Warta Terkait Pengruskan Rumah Ibadah

PBNU Akan Temui Kapolri

Rabu, 31 Agustus 2005 | 01:54 WIB

Solo, NU Online
Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi menyatakan pihaknya akan bertemu dengan Kapolri Jenderal Sutanto, Senin (5/9) untuk meminta Polri melakukan tindakan tegas terhadap pelaku intimidasi dan penutupan tempat peribadatan seperti terjadi di Bandung, beberapa waktu lalu.
   
"Umat Islam dan masyarakat secara keseluruhan tidak boleh mengambil alih hak aparat dalam menjalankan hukum positif negara," kata Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi kepada wartawan usai tampil sebagai keynote speaker dalam dialog budaya Refleksi 60 Tahun Kemerdekaan di Solo, Selasa (30/8) kemarin.
      
Karena itu, dia akan mendatangi Kapolri untuk mendorong agar polisi bertindak tegas terhadap pelaku penutupan tempat-tempat ibadah atau gereja. PB NU dan warga NU akan berada di belakang polisi." Polisi tak perlu ragu untuk menghentikan kekerasan seperti itu," ujarnya.

"Kalau gereja ada yang melakukan kekeliruan, biarlah itu diselesaikan dengan jalur hukum. Masyarakat tak boleh ikut-ikutan dengan dalih apapun, apalagi melakukan kekerasan karena menempatkan cap sesat dan sebagainya kepada umat agama lain. NU akan bersama-sama polisi menjamin kebebasan, sehingga orang beragama lain juga terlindungi," ujarnya.

<>

Dalam kesempatan itu, KH Hasyim Muzadi juga meluruskan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan sekularisme, pluralisme dan liberalisme beberapa waktu lalu. Menurut Hasyim Muzadi, telah terjadi kesalahan MUI menempatkan fatwa tersebut, dari yang seharusnya menjadi referensi fikih umat Islam, namun dibawa ke ranah publik.

"Akibatnya, muncul reaksi yang mengeras di masyarakat sehingga fatwa itu berpotensi menjadi faktor pemecah persatuan, karena fatwa itu seakan-akan didorong menjadi hukum positif," ujarnya.

Ia juga menilai adanya perbedaan pemahaman tentang istilah yang digunakan dalam fatwa MUI itu. Ia menocnothkan, pluralisme oleh sebagian anggota MUI dipahami sebagai manifestasi seseorang yang memiliki banyak agama. "Sekuler dan sekularisme tidak dibedakan, sehingga terjadi kesenjangan semantik," ujarnya.

Hasyim Muzadi mengingatkan, agar dalam era globalisasi seperti sekarang, MUI mampu menempatkan diri sebagai sebagai "civil society", sehingga mampu membedakan antara keperluan internal dan tawaran solusi atas beragam persoalan yang mendera perjalanan bangsa Indonesia.

"Secara realitas, konstitusi kita sudah mengenal dan mensahkan adanya berbagai agama sehingga tidak mungkin melarang yang lain. Karenanya pluralisme harus mulai dibangun melalui pendidikan, sehingga pendidikan harus pula menjamin adanya pluralisme," ujarnya.

Setiap agama, memiliki ketidaksamaan dan kesamaan. "Yang tidak sama adalah teologinya. Dan yang sama adalah nilai moral, humanitas dan kemanusiaan. Semua agama bertuhan dan semua agama memiliki cara menghubungi Tuhannya," ujar Hasyim Muzadi.(atr/cih)