Warta

Pembuatan Buku Tafsir Tematik Kesulitan Definisikan Arti Korupsi

Jumat, 25 November 2005 | 08:34 WIB

Cianjur, NU Online
Proses finalisasi penyusunan Buku Tafsir Tematik dan Fiqh Anti Korupsi yang dilakukan oleh Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) PBNU masih berlangsung. Hal itu diungkapkan oleh ketua tim perumus buku tersebut, KH Dr Mashuri Na’im, di Vila La Citra, Kota Bunga, Cianjur, Kamis (24/11) di mana tim perumus melakukan pembahasan. “Kita masih melakukan pembahasan terhadap isi buku ini,” terangnya.

Tim perumus tersebut beranggotakan KH Dr Mashuri Na’im (Dosen Pasca Sarjana UIN Jakarta), Imdadun Rahmat Msi (Aktivis Lakpesdam), Dr Nurrofi’ah (Dosen UIN Jakarta). Sejak Rabu (23/11) lalu, di Vila tersebut mereka sudah melakukan pembahasan.

<>

Penyusunan buku tersebut memang agak molor dari waktu yang direncanakan, yakni bulan Oktober sudah harus selesai. Namun, menurut Mashuri, demikian panggilan akrab ketua tim perumus ini, hal itu bukan tanpa alasan. Keterlambatan tersebut menurutnya disebabkan banyak faktor, di antaranya persoalan teknis, materi atau substansi buku tersebut dan faktor kehati-hatian dalam pembahasannya.

Untuk yang pertama ia mengatakan bahwa materi dari buku tersebut merupakan hasil dari proses sebelumnya, yakni Halaqoh dan Bahsul Masail. Menurutnya tidak bisa hasil Halaqoh dan Bahsul Masail langsung dijadikan buku, harus ada proses penyelarasan dulu. “Penyelarasan itulah yang sedang kita lakukan saat ini, dan itu tidak cukup waktu sebentar,” tuturnya.

Persoalan yang kedua adalah materi atau substansi dari buku itu sendiri. Salah satu persoalan yang cukup menyita waktu adalah pendifinisian istilah korupsi itu sendiri. Menurutnya istilah korupsi itu sendiri belum didefinisikan secara jelas. Lebih sulit lagi ternyata tidak ada literatur, terutama kitab klasik, yang mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan korupsi itu.

“Di dalam kitab klasik ternyata istilah korupsi, sebagaimana korupsi yang kita pahami sekarang, tidak ada. Yang ada hanya seperti istilah riswah yang bermakna suap. Korupsi dan suap itu kan beda. Kalau korupsi itu lebih bermakna ‘mengambil’ sementara suap itu kan seperti ‘diberi’. Ada juga istilah lain seperti ghulul, al syarikoh. Tapi itu tidak sama dengan korupsi,” terang Mashuri panjang lebar.

Persoalan selanjutnya adalah sikap kehati-hatian. Mashuri menjelaskan buku tersebut bisa dikatakan representasi dari Nahdlatul Ulama (NU) serta buku tersebut akan dibaca sampai kapan pun. Oleh karenanya, tim perumus sangat berhati-hati dalam mempertimbangkan setiap kalimat yang ada. “Jangan sampai rumusan melenceng dari maksud semula,” tandasnya.

Meski demikian ia menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh tim perumus tersebut bukanlah proses ijtihad. Tim perumus, menurutnya hanya mengumpulkan dan mengelola bahan-bahan (baca; referensi, rujukan) yang sudah ada untuk dijadikan dasar pijakan bagi buku tersebut.

Senada dengan Mashuri, Imdadun Rahmat mengatakan bahwa tahapan dari proses penyusunan buku tersebut memang cukup panjang. Hal itu kata Imdad, panggilan akrab intelektual muda NU ini, harus dilalui. Pasalnya, buku tersebut tidak hanya akan dibaca oleh orang NU saja, melainkan juga semua kaum muslim, bahkan juga bagi yang non-muslim.

Selain itu, meski merupakan kumpulan dari pendapat para ulama, namun buku tersebut sama sekali berbeda dengan hasil dari bahsul masail. Kalau bahsul masail, imbuh Imdad, hanya berupa keputusan-keputusan hukum saja, seperti halal atau haram. Tapi kalau buku tersebut cakupannya lebih kompleks.

“Tidak sederhana. Kita harus mulai dulu dari problem korupsi itu sendiri, kemudian landasan teori, realitas sosialnya bagaimana, merujuk pada pendapat ulama siapa, memilih pendapat yang paling tepat, termasuk juga rekomendasi. Jadi memang cukup panjang prosesnya,” jelas Imdad.

Sedikit berbeda dengan kedua orang tersebut, Nurrofi’ah, satu-satunya perempuan dalam tim tersebut mengatakan bahwa tidak hanya literatur Islam yang minim penjelasan korupsi tersebut. Literatur dari Indonesia sendiri juga tidak terlalu jelas apa yang dimkasud dengan korupsi itu. Yang ada, menurutnya hanya kategori korupsi saja.

“Jadi yang ada cuma misalkan perbuatan-perbuatan yang bisa dikategorikan dengan korupsi. Pengertian tentang apa itu korupsi tidak ada. Selain itu juga fenomena korupsi yang berlangsung begitu pesat, dibandingkan perkembangan ilmu pengetahuan”, terang Nurrofi’ah.(rif)