Warta PENCURIAN KITAB NUSANTARA (2)

Pencurian Kitab Nusantara Menjurus pada Pemalsuan Sejarah

Jumat, 28 Maret 2008 | 01:03 WIB

Jember, NU Online
Benar apa yang dipredsiksikan budayawan Agus Sunyoto bahwa Malaysia tidak berhenti melakukan penjarahan naskah klasik Nusantara, sebab hingga saat ini pencurian itu terus berlangsung. Bahkan tidak hanya yang berada di kawasan Malayu Riau dan Sumatera Utara serta Aceh dan Palembang, tetapi juga telah merambah ke Wilayah Kalaimantan dan Sulawesi.

Pencurian ini menurut dosen Universitas Negeri Jember (Unej) Prof Ayu Sutarto sangat membahayakan kebudayaan Indonesia dan juga akan mengacaukan dunia akademik. Tidak menutup kemungkinan nama penulis naskah tersebut diubah menjadi pengarang Malaysia. Sebab hal itu telah lazim dilakuakn oleh Malaysia terhadap beberapa syair lagu yang berasal dari Indonesia.<>

Syair yang hak ciptanya telah dibeli putus tersebut kemudian diubah hak milik dan nama pengarangnya menjadi pengarang Malaysia. “Mestinya seluruh kalangan memperhatikan masalah ini,” katanya Ayu Sutarto kepada NU Online di Jember pekan lalu.

Jangan sampai karya sejarah yang sangat langka dan sangat berharga itu dibawa kabur ke Negara lain, dijual oleh pemiliknya dengan harga murah, karena tidak tahu kegunaannya dan mau digunakan untuk apa oleh pembelinya dan kita hanya bisa menonton kalau hendak memenggunakannya. Pemerintah tidak boleh beralasan tidak memiliki dana untuk menyelamatkan naskah atau kitab bersejarah itu.

“Bila hal itu terus dilakukan maka keagungan peradaban bangsa ini akan merosot, ketika sumber-sumbernya telah dipotong, digelapkan  atau disembunyikan. Kalau Malaysia dan Singapura begitu ketat menjaga agar orang kita tidak mudah masuk ke sana sebelum diinterogasi, kenapa para pencuri itu diberi visa dan bebas berkeliaran ke daerah pedalaman tanpa hambatan. Ini kelakuakn inlander yang tidak punya harga diri," celetuknya.

Terjadinya demoralisasi bangsa ini terutama para pejabatnya telah menjadi masngsa empuk bagi para penjarah asing itu. Sementara untuk membaiki mental mereka juga susah karena pemuda kita sudah berpikiran pragmatis, yang penting untung soal identitas, karakter dan hargab diri dikesampingkan. “Ini berarti national bulding kita bermasalah,” tambahnya.

Menurut dosen yang aktif meneliti kesenian tradisional itu, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Islam nasionalis yang menghargai kebudayaan lokal diharapkan mampu menjadi penggerak kesadaran berbangsa ini. (mdz)