Warta

LSF: Masyarakat masih belum Paham terhadap Sensor

Ahad, 24 Mei 2009 | 02:32 WIB

Yogyakarta, NU Online
Masyarakat Indonesia dinilai masih belum memahami mekanisme sensor yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Ini membuat LSF selalu berada pada posisi yang sulit. ''Selama ini kalau guntingnya terlalu tajam nanti dimarahin. Tetapi kalau tidak digunting kita juga kena marah,'' kata Nunus Supardi, wakil ketua LSF, dalam diskusi forum kemitraan yang digelar di Yogyakarta, Sabtu (23/5).

Munculnya indikasi ini, kata Nunus, semakin jelas terlihat dari persidangan judicial review yang pernah dilakukan terhadap keberadaan LSF di Mahkamah Konstitusi. Gugatan tersebut dilakukan oleh sekelompok sineas yang menginginkan peran LSF ditiadakan. ''Tetapi pada saat sekarang LSF tetap menjadi sebuah lembaga yang masih diperlukan dan itu sudah diperkuat lewat (keputusan) MK,'' kata Nunus. ''Memang yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana lembaga ini bisa meningkatkan lagi kinerjanya,'' sambungnya.<>

HM Johan Tjasmadi, anggota LSF, menegaskan bahwa lembaga sensor harus bisa menempatkan perannya seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI). ''Perang atau tidak, TNI itukan tetap dibutuhkan. Begitu juga dengan LSF, jika tidak ada maka akan bisa kacau,'' ujarnya.

Johan membenarkan pemahaman yang masih minim membuat keputusan LSF kerap kali menimbulkan perdebatan. ''Yang muda inginnya tidak perlu ada sensor. Tetapi ulama inginnya sebanyak-banyaknya menyensor. Di sinilah yang selalu membuat kami berada dalam posisi yang serba salah. Tetapi bagaimanapun peran LSF itu tetap harus dijalankan,'' kata dia.

Johan juga menyampaikan dalam era informasi teknologi seperti sekarang LSF berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. ''Tetapi bagaimanapun LSF juga wajib berpegangan teguh serta menjaga nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia.''

Sebelum memulai diskusi, terlebih dahulu diputar film Perempuan Berkalung Sorban. Film yang pernah menuai kontroversi ini kembali lagi memunculkan pro kontra dari berbagai kalangan yang hadir. Salah satunya disampaikan oleh perwakilan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Yogyakarta. ''Film ini masih kurang melakukan riset,'' ujarnya.

Namun Chand Parwez Servia, produser film Perempuan Berkalung Sorban, menilai pro kontra terhadap filmnya menjadi masukan penting. ''Yang pasti kami juga telah berusaha melakukan yang terbaik tanpa pernah ada maksud untuk menyakiti,'' katanya.

Sementara itu sosialisasi kegiatan LSF ini dijadwalkan juga menyambangi sejumlah kota besar di Indonesia. Selain Yogyakarta, LSF akan datang ke Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Bandung, dan Surabaya.

Dari diskusi di Yogakarta, Nunus menyebutkan salah satu point dirumuskan adalah LSF, KPI, dan pihak terkait supaya menysun pedoman penyidikan yang proporsional dalam mengatasi pelanggaran. ''Selain itu memperlancar komunikasi antar LSF, KPI, produser, pemerintah, sineas dan tokoh agama demi terciptanya kesepahaman,'' kata Nunus. (rol)