Warta

Pesantren-pesantren Besar Bisa Jadi Tinggal Nama

Rabu, 2 Januari 2008 | 07:26 WIB

Cirebon, NU Online
Pondok pesantren-pondok pesantren besar di Indonesia yang kini mempunyai ribuan santri bisa jadi tinggal nama dan hanya kenangan masa lalu jika tidak mampu mempertahankan tradisi salafiyah atau jika kehilangan sosok-sosok kiai kharismatik yang mumpuni dalam penguasaan ilmu agama.

KH Imam Yahya Mahrus dari Pondok Pesantren Lirboyo, Pengasuh Pesantren Lirboyo Kediri, salah satu pesantren besar di Indonesia yang mempunyai lebih dari 10 ribu santri, menyampaikan hal itu saat memberikan taushiyah acara Haul Hasyayih Lirboyo dan Pelantikan Pengurus Forum Mahasiswa Alumi dan Santri Pondok Pesantren Lirboyo (Formal) Cabang Cirebon di Kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Cirebon, Ahad (30/12) lalu.<>

Acara itu dihadiri oleh ratusan alumi senior Pesatren Lirboyo di Cirebon yang menjabat pengurus NU, MUI, dosen dan pengasuh pesantren seperti KH Musthofa Aqil Siradj, KH Sholihi Bodhe, KH Fathoni Syihabuddin, KH Husein Muhammad, KH Ja'far Aqil, dan Rektor STAI Cirebon sendiri H Imran Abdullah.

Pesatren besar yang kini tinggal nama itu, dicontohkan Kiai Imam, seperti Pesantren Panggung Cirebon telah yang menelorkan banyak kiai di Cirebon. Juga pesantren Bangkalan Madura, tempat belajar para pendiri NU dan pendiri pesantren-pesantren besar seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Chasbullah dan KH Manaf Abdul Karim.

"Siapa dulu yang tidak kenal Pesantren Panggung, juga Pesantren Bangkalan, tetapi sekarang apa jadinya, tinggal nama besarnya saja," kata Kiai Imam.

Agar pesantren tetap bertahan, ciri-ciri salafi atau tradisional pesantren seperti cara belajar, amalan-amalan batiniyah dan tirakat, kurikulum,  dan yang lainnya, harus tetap dipertahankann.

Dikatakan Kiai Imam, pesantren-pesantren kini telah berubah menjadi lembaga pendidikan murni dan para pengasuhnya hanyalah semacam manager atau teknokrat yang tidak begitu mumpuni dalam penguasaan kitab-kitab kuning.

Pesantren Tebuireng Jombang yang didirikan oleh KH Hasyim Asy'ary, misalnya, kini dipimpin oleh KH Shalahuddin Wahid (gus Sholah) yang adalah seorang insinyur. "Saya sudah sering menyindir Gus Sholah, tapi beliau hanya senyum-senyum saja," Kata Kiai Imam.

Faktor lain yang menyebabkan lepuhnya pesantren-pesantren besar adalah perbedaan pendapat dan pemikiran yang dipicu oleh perbedaan garis politik.

"Saya selalu saya menekankan bahwa perlu ada ittihad fil-ihtilaf, sepakat untuk berbeda, kalau politiknya memang sudah tidak bisa disatukan. Tapi untuk urusan pesantren semua harus ikut bermusyawarah dan bersatu," kata Rektor Institut Agama Islam Tribakti Kediri itu.(nam)