Warta

PB PMII Bentuk Pokja Papua

Selasa, 11 Oktober 2005 | 15:04 WIB

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia PMII serius merespon masalah disintegrasi di Papua yang kini makin mencuat. Karena itu, Organisasi yang berbasis massa mahasiswa NU ini membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Papua untuk mengetahui lebih jauh masalah yang terjadi di bumi cendrawasih tersebut.

”Kita membentu Pokja Papua yang akan terjun di Papua dalam rangkan menyelediki masalah Papua secara mendalam,” kata Ketua PB PMII), Hery Haryanto Azumi kepada wartawan dalam jumpa pers di Graha Mahbub Junaidi Jl. Salemba Tengah, Selasa (11/10).

<>

Ada lima hal yang menjadi obyek kajian PMII soal Papua ini. Pertama, Papua dalam perspektif masyarakat Internasional, karena berbicara Papua saat ini tidak dapat lepas dari pihak-pihak asing, kedua, perilaku aparat birokrasi baik daerah maupun pusat, ketiga penegakan Hak Asasi Manusia di Papua, karena saat ini ada sejumlah kasus yang sedang diselidiki, keempat, keadilan dan pemerataan terkait dengan beberapa hal, termasuk masalah ekonomi dan politik dan kelima, masalah keberlangsungan pembangunan. 

Untuk memperlancar kerja PB PMII, Hery, pihaknya akan memanfaatkan jaringan yang dimiliki, terutama enam cabang PMII yang ada di Papua.”Semua pihak akan kami libatkan, utamanya enam cabang PMII yang kami miliki di sana,” ungkapnya.

Dikatakan Heri, mencuatnya masalah disintegrasi di bumi Papua akan dapat mengoyak Negara Kesatuan  Republik Indonesia (NKRI). Masalah tersebut akan terus mengusik dan meresahkan semua elemen bangsa, jika pemerintah tidak segera malakukan tindakan kongkrit untuk mencari solusi yang tepat, sehingga tidak ada lagi elemen masyarakat di Papua yang menyuarakan kemerdekaan.

“Ini mengingatkan kita kembali atas permasalahan di bumi Papua yang belum juga mampu diselesaikan secara baik dan diterima oleh kedua belah pihak, baik pemerintah maupun masyarakat Papua,” jelasnya.

Lantas, apa yang menyebabkan Papua terus bergolak? Menurut PMII, menguatnya isu disintegrasi di Papua disebabkan oleh ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, baik dari sisi akses sumber daya alam, ekonomi, politik dan budaya, maupun berbagai bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah dalam rangka menciptakan stabilitas di Papua. Dikatakan Hery, pembangunan di Papua selama ini tidak berjalan dengan baik, bahkan ada kecenderungan adanya ekploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh pemerintah pusat. 

“Fakta inilah yang kemudian mendorong masyarakat Papua untuk meninjau kembali perjalanan sejarah Papua, khususnya yang berkaitan dengan penentuan jajak pendapat Rakyat Papua tahun 1966 yang dianggap tidak merepresentasikan seluruh masyarakat Papua yang sangat beragam etnis, suku ras,” paparnya.

Ditambahkan alumni UIN Jakarta ini, kehadiran UU No. 21 tahun 2002 tentang otonomi khusus yang dianggap dapat menjembatani permasalahan dan tuntutan merdeka masyarakat Papua ternyata tidak berjalan mulus. Pemerintah terlihat engan melaksanakan UU tersebut secara konprehensif dengan belum dibentuknya Majlis Rakyat Papua (MRP), sebagaimana yang telah diamanatkan oleh  UU Otsus tersebut.

Masalah tersebut, kata Hery, diperkeruh dengan hadirnya Inpres No.1 tahun 2003 tentang pembentukan Irian Jaya Barat yang mengacu pada UU No.45 tahun 1999 tentang pembentukan provinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan kota Sorong.

“Jadi terjadi tumpang tindih undang undang. Ini diperparah dengan putusan MK, bahwa dengan hadirnya UU No.21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus tentang provinsi Papua, maka UU No. 45 tahun 1999 tentang pemekaran wilayah Irian Jaya Barat tidak berlaku,” jelasnya kepada wartawan. 

Pokja Papua PB PMII diketuai oleh Irham Lite dan Eko Setio Budi sebagai Sekretaris. Pokja ini beranggotakan tujuh orang, meliputi, M. Hasanuddin Wahid, Uday Mashudi, M. Fadlillah, Hadi Musa Said, Abdul Wahid Rimpu, Abdul Hakam, dan M Saukani Ashary Rada.(amh)