Warta

Sejarawan: Autobiografi Idham Cholid Penting untuk Dibaca

Sabtu, 8 Maret 2008 | 00:03 WIB

Jakarta, NU Online
Sejarawan Anhar Gonggong berpendapat para politisi dan mereka yang ingin tahu tentang sejarah NU dan situasi politik era 1950-an-1980-an harus membaca buku autobiografi KH Idham Chalid dengan Judul ”Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah”

Dijelaskan bahwa buku yang diterbitkan oleh Forum Indonesia Satu (FIS) ini adalah buku yang memberikan gambaran yang begitu bagus pergumulan mulai dari demokrasi liberal, demokrasi terpimpin sampai dengan masa pemerintahan Presiden Soeharto yang semuanya harus dihadapi dengan kesopanan dan etika politik tertentu.

<>

“Saya menemukan Idham Chalid memiliki etika politik tertentu dalam menyelesaikan krisis yang harus dihadapinya. Tidak hanya pemimpin NU, tetapi sekaligus pemimpin bangsa, sayang jika tidak terbaca, karena informasi yang diberikan adalah informasi dari orang yang selama 28 tahun bergumul dengan segala situasi,” tandasnya dalam peluncuran buku tersebut, Kamis (6/3) malam.

Dikatakannya, dalam periode awal republik yang penuh goncangan ini, para pemimpin nasional waktu itu adalah para tokoh muda yang minim pengalaman, termasuk Idham Chalid. Anhar mencontohkan upaya penyelesaian kasus pemberontakan yang dilakukan oleh Kolanel Simbolon di Sumatra Utara. Idham Chalid yang waktu itu Waperdam bidang keamanan meminta agar Simbolon tidak dipecat secara langsung, yang berarti berbeda pendapat dengan PM Ali Sastroamijoyo.

“Terjadi dialog yang sangat intens yang barangkali kita tidak mendapatkannya sekarang, dalam menghadapi persoalan politik dan keamanan ketika Idham Chalid dengan segala kemamuannya berusaha agar Simbolon tidak dipecat secara langsung, padahal PM Ali Sastroamijoyo mengatakan harus dipecat,” tambahnya.

Anhar menuturkan adanya dialog yang sangat menarik antara Idham Cholid dan Simbolon ditengah muktamar yang akan diadakan. Idham yang datang dari Padang ke Medan, bahkan ditakutkan akan ditangkap, tapi yang menarik, justru Simbolon meminta Idham ditempatkan dirumah walikota yang berdampingan dengan rumahnya agar tidak diganggu anak buahnya.

Selanjutnya Idham Chalid minta bertemu dan disitulah terjadi dialog yang menunjukkan kesopanan ditengah berbagai perbedaan pendapat. Anhar menuturkan Idham Chalid berkata “Saya datang untuk memberitahukan kepada anda bahwa akan ada muktamar NU. Simbolon menjawab “Silahkan lanjutkan, anda aman, walaupun mungkin ada anak buah saya yang ekstrim, tetapi saya jamin keamanan Pak Idham karena saya tahu Pak Idham berbeda dengan sikap perdana menteri,”

“Jadi disitu tampak Simbolon memahami Idham Chalid memiliki sikap yang berbeda dengan perdana menteri. Persoalannya terletak bagaimana Pak Idham menyampaikan persoalan yang didengar kepada presiden sehingga meminta agar menempuh cara lain agar konflik dan kekerasan tidak terjadi,” katanya.

Anhar menjelaskan bahwa buku ini menunjukkan apa yang dapat kita pelajari diantara orang yang berbeda pendapat dan posisi yang berbeda. “Sebenarnya kita boleh berbeda pendapat, tetapi ada satu hal yang tak bisa dihilangkan, bagaimana kita bersikap bahwa kita adalah satu bangsa dan kita harus menyelesaikan persoalan ini. Ini yang saya tangkap dari buku ini,” ujarnya.

Selanjutnya, Ia menuturkan “Lebih dari itu, buku ini memberikan informasi bahwa ada sikap kepemimpinan yang harus dimiliki dalam menghadapi krisis yang ada. Dan Idham Chalid menunjukkannya.” tukasnya. (mkf)