Warta

Pemprop Jatim Desak Mendiknas Akui Madrasah Diniyah

Ahad, 16 Oktober 2005 | 05:32 WIB

Surabaya, NU Online
Pemerintah Propinsi (Pemprop) mendesak Mendiknas untuk bertemu Menag guna membahas pengakuan pemerintah untuk madrasah diniyah (pendidikan keagamaan) di pondok pesantren.

Sekretaris Daerah Propinsi (Sekdaprop) Jatim DR H Soekarwo SH MHum mengemukakan hal itu usai berbicara dalam dialog "Rancangan PP tentang Pendidikan Keagamaan" yang digelar Pimpinan Pusat (PP) Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI)--Asosiasi Pesantren Seluruh Indonesia-- di Surabaya, Sabtu.

<>

"Gubernur Jatim sudah membuat surat ke Mendiknas dan Menag serta Kepala Kanwil Depag dan Kanwil Diknas ke Jakarta untuk menyelesaikan masalah (pengakuan untuk madrasah diniyah) itu," katanya.

Menurut dia, jika Mendiknas dan Menag tidak bertemu untuk membahas masalah itu, maka pendidikan di pesantren akan menjadi korban, padahal jumlah madrasah diniyah di kalangan pesantren di Jatim mencapai ribuan.

"Pemerintah jangan memberikan syarat macam-macam, karena mereka akan sulit memenuhi, tapi pemerintah sebaiknya mengaku keberadaan mereka sebagai ungkapan terimakasih, kemudian kekurangan mereka dibenahi," katanya.

Misalnya, katanya, jika madrasah diniyah di pesantren kekurangan guru seusai standar pemerintah, maka pemerintah harus memberi droping guru atau memberi pelatihan kepada guru yang sudah ada di sana.

"Saya sendiri melihat pesantren sudah harus pakai manajemen moderen, karena jumlah santri yang banyak tak cukup diatur dengan kepemimpinan kiai, tapi perlu ada manajemen sekolah di pesantren," katanya.

Senada dengan itu, Sekjen PP RMI Drs H Hamid Syarief MH mengatakan pemerintah selama ini belum mengakui keberadaan madrasah diniyah, karena itu lulusan madrasah diniyah tak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

"Di dalam RPP ada pengakuan tapi setengah-setengah yakni madrasah diniyah akan diakui jika madrasah diniyah mengajarkan enam mata pelajaran umum yakni matematika, kewarganegaraan, bahasa Indonesia, seni-budaya, IPA, dan IPS," katanya.

Padahal, kata Hamid Syarief yang juga Pembantu Rektor (PR) III IAIN Sunan Ampel Surabaya itu, jika enam mata pelajaran itu diwajibkan akan berarti pemerintah melakukan pemaksaan.

"RMI menawarkan dua pola yakni pemerintah mengakui keberadaan madrasah diniyah dengan memberlakukan ijazah dan standarisasi, kemudian pemerintah memberi dua alternatif kepada madrasah diniyah itu," katanya.

Dua alternatif, katanya, adalah lulusannya hanya bisa melanjutkan ke IAIN dan Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an jika tak memasukkan enam mata pelajaran, tapi kalau enam mata pelajaran itu ada maka boleh melanjutkan ke universitas umum.

"Kalau sekarang Depag mengizinkan pesantren tertentu melanjutkan studi ke IAIN tanpa ijazah, saya kira juga pengakuan yang setengah-setengah, karena kalau hanya Sidogiri, Lirboyo, Ploso, dan Gontor, tentu pesantren lain tidak diakui," katanya.(ant/mkf)