Warta

PBNU Gelar Sarasehan Bahas Pengaruh Buruk Media Massa

Jumat, 30 November 2007 | 01:03 WIB

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) rupanya benar-benar menaruh perhatian serius pada perkembangan media massa di Indonesia saat ini. Karena itu, organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia tersebut akan menggelar sarasehan yang membahas sejumlah persoalan berkaitan dengan pengaruh buruk yang diakibatkan media massa.

Kegiatan bertajuk “Menakar Plus Minus Media Massa Indonesia” itu bakal dihelat selama dua hari di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, 5-6 Desember mendatang. Selain dibuka Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, acara tersebut juga akan dihadiri Menteri Komunikasi dan Informatika, Prof Dr Muhammad Nuh.<>

Sejumlah nama beken yang merupakan para pakar dan ahli dalam bidang tersebut, telah disiapkan untuk menjadi narasumber. Mereka, antara lain, Effendi Choirie (Komisi I DPR RI), Ichlasul Amal (Dewan Pers), Effendi Ghazali (Pakar Komunikasi Universitas Indonesia), Parni Hadi (Direktur Utama RRI) dan Said Budairi (Ketua NU Media Watch).

Dipastikan hadir pula, Surya Paloh (Metro Media Group), Suryo Pratomo (Pemimpin Redaksi Kompas), KH Said Aqil Siroj (Ketua PBNU), Bambang Harimurti (Pemimpin Redaksi Koran Tempo), M Sobari (Budayawan/mantan Direktur LKBN Antara), Karni Ilyas (Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia) dan Khofifah Indar Parawansa (Ketua Umum PP Muslimat NU).

Dari kalangan artis dan insan pertelevisian, akan hadir Dedy Mizwar (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional), Jenny Rahman (Persatuan Artis Film Indonesia), dan Ram Punjabi (Produser film dan sinetron). Ikhwan Syam (Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia) dan Seto Mulyadi (Ketua Komnas Anak) bakal hadir pula.

Koordinator Pelaksana acara itu, Ahmad Millah Hasan, mengatakan, sarasehan tersebut diselenggarakan sebagai bentuk respon atas keresahan terhadap perkembangan media massa saat ini. “Karena isinya yang dinilai tidak mendidik. Bahkan, tidak jarang, media massa dianggap tidak peduli terhadap nilai-nilai yang menjadi filosofi bangsa,” terangnya.

Meski sejumlah pihak banyak yang mengkritik, tambahnya, namun, tayangan televisi seakan tak ada perubahan ke arah yang lebih baik. Sinetron remaja, misal, tayangan yang banyak digemari generasi muda itu dinilai merusak karena isinya yang seakan mengajari hidup hedonistik.

“Apalagi, tayangan sinetron remaja kerap mengambil lokasi syuting di sekolah dengan pemerannya menggunakan seragam sekolah. Tidak jarang juga, tontonan tersebut kerap sarat dengan kekerasan dan pornografi,” ujar Millah.

Selain itu, fenomena kebebasan pers dan etika penyiaran juga akan dibahas pada acara tersebut. Belakangan, kebebasan per situ menjadi “tameng ampuh” bagi kalangan media massa saat digugat karena isinya dinilai melanggar norma.

“Ada sejumlah persoalan yang juga menarik dicermati di balik longgarnya regulasi pers dan penyiaran di Indonesia, yaitu banyak terjadi pelanggaran etika jurnalistik dan penyiaran. Banyak media massa yang tidak lagi memandang aspek pendidikan terhadap masyarakat,” paparnya. (rif)