Warta Geliat NU di Mancanegara (1)

NU Malaysia, Berkah Runtuhnya Orba

Rabu, 15 Maret 2006 | 16:39 WIB

Runtuhnya pemerintahan Soeharto 12 Mei 1998 silam ternyata membawa berkah tersendiri bagi NU. Pasalnya, pasca-runtuhnya rezim otoriter tersebut, NU bisa lebih berkembang tidak hanya di dalam negeri, tapi juga luar negeri seiring dengan  perubahan politik di Indonesia yang berlangsung dengan akselarasi sangat cepat dan dinamis.

Ahmad Millah Hasan, Jakarta

<>

Warga NU di belahan dunia merespon dengan baik perubahan politik dalam negeri dengan memperjuangkan berdirinya kepengurusan NU di luar negeri. Pasca runtuhnya Orde Baru (Orba), selain Mesir, di Malaysia juga berdiri Pengurus Cabang Istimewa (PCI) dengan beranggotakan kader NU yang berstatus mahasiswa dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi menyambut baik berdirinya PCI-NU Malaysia. Hal itu dibuktikan dengan kedatanganya ke Malaysia untuk melantik pengurus PCI-NU Malaysia selama dua periode kepengurusan. Tidak hanya Cak Hasyim—sapaan akrab KH Hasyim Muzadi—tokoh NU lain, seperti Gus Dur, Rozy Munir dan sejumlah tokoh NU lainnya pernah datang ke Malaysia untuk bertatap muka dengan warga NU di Negeri Abdullah Badawi tersebut.

“Sebagai bagian kecil dari spektrum warga nahdliyin (sebutan untuk warga NU, red) yang tinggal di luar negeri, maka kami memulai gagasan pendirian NU dengan diskusi-diskusi kecil. Pada akhirnya, sampai pada suatu kesimpulan bahwa dari tradisi dan nilai-nilai keagamaan yang dijunjung tinggi, maka, Jam'iyah NU di masa depan akan lebih progresif karena era reformasi merupakan saat melakukan perubahan penting (turning point) dalam sejarah perjuangan NU,” kata salah satu tokoh PCI-NU Malaysia Drs H Miftahurrahim, MA.

Berdirinya PCI-NU Malaysia tidak dapat lepas dari peran Miftahurrohim, Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), yang juga alumni pondok pesantren Tebuireng Jombang dan Mislachuddin Djawahir (mahasiswa Pascasarjana di UKM) terpanggil untuk menggagas berdirinya NU di Malaysia (Asean).

Kedua mahasiswa dari keluarga NU tersebut bergerilya beberapa bulan secara sembunyi dan confidential. Hal itu dilakukan karena sebagian besar mahasiswa Indonesia yang melanjutkan pendidikannya di Malaysia bukan berasal dari keluarga besar NU. Setelah beberapa minggu mengidentifikasi informasi dan asal-usul beberapa mahasiswa Indonesia yang kuliah di berbagai universitas di Malaysia, kedua kader NU tersebut mendapat informasi yang tidak akurat karena mahasiswa yang dimaksudkan ternyata bukan dari kalangan keluarga nahdliyin.

Pencarian secara acak dan terbatas terhadap mahasiswa dari keluarga besar NU tersebut akhirnya mendapati 12 orang generasi muda NU yang menjadi embrio berdirinya PCI NU. Mereka adalah Miftahurrohim (S2-UKM/Lamongan), Mislachuddin (S2-UKM/Sidoarjo), Mukhammad Khanief (S2-UKM/Jogjakarta), M. Agus Salim (S3-UKM/Pasuruan), Misbahus sudur (S2-UKM/Jombang), Ahmad Rodoni (S3-UKM/Jakarta), Mukhlas (S2-UM/Universiti Malaya/Lamongan), Musthafa Tabrani (Alumni Tebuireng/Jakarta), Muhammad Khailani (TKI/Cilacap), Muhammad Nurhadi(Guru Agama/Ponorogo), Mahmud Zaki Fuad (S2-UM/Banjarmasin), dan Syamsul Huda (S3-UKM/Bengkulu). Keduabelas kader NU tersebut menyambut baik gagasan berdirinya PCI-NU di Malaysia.

Akhirnya, mengadakan musyawarah pertama pada 17 Maret 1999, bertempat di ruang rapat Masjid UKM Bangi Selangor Malaysia. Pertemuan tersebut akhirnya hanya dihadiri sembilan orang yang kemudian dikenal dengan ‘Tim 9’, karena tiga nama terakhir tersebut di atas tidak hadir.

Melalui diskusi yang cukup dinamis dan proses perdebatan yang alot, maka berkembang beberapa hal substantif dan strategis, antara lain muncul tiga pilihan gagasan dalam rangka merapatkan barisan oleh keluarga besar NU di Malaysia, yaitu mendirikan NU, PKB atau KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama). “Selanjutnya setelah memperhatikan berbagai masukan dan pertimbangan, forum bersepakat untuk menggagas berdirinya NU Asean di Malaysia,” ungkap Miftahurrohim. (bersambung)