Warta

Kinerja DPR dan Pemerintah Kian Buruk

Kamis, 6 Oktober 2005 | 07:41 WIB

Jakarta, NU Online
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini yang hanya menjadi tukang stempel pemerintah, dari pada memperjuangkan kepentingan rakyat, kinerjanya lebih buruk dari DPR rezim Orde Baru. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla pun lebih oligarki dari rezim Orde Baru.

Penilaian itu dilontarkan Wakil Direktur Eksekutif (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) E Shobirin Nadj dan pengamat politik dari Universitas Indonesia Arbi Sanit yang dihubungi terpisah di Jakarta, Rabu (5/10) berkaitan dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Keduanya menilai, lembaga eksekutif (DPR) dan eksekutif (pemerintah) sekarang anti kepentingan rakyat.

<>

Untuk DPR misalnya, indikasinya jelas, yakni mayoritas fraksi di dewan lebih mendukung kepentingan pemerintah dari pada kepentingan rakyat dalam hal kenaikan harga BBM. ''Ini menjadi ironi, karena DPR sebagai wakil rakyat, ternyata lebih memilih mendukung kepentingan pemerintah dari pada memperjuangkan kepentingan rakyat.

Peran Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) di parlemen sebagai oposisi, sama sekali tidak memberikan pengaruh berarti dalam konfigurasi politik di DPR. Meski merupakan fraksi kedua terbesar di parlemen, namun FPDI-P nyaris tidak memiliki partner dalam mengkritisi kebijakan pemerintah.

Menurut Arbi Sanit, peran FPDI-P sebagai oposisi menjadi tidak berarti, karena Golkar tampil sebagai pilar pendukung pemerintah di DPR bersama-sama fraksi dari partai Islam. Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) sendiri yang diharapkan bisa menjadi partner PDI-P tidak memiliki posisi yang jelas, kadang-kadang dekat ke oposisi, tetapi lebih banyak ke pemerintah.

Dari konfigurasi kekuatan politik tersebut, DPR menjadi sama sekali tidak bisa memenuhi harapan rakyat. Rakyat tidak memperhitungkan DPR lagi, sehingga tidak heran jika masyarakat langsung menyampaikan protes langsung ke Presiden, ketimbang ke DPR.

Lembaga DPR sekarang kata Arbi, bukan lagi cerminan wakil rakyat, tetapi sebagai wakil negara. Kalau mereka wakil rakyat bukan wakil negara, pasti mereka memperjuangkan agar kenaikan harga BBM tidak dilakukan, minimal menunda kenaikan atau secara bertahap.

Di sisi lain DPR memang sudah dikontrol pemerintah melalui kekuasaan Partai Golkar. ''Inilah celakanya kalau ketua partai adalah orang pemerintah, yakni Wapres Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Akibatnya tidak ada lagi yang memperjuangkan rakyat, semuanya mendukung penguasa,'' ujarnya.

Rezim Oligarki

Sementara Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla sekarang kata Arbi Sanit, benar-benar tidak pro rakyat. Pemerintahan sekarang ini lebih mementingkan kepentingan kaum bisnis besar yang tidak mau berulang-ulang melakukan perhitungan ekonomi.

DPR dan pemerintah benar-benar tidak memikirkan nasib dan kepentingan rakyat yang bebannya semakin berat. Yang terjadi, para penguasa tersebut justru menjatuhkan beban negara menjadi beban rakyat, sementara mereka sendiri tidak menanggung sama sekali beban negara.

''Pemerintahan sekarang lebih pantas disebut rezim oligarki, karena kenyataannya lebih oligarki dari rezim Orde Baru. Wapres Jusuf Kalla dan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie lebih dominan sebagai kekuatan oligarki untuk kepentingan bisnis besar dari pada kepentingan rakyat, sementara Presiden Yudhoyono sendiri setuju saja dengan kebijakan anti rakyat itu,'' tegas Arbi Sanit.

Indikasi dari rezim yang anti rakyat tersebut sangat jelas dalam kebijakan menaikkan harga BBM di luar batas kemampuan rakyat. Kebijakan tersebut juga jauh dari prediksi para ekonom yang profesional dan hal ini menunjukkan pemerintah sekarang tidak memiliki empati terhadap kesulitan rakyat.

Pemerintahan sekarang sama sekali tidak memikirkan bagaimana mengurangi beban rakyat tersebut melalui kebijakan-kebijakan anggaran. Dalam hal belanja negara misalnya, pemerintah sama sekali tidak mencoba mencari jalan keluar meringankan beban rakyat melalui pengetatan anggaran belanja negara.

Kalau saja ada niat mau meringankan beban rakyat, pemerintah bisa saja melakukannya melalui pengetatan anggaran belanja negara. Tetapi yang terjadi, daftar belanja negara tetap saja jalan dengan pembelian mobil dan barang-barang mewah lainnya untuk kepentingan pejabat.

Rezim Orde Baru saja bisa melakukan pengetatan dengan tidak menaikkan gaji pejabat negara ketika kondisi keuangan negara masih minim. Rezim Orde Baru pun tidak pernah menaikkan harga BBM lebih dari 40 persen. (SP/Cih)