Warta

PBNU Diprotes Tokoh-tokoh Muslim Dunia Soal Sanksi Iran

Senin, 26 Maret 2007 | 09:15 WIB

Jakarta, NU Online
Meski tak turut campur dalam pengambilan keputusan pemerintah Indonesia yang mendukung pemberlakuan sanksi Dewan Keamanan PBB terhadap Iran terkait program nuklirnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menerima banyak protes dari tokoh-tokoh muslim dunia.

Hal itu diungkapkan Ketua Umum PBNU Dr KH Hasyim Muzadi kepada NU Online di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Senin (26/3). Menurutnya, tokoh-tokoh muslim dunia sangat kesal dan memprotes keras sikap Indonesia yang menyetujui sanksi DK PBB terhadap Iran. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, katanya, Indonesia tak pantas menyepakati sanksi tersebut.

<>

”Saya sendiri kewalahan menerima kontak dari ulama-ulama terkemuka dunia yang mengungkapkan kekecewaan, kekesalan serta protes keras atas terlibatnya Indonesia dalam menyetujui sanksi PBB terhadap Iran. Karena Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia, pelopor gerakan Nonblok dan eksponen penting OKI (Organisasi Konferensi Islam, Red),” tutur Presiden World Conference on Religion and Peace itu.

DK PBB menjatuhkan sanksi bagi Iran melalui Resolusi 1747 pada Ahad (25/3). Rancangan resolusi yang dirumuskan Inggris, Prancis, dan Jerman itu disepakati secara bulat oleh 15 negara anggota DK PBB, termasuk Indonesia.

Resolusi ini memperluas sanksi atas Iran yang ditetapkan pada Desember 2006 dalam Resolusi 1737. Di antara isi Resolusi 1747 adalah larangan secara menyeluruh ekspor senjata Iran maupun pembatasan penjualan senjata ke Iran. Isi resolusi juga membekukan aset milik 28 lembaga atau perorangan yang berhubungan dengan program nuklir dan rudal Iran.

Iran juga dibatasi untuk memperoleh bantuan keuangan. DK PBB memberi batas waktu 60 hari setelah resolusi agar Iran menghentikan program nuklirnya. Jika diabaikan, DK PBB bisa mengambil langkah yang lebih pantas berupa sanksi ekonomi, bukan militer.

Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars itu mensinyalir, Amerika Serikat (AS) merupakan aktor utama di balik penjatuhan sanksi terhadap Iran. Sehingga pemerintah Indonesia pun tak berani mengambil sikap berseberangan dengan negara adidaya itu.

“Ternyata (pemerintahan) Megawati (Soekarnoputri) mempunyai kadar keberanian lebih tinggi dari pemerintah sekarang. Karena dulu Megawati berani menolak agresi Presiden AS Goerge W Bush ke Irak tanpa bermusuhan dengan Amerika,” sesal Hasyim yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur.

Hasyim mengimbau kepada elit politik di negeri ini agar bisa belajar dari sejarah para pemimpin dunia yang mendukung AS. Menurutnya, sebagian besar para pemimpin dunia yang membela AS itu, saat jatuh dari kepemimpinannya tak satupun yang mendapat perlindungan dari negara yang gemar membuat kekacauan itu.

”Mereka, seperti Marcos, Idi Amin, Duvalier, Nguven Van Theu dan lain sebagainya, tak ada yang ditolong Amerika Serikat setelah jatuh. Mungkin saja Indonesia nanti juga demikian,” ungkap mantan Pengurus Wilayah NU Jawa Timur itu.

Sebelum terlambat, ia meminta elit politik di Indonesia untuk ’tobat’ dengan tidak lagi menjadi agen AS. Karena, menurutnya, negara tersebut bukanlah negara yang setia terhadap negara lain, karena hanya setia terhadap kepentingan sesaat yang menguntungkan diri sendiri.

”Elit politik Indonesia hendaknya sadar sebelum terlambat. (George W) Bush bukanlah orang yang setia kawan, hanya setia kepentingan sesaat. Di Amerika Serikat sendiri, Bush dikritik pedas oleh rakyatnya. Bagaimana kita bisa menjadi bagian dari foreign policy Bush?,” gugat Hasyim. (rif)