orang yang pernah menjadi santrinya. Tidaka asal nulis saja,” lanjutnya.

“Ini kan kesannya hanya cari popularitas saja. Kapan ditulisnya? Kapan merencanakannya? Kok tiba-tiba sudah jadi? Ini bukti bahwa penulisannya hanya ngejar keuntungan tanpa mempedulikan perasaan orang NU dan para santri termasuk keluarganya,” kritik Mbah Muchit masygul.

“Bagaimana orang yang tidak pernah bersentuhan dengan NU dan dunia pesantren menulis tentang tokoh NU dan kiai besar. Sebagaimana diceritakan di novel bahwa Kiai Hasyim seorang pluralis, padahal saat itu pluralisme tidak menjadi agenda pesantren, termasuk HAM dan demokrasi. Kiai Hasyim mengajarkan Islam dan perjuangan kebangsaan. Sejak tahun 1930-an Kiai Hasyim ini telah menggembleng santrinya untuk melawan penjajah. Pernah ditawari jabatan oleh Belanda tetapi malah minta doa pada santrinya agar dikuatkan pendirian, agar tidak tergoda untuk menerima tawaran Belanda. Ketika 'merah-putih' dilarang berkibar, dan lagu Indonesia Raya dilarang dikumandangkan. Dengan beraninya Kiai Hasyim menyuruh mengibarkan merah putih dan mengumandangkan Indonesia raya di pesntrennnya. Hal-hal yang bersifat patriotik dan heroik seperti itu tidak digambarkan dengan baik,” papar Mbah Muchith yang santri langsung KH Hasyim Asy’ari.

“Lebih sembrono lagi kalau novel itu mau difilmkan, ini namanya kan NU dipakai orang lain untuk mereaksi film Kiai Ahmad Dahlan. Para sesepuh NU tidak mau kiainya dijadikan alat orang lain untuk reaksi mereaksi seperti itu. Itu tindakan kekanak-kanakan, kalau bisnis hanya bisnis murahan,” pungkasnya. (hmz)