Warta JAM'IYYATUL QURRA WAL HUFFAZH

Sosialisasikan Koperasi dan Wirausaha kepada Para Qari’ dan Hafizh

Rabu, 23 Agustus 2006 | 11:53 WIB

Jakarta, NU Online
Jam’iyyatul Qura’ wal Huffazh (JQH), salah satu badan otonom NU yang membidangi seni baca al-Qur’an, tajwid, tafsir, dan tahfidz, mulai menggalakkan program baru di bidang selain al-Qur’an. Hari ini, Rabu (23/8), di Jakarta, JQH menggelar pelatihan perkoprasian dan kewirausahaan untuk para qori’-qori’ah dan hafizh-hafizhoh.

Kegiatan itu dimaksudkan untuk membangun nalar usaha bagi para ahli al-Qur’an khususnya berkaitan dengan perkoprasian dan kewirausahaan. Spirit ekonomi dalam al-Qur’an sedianya dipraktikkan secara kongkret dalam kegiatan usaha yang sekecil apapun.

<>

“Peserta pelatihan ini diharap mampu memilih jenis usaha yang layak untuk dilaksanakan dan mampun menyusun rencana usaha dengan tikjauan berbagai aspek keberhasilan usaha,” kata Ketua Panitia Penyelenggara L. Sutrisno kepada NU Online menjelang acara.

Kegiatan itu didukung oleh Kementerian Koperasi dan UKM. Sekitar 120 peserta adalah para anggota JQH se-Jabodetabek, santri pesantren dan perguruan tingi al-Qur’an di Jakarta dan Banten, ditambah organisasi kepemudaan (OKP) dan badan otonom di bawah naungan NU.

Para peserta pertama-tama diajak berefleksi seputar krisis ekonomi yang melanda negeri semenjak krisis ekonomi terjadi pada semester kedua 1997, tentang hutang luar negeri yang semakin berlipat-lipat dan pengangguran terbuka semakin merata, sembari mendiskusikan kembali spririt agama untuk membangun perekonomian diri dan umat.

Terkait pemberdayaan ekonomi umat, Islam menitahkan agar harta kekayaan tidak berputar-putar pada minoritas yang beruntung. Pembicara pada sesi pertama, M. Suhendra Fattah dari Universitas Negeri (UIN) Jakarta mengingatkan kembali pentingnya zakat, infaq dan shodaqoh dalam pengembangan ekonomi umat.

“Umat Islam cenderung memiliki persepsi bahwa zakat tidak lebih dari sekedar ibadah ritual yang berpisah dari kontek sosial. Ini menyebabkan kita lupa terhadap maksud mendasar yang yang dititipkan dalam syariat zakat dan lainnya,” kata Suhendra.

Dikatakannya, zakat, infaq dan shodaqoh dapat berpesan penting untuk membentuk usaha bersama berdasarkan prinsip-prinsip koperasi. “Bisa dimulai dari kelompok yang kecil seperi majelis ta’lim ibu-ibu,” kata Suhendra.

Pembicara sesi kedua, Yusri suhud dari Lembaga Pendidikan Koperasi (Lapinkop Nasional, lebih jauh membicarakan asal-muasal dan perkembangan koperasi di Indonesia.

Koperasi Indonesia mulai dirintis pada 1896 oleh R. Aria Wiratama dalam bentuk koperasi simpan pinjam, yang kemudian berkembang menjadi Bank Rakyat (Algemene Volkskredit Bank). Kemudian koperasi digalakkan dalam bentuk koperasi konsumsi berupa pendirian toka-toko bersama pada oleh pada awal abad-20 Serikat Dagang Islam (SDI) dan organisasi-organisasi yang berdiri pada masa itu.

Dikatakannya, koperasi menjadi alternatif penting bagi sebuah komunitas untuk menciptakan kesejahteraan bersama.

“Prinsipnya, dalam koperasi itu rasa untuk saling tolong, bertangung jawab, setiakawanan, jujur dan setara satu sama-lain. Pergerakan koperasi itu selalu dari bawah ke atas. Artinya, para anggota berhak menetukan arah bersama, berbeda dengan sistem ekonomi modern,” kata Yusri.

“Kita harapkan dari ini nanti, anggota JQH mampu membangun lembaga koperasi. Minimal kita dapat menyebarkan virus-virus kewirausahaan kepada para anggota JQH dan para peserta pelatihan, kata Ketua Panitia L. Sutrisno. (nam)