Warta SEMINAR MANAJEMEN PESANTREN

Pesantren, Benteng Pertama dan Terakhir Pendidikan Islam di Nusantara

Ahad, 12 Agustus 2007 | 11:53 WIB

Pandegelang, NU Online
Dari sisi sejarah, pesantren dapat dianggap sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren muncul bersamaan dengan proses islamisasi yang terjadi di bumi Nusantara pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi, dan terus berkembang sampai saat ini.

Ketahanan yang ditampakkan pesantren sepanjang sejarahnya dalam menyikapi perkembangan zaman menunjukkan, sebagai suatu sistem pendidikan, pesantren dianggap mampu berdialog dengan zamannya. Pada gilirannya hal itu telah menumbuhkan kepercayaan sekaligus harapan bagi sementara kalangan, pesantren dapat menjadi lembaga pendidikan alternatif pada saat ini dan masa depan.<>

Pembantu Dekan pada Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. M. Syairozi Dimyathi Ilyas mengemukakan, pesantren adalah benteng pertama dan terakhir pendidikan Agama Islam di nusantara.

“Dengan kekhasannya yang unik, pesantren adalah corak institusi pendidikan Islam di bumi nusantara ini,” terang Syairozi dalam sebuah seminar yang bertempat di Perguruan Islam Mathla’ul Anwar Linahdlatul Ulama (MALNU) Pusat Menes, Pandegelang, Banten, Sabtu (11/8).

Syairozi yang merampungkan pendidikan doktoralnya di Fakultas Tarbiyah Universitas Al-Azhar Kairo ini mengatakan, ciri khas utama lainnya yang tidak dimiliki institusi-institusi pendidikan lainnya di luar pesantren adalah banyaknya waktu belajar yang ada di pesantren sehingga membuka kesempatan besar bagi para santri untuk menuntaskan semua materi pembelajaran yang diberikan.

“Kenyataan ini menjadi basis yang harus kita cermati sebagai kekuatan untuk menjadikan pesantren sebagai institusi pendidikan terunggul di Indonesia yang kita cintai ini,” katanya dalam seminar yang terselenggara atas kerjasama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Britich Council Indonesia, Perguruan Islam MALNU, dan PP Al Mahbubiyah Jakarta itu.

Menyinggung kenyataan kurikulum pendidikan di pesantren, Syairozi menuturkan, dulu, kurikulum di madrasah dan pesantren umumnya diselenggarakan tanpa tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, menurutnya, target yang yang harus dicapai dalam pembelajaran itu juga tidak jelas.

“Selain itu, metode pengajaran yang dilaksanakan oleh para guru adalah metode ceramah. Dlam metode ini, hanya guru yang berperan aktif menjelaskan kandungan materi, sedangkan santri hanya menjadi pendengan setia yang pasif,” kata Syairozi.

Melihat pola pembelajaran seperti itu, Syairozi mengingatkan perlunya diadakan pengembangan kurikulum dan metode pengajaran di madrasah dan pesantren demi efektifitas dan ketercapaian tujuan yang dicanangkan,” ungkapnya.

Sementara, Ketua Panitia Penyelenggara yang juga pembicara dalam seminar bertajuk “Revitalisasi Peran Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Nusantara di Era Globalisasi” itu H Mulya Rahayu Lc, mengatakan, pesantren perlu segera berbenah diri untuk merespon arus globalisasi yang begitu gencar dengan mengambil langkah-langkah preventif dan inovatif agar tidak tergerus olehnya dengan menciptakan sebuah sistem pengelolaan pesantren yang profesional sesuai tuntutan zaman.

“Pesantren tidak akan bisa menolak cepatnya arus teknologi informasi sebagai ciri dari globalisasi. Untuk itu, pesantren sudah saatnya menata diri melalui sistem manajemen yang rapi dan profesional,” terang Mulya, yang mencontohkan bahwa baru baru ini, Fakultas Teknologi Informasi ITS telah memberikan pelatihan kepada sedikitnya 30 pesantren di Surabaya dan Sidoarjo terkait upaya mendegitalisasi kita kuning.

Hadir juga sebagai pembicara dalam seminar itu adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mahbubiyah Jakarta Dr. KH Manarul Hidayat, dan alumnus pondok pesantren At-Tanwir Talun, Bojonegoro, Jawa Timur, Sudarto Murtaufiq S.Th.I. (dar)