Warta

NU Mesir Definisikan Pornografi dan Pornoaksi Perspektif Fikih

Senin, 20 Maret 2006 | 04:52 WIB

Kairo, NU Online
Pro-kontra atas Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di tanah air, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI-NU) Mesir, tak mau tinggal diam. Melalui Lembaga Bahtsul Masail (LBM), Minggu, (19/3) lalu, PCI-NU Mesir menggelar bahtsul masail waqi'i (pembahasan masalah fikih realitas) dengan tema Definisi Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Fikih Islam.

Acara yang berlangsung di Kantor PCI-NU Mesir, di Kairo itu, akhirnya menyepakati bahwa definisi pornografi dan pornoaksi versi fikih adalah: segala bentuk gambar, tulisan, gerakan atau tindakan yang bisa membangkitkan nafsu birahi, menurut standar orang normal (tidak punya kelainan seksual), baik menutupi aurat maupun tidak, dan untuk dikonsumsi oleh orang-orang yang tidak/belum berhak.

<>

Kalimat terakhir (baca: …dan untuk dikonsumsi oleh orang-orang yang tidak berhak) pada definisi tersebut dimaksudkan supaya definisinya lebih jâmi' dan mâni (komprehensif). Dengan demikian, melakukan perbuatan sesuai pengertian di atas, tapi dimaksudkan dalam kerangka pendidikan seksual dan yang sejenisnya, tidak termasuk bagian pornografi dan pornoaksi. Tapi, dengan syarat tidak dikonsumsi secara masif, atau sengaja disebarluaskan kepada khalayak ramai.

Selain itu, pada forum tersebut juga dibahas mengenai rencana penerbitan majalah Playboy di Indonesia. Pada kesempatan itu, forum bahtsul masa’il sepakat bahwa majalah syur asal Amerika Serikat itu tidak boleh terbit, sekalipun bertujuan sebatas memberikan pendidikan seks, kiat-kiat hidup bahagia dan sebagainya.

Setidaknya ada dua argumen yang menjadi alasan keputusan tersebut. Pertama, belum adanya lembaga media (media watch) yang cukup mapan dan berpengaruh yang bisa mengontrol isi majalah itu. "Siapa yang berani menjamin bahwa majalah itu konsisten dengan janjinya; hanya untuk pendidikan seks saja," kata salah seorang peserta sidang. Kedua, masih rendahnya tingkat pendidikan dan daya kontrol masyarakat.

Rendahnya tingkat pendidikan dan daya kontrol masyarakat di Indonesia, maka perlu adanya peraturan yang mengatur persoalan pornografi dan pornoaksi. Oleh karenanya, peserta sidang sepakat bahwa keberadaan RUU APP itu sangat diperlukan dan harus segera disahkan. Hal itu penting untuk mengatur secara detil tafsir yuridis tentang pornografi dan pornoaksi. (asy)

Laporan Aang Asy'ari, kontributor NU Online di Mesir