Wawancara PROFIL KANDIDAT

Ali Maschan Ingin Kembalikan Spiritualisme NU

Kamis, 11 Februari 2010 | 02:53 WIB

Ali Maschan Moesa, mantan ketua PWNU Jawa Timur ini menyatakan kesiapannya untuk memimpin PBNU sebagai ketua umum tanfidziyah periode 2010-2015. Ia merasa tersentak dengan realitas ke-NU-an yang saat ini mendapat banyak sorotan sehingga perlu adanya pembenahan dalam berbagai bidang dengan model kepemimpinan yang adem dan damai. Ia berharap bisa mengembangkan NU dengan titik garapan orang NU-nya, bukan sibuk mengurusi wadah organisasinya, dengan mengutamakan nilai-nilai spiritualitas yang memang menjadi jatidiri NU yang saat ini mulai memudar dan kurang mendapat perhatian. Keinginannya untuk mengabdi di NU lebih dikarenakan karena ingin dhandhakno awak (memperbaiki diri) di NU, bukan untuk mendapat sesuatu dari NU.

Pengalaman selama sembilan tahun menjadi ketua PWNU Jatim menjadi modal yang berharga jika ia dipilih oleh muktamirin pada Muktamar ke-32 NU di Makassar, Maret 2010. Silaturrahmi dan kemampuan untuk memenuhi aspirasi para ulama dan seluruh stakeholder NU menjadi salah satu kunci mengapa kepemimpinannya di Jawa Timur bisa berlangsung dengan damai, tanpa gejolak di tengah hiruk pikuk pilkada. <>

Berbagai pemikirannya dalam bidang politik, khittah NU, pesantren, pemberdayaan organisasi, hubungan antara agama dan pemerintah, fundamentalisme dan liberalisme yang menggejala di Indonesia serta isu-isu lain yang menjadi perhatian NU terungkap dalam wawancara dengan wartawan NU Online, Achmad Mukafi Niam baru-baru ini, yang berlangsung di kantor DPR RI Lt 18 Gedung Nusantara.

Bagaimana pandangan Bapak tentang NU saat ini?

Yang jelas kita berterima kasih pada pengurus sekarang, kita semakin dikenal dunia, menjadi rujukan, hal ini kemajuan. Orang mengenal Gus Dur sebagai jendela NU, Gus Dur memperkenalkannya secara pribadi, Pak Hasyim membawanya secara institusional. Cabang NU di luar negeri sekarang hampir semuanya ada. Saya kira ini yang saya rasakan, lebih dikenal di mana-mana ada, dalam tanda petik, konservatisme dan kolotisme sudah hilang, stigma itu hilang.

Ada capaian juga ada kekurangan?

Menurut saya ini ngukurnya dari program yang ada, saya tidak akan mengadakan penilaian, biar muktamirin yang mengadakan penilaian. Namun ada satu sisi, kita tidak boleh melihat NU sebagai wadah, justru NU sebagai orang NU. Ini yang akhir-akhir ini justru kurang mendapatkan perhatian yang proporsional. Justru untuk membangun, menurut saya, kita kembali ke keinginan pendirinya.

NU bukan hanya sebagai wadah, justru orang NU yang harus difikirkan, sudahlah, ngak usah repot-repot, sesuai dengan keinginan pendirinya saja. Di Konun Asasi NU ada tiga misi, bersatu, kasih sayang, dan menjaga kebersamaan. Kalau sudah berbicara ini, maaf, banyak perbedaan, semua kita tidak menginginkan. Ini tidak mudah. Ketika para ulama dan antar ulama silaturrahminya kurang, perlu dirumuskan ulang. Jati diri NU adalah silaturrahmi antar ulama, jadi NU harus rukun, ini tidak mudah, tidak mudah.

Bagaimana merukunkan?

Ya pemimpinnya harus menjadi titik temu kepentingan semua orang NU. Pengalaman saya hampir sembilan tahun memimpin NU Jawa Timur hampir tidak pernah ada konflik, berusaha menjadi bapak, menjadi teman, menjadi payung. Sebagai pemimpin, kita menjadi khadim sajalah. Maunya para ulama gimana, maunya umat kayak apa. Saya pengalaman, tiap Pilkada kita juga rukun-rukun saja karena tidak pernah “masuk” dan akhirnya yang kepingin jadi bupati tetap dengan NU. Dan insyaallah, dari pengalaman itu, secara nasional tidak jauh beda dengan Jatim.

Kompleksitasnya kan beda di tingkat nasional?

Bolak balik kan urusan politik dan ini sudah jelas aturannya, secara institusi tidak boleh, perorangan boleh, maka saran saya bagaimana? Saya punya kecenderungan kalau milih bupati, ukurannya tetap fikih, mana calon yang anfak, aslah dan manfaat dengan NU, tetapi ngak perlu krungu wartawan, krungu wong akeh, dibisiki wae. Mengapa kita lakukan, supaya tetap pada taawun, taaluf, dan kebersamaan itu.

NU sendiri sebagai wadah, jamiyyatul aman, NU harus wadah yang memberi rasa aman atau tempat penguasa aman, politik aman, pengusaha aman, orang melarat juga aman. Semuanya merasa nyaman dengan NU. Pikirane tenang, anyem. Kelihatannya sederhana, tetapi krusialnya NU disitu, dan ini bisa kita lakukan secara institusional, orang pertama betul-betul harus mampu menahan diri.

Selanjutnya ilmu, justru kita harus belajar ilmu sebagaimana perintah Kiai Hasyim Asyari. Jadi kita tetap mendidik. Orang NU itu harus jelas, gurunya harus jelas, kitab’e opo, gurune sopo. Kepribadian guru harus jelas, tidak hanya mengukur kemampuan, persoanalitinya bagaimana. Ini justru jati diri NU.

Saya juga mengaitkan, misi ini dengan isyarah yang diterima kiai Hasyim Asyari yang ketika mendirikan NU masih perlu meminta istikharah kepada Kiai Kholil Bangkalan, yang akhirnya keluar petunjuk surat Thaha. Yang bisa dimaknai penguatan orang kecil. Jadi NU itu sing bangkit ojo ulamae tok, umate wis bangkit opo durung, Ini ulamanya sudah bangkit tetapi umatnya belum bangkit. Kita harus sadar dirilah, dilokne kurang mampu membawa umat.

Kedua, kata asof itu kan tongkat, artinya NKRI final, lha ini kan final bagi NU. Hasil penelitian dari UIN Jakarta tentang sikap para takmir masjid di Jakarta kan hampir 48 persen berpendapat NKRI belum final. Ini artinya perjuangan yang belum selesai. UIN Bandung juga melakukan penelitian terhadap pesantren di Jawa Barat yang hasilnya hampir sama, sekitar 40 persen dhak final juga. Ini nation state, bagaimana NU menjalin hubungan dengan semua komunitas bangsa untuk mempertahankannya.

Dan yang terpenting, yang ketiga, yang mana kita kurang memperhatikannya adalah spiritualisme. Walisongo itu kan tasawwuf, mereka adalah orang yang tajalli, selalu ingat Allah dimana pun, makane dongane mandi, kenopo mandi, karenane sudah tajalli, ketaqwaan.

Makanya ngukur NU jangan ngukur organisasinya, oke lah go internasional, orang NU sekarang wujude koyok opo, puasa Senin Kemis-nya kayak apa. Pengurus NU, nga usah anggota, iku sik gelem sholat rawatib apa tidak. Ini harus dirumuskan ulang kembali, sebab letak perbedaan karena atine wis ora toto.

Saya lihat, sederhana tetapi prinsip, spiritualitas inilah kekuatan NU yang sebenarnya. Yang diambil emotional quotation, spiritual quotation, ini kan hanya kulitnya saja. Tetapi seringkali orang terlena dengan wadah, padahal orang NU adalah gudangnya spiritualitas. Ya ada tarekat, saya khawatir orang tarekat sekarang gupuh dengan wadahnya, tidak gupuh dengan amalannya, gimana takhsinul kolbinya, gupuh dengan organisasinya.

Apa yang menyebabkan terjadinya perubahan ini, spiritualitas kan intinya NU, tetapi mengalami pengeringan?

Satu, proses kemajuan akhir-akhir ini yang memang bersifat meterialistik, banyak diantara kita yang tak sadar. Jadi dengan demikian, kita harus memulai lagi, seperti Walisongo. Lha pertanyaaanya sekarang justru, orang ngurus NU banyak yang ngak ikhlas. Saya ketika terpilih menjadi ketua NU untuk yang kedua kalinya di Genggong Probolinggo, saya menangis, mimpin NU kan harus kuat ikhlasnya, ya seperti para Walisongo. Kiai Wahab ketika mendirikan NU harus ke Sulawesi, ke Sumatra, dengan duite dewe, ini tugas berat, ini kan keikhlasan. Lha kita ini kan kadang ikhlas, kadang tidak, kalau pemimpin NU tidak ikhlas, yok opo.

Dan saya khawatir bicara ikhlas dianggap sok suci, menurut saya tidak, apa pun harus kita lakukan.Donyo, yo ngolek donyo, tapi kito ojo kadonyan gitu lho. Jadi rumusan saya, kita harus membangun organisasi dan membangun orangnya. Selama ini kita tidak bicara orang.

Strategi menumbuhkan spiritualitas baru dalam kondisi seperti ini bagaimana?

Satu, harus kita mulai dengan silaturrahmi, jadi yang namanya lailatul ijtima harus kita giatkan lagi. Dan itu di tiap ranting, kemudian diprogramkan di tingkat cabang dan di tingkat wilayah,. Hal ini harus kita mulai dari diri sendiri. Seminggu sekali atau sebulan sekali, pengurus itu mesti bareng-bareng sembahyang malam di sebuah tempat, ini salah satu model saja. Biar jangan kita yang merumuskan, saya menemukan intinya di situ, di silaturrahmi, tetapi orang banyak nantinya yang akan merumuskan.

Atau mugkin penggiatan tarekat?


Ya, tapi bukan pada sisi wadahnya, sekarang tarekat kan sering gupuh dengan wadah.

Gimana maksudnya “gupuh” dengan wadah?

Kan organisasi tarekat sekarang ini kan menjadi lebih penting dari bagaimana tawajjuhan, bagaimana dzikirnya. Jadi rumusannya, kalau kita kembali ke kiai dulu itu, bagaimana meningkatkan kualitas ibadah, poso syawal itu ming sunnah, tetapi bagi kita, bagaimana ini menjadi kewajiban bagi diri sendiri, kan harus dimulai dari pemimpin. Hal-hal yang dulu kita lakukan, wong NU yo poso sunnah, moco qur’an bareng-bareng, tradisi yang orang NU mulai kurang perhatian serius lagi.

Kita sekarang lebih suka ngomong NU sebagai wadah, belum NU sebagai orang NU. Karena itu, marilah kita ngukur keberhasilan NU tidak hanya dari sisi wadahnya, tetapi juga dari sisi orangnya.

Ini kan berarti ukurannya agama, bagaimana pemimpinnya betul-betul yang aliman, abidan, zaiman. Kita dari segi ilmu harus menjadi pecinta ilmu, belajar terus, kita tetap ibadah, zuhud, ngolek donyo tetapi yo ojo kedonyan, wara’, atau hal-hal yang bisa dihindari. Paling tidak kalau menerima uang yang subhat, ndang disodakohne berapa, 10 persen opo 20 persen.

Kita gali lagilah, apa yang dilakukan oleh para ulama dahulu, hariannya, yaumiyahnya, bulanannya, ini saja yang harus kita kuatkan. Orang memperbaiki orang itu kan harus riyadhoh, coro tarekate. Tidak mungkin orang disuruh masuk tarekat semua, tetapi nilai-nilai ketasawwufan ini bisa kita coba rumuskan ulang, menjadi panduan khaliyah kita sehari-hari, yang nyaris selama beberapa puluh tahun terakhir ini tidak ada pembicaraan.

Apa ini dilatarbelakangi, dulu orang NU dianggap terlalu memfokuskan diri ibadah mahdhoh sementara ibadah sosial kurang mendapat perhatian, lalu anak-anak muda melakukan pemberontakan, yang penting ibadah sosial?

Ya nga juga, jangan terlalu disederhanakan begitu, justru orang kalau tidak kadonyan, ibadah sosialnya akan lebih bagus. Ketika orang memandang dunia sebagai instrumen saja, kita tidak mudah terlena apakah itu kekuasaan, apa itu materi, apa itu kesenangan dunia. Ini menurut saya yang harus menjadi program inti yang tidak boleh ditunda lagi.

Saya mengikuti muktamar NU mulai dari Situbondo, (1984) hampir tidak pernah ada stressing-stressing seperti itu. Menurut saya sudah agak terlambat. Kita sekarang hanya bicara tentang kebesaran NU, bahwa NU dibutuhkan semua orang, kemudian problemnya, tarik-menarik politik.

Orang NU itu mau dikemanakan, kan harus kita kembalikan, biar ngak lali karo gusti Allah. Sederhana saja, walaupun itu sulit, kita harus kembali, sing penting gusti Allah orang jadi tidak mudah putus asa, tidak gampang marah. Ini harus dimulai dari pemimpin NU.

Kita harus menggali lagi leadershipnya nabi, yok opo sebenarnya idealnya, man roa wajhaka yas’a. Jadi orang melihat wajah nabi iku seneng, dipandang saja orang sudah seneng, belum lagi kalau nabi memberi tausiyah, belum lagi kalau nabi ngilingno, mesti dingin, jadi istilah terbarunya inspiring leadership.

Sekarang ada persoalan baru tentang keindonesiaan kita, setelah reformasi semuanya terbuka lebar, muncul aliran liberal dan fundamental, bagaimana NU harus menghadapi tantangan ini?


Justru itu menjadi mimpi saya, di visi saya kan disebutkan memantapkan aqidah dari kelompok kiri dan kanan, tetapi tetap dalam wadah NKRI, memang arah jauhnya ke sana.

Kepada orang-orang seperti itu, kalau saya terpilih, saya akan ajak dialog, tapi nga masuk koran, dialog, dialog, dialog. Sebab menurut saya, sebuah keyakinan harus dilawan dengan keyakinan. Imam Samudra, walaupun dihukum tetap ngroso bener, ngroso munggah suwargo, malah nulis buku, dialah surga, kan tidak menyelesaikan persoalan.

Ibu Lia Aminuddin, sudah dipenjara dua tahun, sekarang ditangkap polisi lagi karena kirim surat ke presiden karena dapat wahyu untuk membubarkan semua agama. Orang seperti itu harus wajadilhum billati hia akhsan, tapi jangan dikorankan dulu, terus dialog, dialog.

Jadi, baik kepada yang fundamental maupun yang liberal, kita harus berlaku sebagai guru. Kita tidak boleh dengan gampang mengatakan dia bukan Islam atau dia bukan orang NU. Janganlah, itu murid saya, kita punya murid, kan onok murid itu sing pinter ono sing goblok, anggep saja gurung lulus. Ayo diwurui maneh. Kita memposisikan diri sebagai guru saja, bukan memposisikan diri sebagai hakim yang mengatakan kamu tidak Islam, kamu tidak NU, jangan begitu.

Ada telpon masuk yang membicarakan tentang pencalonannya…

Ya Alhamdulillah, selama ini, saya dulu kan lama jadi koordinator wilayah NU, pengajian mulai dari Aceh, Bontang, hampir semua wilayah Indonesia, yang belum kan ke Papua. Tetapi Papua malah sudah memberikan isyarat, “insyaallah”. Yo jenenge ikhtiar.

Terus yok opo tadi terusane?

Liberalisme...

Mereka kan orang yang pinter, orang yang punya keyakinan, itu tidak selesai dihukum, dibunuh pun tidak selesai. Diajak dialog, luruskan saja. Didongakno, koyok Abu Thalib. Dalam pengertian luas, dhongo kan dialog, kita orangkanlah. Pokoknya istilah saya guru, kok nilaimu sak mono piye, dasarmu opo, ya mungkin tidak akan membuat mereka berubah, tetapi kalau teruuus didongani, koyo Walisongo bisa saja berubah. Istilahe model Walisongo, wong adu jago iso berhenti, sampe ngomong, jagone belehen, sampek gelem.

Walisongo tidak menggurui, coba Walisongo, tidak ngajak sholat, tapi sembahyang, orang Hindu kan nyembah syang widhi washa, tidak membuat orang menjadi kaget atau tersinggung. "Sembahyange teng pundi", "teng langgar," itulah, mereka kurang apa, Hindu, Budha, pencoleng, semuanya takluk.

Demikian pula kanjeng Nabi, orang dalam peperangan tidak dibunuh kok. Dalam hadist yang kita baca di kitab Riyadhussholihien, pada sebuah peperangan, saat terdesak, Nabi mengucap kata-kata Allah, pedang musuhnya jatuh, terus sama nabi diambil dihunuskan, terus bilang “Sopo sing nulung kamu?” Nga bisa apa-apa, “Muhammad aku sik kepingin urip”. “Yow wis, tapi sholato dhisik”. Ngak mau, tapi dibiarkan, kenapa? Dalam konteks ini, kita harus mengislamkan, menyelamatkan, jadi Islam disini jangan dipahami sebagai klaim trust, perilaku kita setiap detik, setiap saat menyelamatkan yang lain. Orang ketika dalam sebuah peperangan diselamatkan Nabi seperti itu, kan dia masuk Islamnya tinggal nunggu hari saja, suro dirojo joyoningrat lebur dining pangastuti. Menghadapi orang harus seperti itu, nga perlu rame-rame, diem-diem diceluk, dialog, mangan-mangan, kok kamu seperti itu, yakin bisa selesai.

Ada aktifis ketika keluar dari pesantren malah menjadi liberal, ini bagaimana?

Justru itu, kita harus memposisikan guru sebagaimana yang saya katakan tadi, diajak lungguh bareng, saya juga baca bukunya Jabid al Jabiri, baca Abu Zaid (tokoh liberal.red), tapi arek-arek iku wis khatam Risalah Syafii opo durung, semua tsuratnya Syafiiyah khatam apa tidak. Lha disitu kita bisa dialog. Makanya itu potensi besar, ngajak dialog-anak-anak, ayo mbalik. Ngomong wae, untuk itu kita juga bisa bentuk tim yang menangani mereka. Pengalaman di Jawa Timur saya begitu.

Mereka kan bukan sekedar individu, tetapi memiliki jaringan internasional?

Siapapun, intinya kita ajak dialog, wajaadil hum billati hiya ahsan. Tetap model ud’u ilaa sabiili bil hikmati wal mauidhotil hasanati, mauidhoh hasanah dinasehati. Orang seperti itu tidak butuh nasehat, wong rumongso pinter, menghadapinya dengan yang santun. Jadi menghadapi orang seperti itu, soal setuju atau tidak setuju belakangan, tapi reasoningnya apa, reasonable apa tidak? Kitabmu opo. Dialoglah, dan ini bagian dari silaturrahmi.

Terkait dengan pengambilalihan masjid milik warga NU bagaimana?


Justru itu, selama ini kita belum memiliki strategi yang pas, kita hanya ngomong di podium apa selesai! belum menjadi program yang operasional. Kita ini kan lemahnya how to do it. Itulah yang harus kita temukan, angle-nya ini, ini yang jadi persoalan. Ayo dirumuskan bareng-bareng, akeh wong NU pinter-pinter, saya yakin bisa. Persoalannya, ini tidak selesai di podium. Di celuk, mereka kan ingin merubah akidah NU tho. Jangan marah dulu, biar dia masuk NU, malah begitu.

Saya yakin, kalau kita operasionalkan dengan strategis, mereka malah menjadi NU. Walisongo juga seperti Ini. Lha kita ngrasani di podium, ngrasani tok, nyalahno tok, yo durung-durung, wis ngak mau ketemu, apalagi kalau ditarik ke politik, sudah masuk ke media, makanya kita harus menghindari media.

Kuncinya, mereka masih murid kita, durung lulus. Tapi dihadapan mereka ya jangan dikatakan begitu, dilokne goblok yo muring-muring. Tapi kita kan bisa ngajak, ayo dialog, ngomong-ngomong, dasarmu opo. Nek mau ketemu ditemoni, disilaturrahmini, kanjeng nabi kan begitu. Kita kan lupa terhadap masalah seperti itu. Ke masjid diludahi, nabi marah? Enggak. besoknya diludahi lagi, marah? Enggak, malah didongakno. Hari ke tiga, yang meludahi tidak ada, nabi malah takok, “Lho yang biasa ngludahi mana”, ternyata sakit, nabi mempercepat sholatnya, terus dijenguk. Orang kalau sudah dibegitukan, orang yang sangat anti nabi, tetapi disayang nabi, tinggal nunggu jam dan waktu saja, akhire mlebu Islam.

Nabi juga pernah dipukuli di Thaif, sampai berdarah, Nabi tidak marah, malah malaikat sing muring-muring, “Saya hancurkan ya Rasulullah”, “Jangan! mereka kan belum tahu, muga-muga oleh hidayah”. Gunung marah, tidak boleh, soalnya mereka belum mengerti. Mengapa kita tidak mencoba seperti Nabi terhadap teman-teman yang dianggap liberal dan fundamentalis. Kalau dirasani wae, mereka tambah muring-muring dan tidak menyelesaikan persoalan.

Intinya di silaturrahmi dan pendekatan ini?

Ya, makanya, konun asasi itu mendasar, harus dimaknai secara luas. Itu intinya di situ kalau ingin mengembalikan NU, menurut saya, disitulah titik temunya. Ada program yang akan dikeluarkan oleh muktamar, tetapi bingkainya ya yang enam itu tadi.

Ya, ini tugas besar, ini yang mau saya katakan. Saya ilik-ilik sudah jadi ketua IPNU, saya di NU kepingin khidmat, kepingin dhandhakno awak. Saya khawatir kalau tidak jadi pengurus NU awakku tambah rusak, kalau jadi pengurus NU, insyaallah bingkai NU, nilai NU, insyaallah ada. Dhandhakno awak dan mengembangkan nilai-nilai yang sudah dirumuskan oleh para ulama.

Aku kadang-kadang ditanya visi, saya ingin mengembalikan ke Kiai Hasyim Asyari. Saya sudah 10 tahun terakhir berhubungan dengan teori sosial politik yang macem-macem, dari Derrida sampai Fukuyama, mbalik. Dulu dari pesantren, koyo-koyo, kepingin blajar koyo ngono iku, tercapai. Saya belajar mulai Peter Berger sampai Antony Gidden, semuanya mbalik. Udahlah, teori-teori itu, pulang saja. Sekian tahun belajar ilmu sosial, sudah khatam, kembali ke habitat saja.

Perbincangan tentang khittah saat ini belum selesai?


Menurut saya sudah selesai, tinggal pelaksanaan. Khittah ini kuncinya kan jati diri NU, itu saja. Yang krusial kan hubungannya dengan politik dan itu rumusannya sudah jelas, secara institusi tidak boleh, tapi orang per orang silahkan berpolitik. Dalam politik praktis, pengurus NU menjaga jarak. Tidak vulgar, pengalaman saya sembilan tahun seperti itu. Ketika kita vulgar betul, fitnah yang terjadi.

Politik itu kan urusannya “ayat kursi”, kekuasaan, jadi kita harus menjaga jarak. Itu sudah jelas, tinggal melakukan dengan benar. Saya kita tidak perlu merumuskan ulang, sudah benar urusannya, masak orang per orang dilarang berpolitik, institusi jangan dibawa, pengalaman saya dulu begitu saja.

Hubungan NU dengan partai politik?

NU dengan partai mana pun, dengan ormas mana pun tetap harus komunikasi, tidak ada persoalan. Mungkin hubungannya dengan PKB saja beda karena ikut melahirkan, tapi kan sudah rumah tangga sendiri. PKB kan harus menyelesaikan urusannya sendiri. Kalau NU diminta ikut menyelesaikan, saya tidak setuju secara institusi. Organisasi jangan dipakai, sebab tidak semua pengurus NU seneng dengan PKB. Orang per orang yang memiliki perhatian dipasrahi. Tapi juga tidak boleh sok ingin menyelesaikan, tidak usah. Politik itu power, inti politik itu power, ini jumlahnya sedikit, sing kepingin akeh, maka yang menempel ke politik mesti konflik, politik itu mesti konflik, politik tanpa konflik itu is nothing at all. Yang ada adalah memanage konflik itu menjadi sebuah kekuatan. Jadi kita masuk ke situ, itu arena konflik. Namanya politik itu who get what and how, itu politik. Makanya, NU itu tergantung pada keteladanan pemimpinnya.

Atas nama pribadi dan organisasi bagaimana, jabatan kan menempel, orang susah membedakannya?

Justru itu, kita tidak boleh vulgar, bisik-bisik, kalau sudah mobilisasi, wong bisik-bisik oleh, tapi jangan mobilisasi, terus simbol-simbol digunakan, kan masih ada yang seperti itu. Pilkada, kiai dimintai tandatangan, tapi mereka kan pengurus NU kabeh. Itupun kalau kita melakukan, sudahlah dianggap khatam, selesai. Kalau urusan dengan politik, sudah jelas, NU politik kerakyatan, politik kebangsaan. Struggle for power sudah selesai di situ.

Sering ketua PCNU mana, mencalonkan diri jadi bupati atau wakil bupati?

Ya boleh, asal di non aktif dan tidak menggunakan nama institusi.

Cukup non aktif?

Kalau aturannya non aktif, kalau jadi, mundur. Ini kalau orang pertama. Wis, aturan ngono iku sudah jelas.

Ini pekerjaan yang tidak mudah, saya seringkali prihatin, diri kita saja belum baik kok, tetapi kalau melihat begini. Terus terang, awalnya saya diam-diam saja. Saya kan khutbah di masjid Sunan Ampel, Gus Azmi, yang merupakan keturunan Sunan Ampel yang sekarang megang masjid itu, bisiki saya, “Njenengan kok ngan nyalon, NU sekarang seperti ini, rapat MWC NU saja, Koramil ngak gelem teko”. Menurut Gus Azmi, ini ada sesuatu, terus saya diajak ke makam Sunan Ampel, terus didongani, menurutnya, “Alhamdulillah, sampean purun nyalon ‘getarannya’ kuat”. Saya masih mikir, antara ya dan tidak, awalnya saya ingin membantu saja. Tetapi pernyataannya itu menyentak saya, bahwa NU dimana-mana seperti itu.

Menurut Gus Azmi, "njenengan tipe orang yang mampu". Gus Azmi bilang, “Selama ini saya tidak pernah menjadi pengurus NU, lha kapan hari itu berkunjung ke kantor PWNU Jawa Timur, saya melihat itu karya sampean, saya melihat itu tidak seperti ketika ada njenengan dulu. Saya merasa sembilan tahun Jawa Timur sampean pimpin itu aman, ayem, saya yakin njenengan mampu”. Itu yang membuat saya tersentak.

Sembilan tahun saya memimpin NU, saya tidak pernah diundang ke Ampel, khutbah Jum’atan atau pengajian tidak pernah, justru ketika saya sudah tidak lagi menjadi ketua NU, saat menjadi anggota DPR, saya diminta khutbah. Kalau sudah beliau (Gus Azmi) yang minta, saya mau. Saya tersentak, dan sebenarnya itu yang saya fikirkan juga, NU kok seperti ini. Kita jadi pemimpin harus introspeksi. NU dirasani wong, antar kiai seperti itu, harus ada pemimpin yang dingin, soft, itu menurut Gus Azmi.

Ia juga bilang, “njenengan, diberi Allah orang yang memiliki kemampuan. Toh selama memimpin sembilan tahun, njenengan adem”. Ini bisa terjadi karena kalau ada persoalan tidak di blow up. Ojo dibutekno, itu teori bapak saya, semua persoalan seperti itu.

Jadi DPR enak juga, tapi apa yang saya cari di dunia ini, akhirnya saya tersentak juga. Gus Azmi ngundang saya itu pasti ada dorongan, wong selama saya memimpin NU Jawa Timur sama sekali tidak pernah diundang, apakah pengajian atau maulid, dhak pernah. Kurirnya, yang keponakannya bilang, Gus Azmi minta njenengan khutbah di Ampel. Kaget saya, saya bukan orag bersih, soal tawassul ke (sunan) Ampel atau ke (sunan) Bungkul, itu pekerjaan saya, tapi saya merasa orang yang belum mampu. Cuma sekali di Ampel ada acara ulama dari Yaman, saya disuruh menerjemahkan, kalau urusan bahasa Arab, bisalah, saya orang pesantren.

Ada keinginan warga NU agar NU semakin menjauhi politik?

Sebenarnya warga NU yang mana, ini harus dimapping dulu, tapi mayoritas ingin kedamaian, dipayungi, ingin dilindungi, sebenarnya itu. Politik itu kan kepentingan orang yang menengah ke atas saja.

Maksud saya ada keinginan konsentrasi pada urusan kejamiyyahan, bukan pada orientasi politik, bapak sendiri punya latar belakang politik praktis?

Dhak, saya nyalon gubernur itu kapok sudah, pengalaman yang sangat pahit buat, saya DPR RI itu bukan memposisikan sebagai poltisi, ya amar makruf saja, saya waktu nyalon DPR saya tidak kampanye.

Di Jakarta, saya mulai banyak undangan, pulang Kamis malam sudah ada, pengajian sudah full. Jadi guru besar sosiologi di IAIN Surabaya, Sabtu masih ngajar, saya punya pesantren, juga moco kitab di rumah, ya praktis tiap malam saya ngaji terus. Menurut saya kayak nga ada yang berubah. Saya disini kayak sebagai pengamat saja, belum tune in-lah. Dan ketika saya nyalon DPR, saya ngak kampanye, ngaji saja. Pada acara pengajian, saya terus terang, pokoke saya nga usah dikasih amplop saja, ngono tok, saya njaluk dongo. Mari ramah-tamah ninggal gambar, wis ngono tok. Gitu saja oleh suworo patang puluh ewu.

Artinya kekhawatiran nyalon nantinya akan jadi batu loncatan untuk jabatan politik yang lebih tinggi tidak perlu dikhawatirkan?

Ngak lah, saya waktu nyalon sebagai wakil gubernur, itu pengalaman pahit yang tak kan pernah terlupakan. Itulah politik, sumber fitnah. Ya maaf saja, itu dulu dukungan orang banyak yang mendorong saya, saya mengambil kesimpulan, itu bukan dunia saya. Saya umur sudah 54 tahun, kalau saya terpilih jadi ketua umum PBNU, insyaallah hidup saya untuk umat. Yok opo NU tetap dingin, ngolek ilmu meneh, atine toto, sederhana sajalah. Gelem ibadah maneh, wong NU kok nga gelem tahajjud, terus piye. Kita upayakan lagi, apa instruksi, apa keteladanan, sekolah-sekolah NU nek Senin-Kamis diwajibno poso, semacam itulah. Sederhana saja, ingin noto gitu saja. Allah menakdirkan saya sudah sangat bahagia dengan hidup begitu. Masa tua saya ingin membangun pesantren di sebuah desa, ingin noto ummat. Umur seket papat ini kan kita tinggal rong puluh tahun engkas. Saya pikir, umur wis seket papat, apa lagi yang dicari.

Saya meskipun berkiprah di politik, tetapi saya merasa biasa saja, ya tetap seperti dululah, wong disini juga mulai ada undangan pengajian-pengajian.

Kekuasaan itu kan seperti minum air garam saja, tambah haus?

Saya melihatnya sebagai variasi perjuangan saja, dakwah saya dakwah politik, yo ngilingne arek-arek, nek ra berhasil marah-marah. Koyok ora dhue gusti Allah wae, sudah tinggal 28 kursi, sering kalah. Jarene arek-arek, perlu ono kiai-ne. Yo ngedem-ngedem arek-arek wae aku iku.

NU iku dibalekno Walisongo wae, noto ati. NU sebagai organisasi sudah tertata, tinggal nerusno. Jadi kalau dikatakan kurang manejer iku koyok opo? orang NU iku pinter-pinter, wis ngerti organisasi kabeh. Cuma atimu iku toto opo ora, pinter organisasi nek atine ora toto tambah ruwet.

Sekali lagi saya bukan sok pinter, tetapi kita harus sadar bahwa kekurangan kita disitu dan diambil oleh orang lain. Jati diri NU itu di Walisongo, makanya ketika saya keliling dimana-mana, njelasin NU iku Walisongo. Tahun 1400 Brawijaya lima mengawini Dewi Dhorowati yang masih saudara Sunan Ampel dari Campa, Dhorowati itu bulike Sunan Ampel, yang saudaranya Maulana Ishak, ayahnya Sunan Giri. Maulana Ishak waktu itu tugasnya di Sumatra. Dengan cara begitu menjadi Islam. Tahun 1500 mbah-mbah kita sudah haji. Tahun 1600 sebagian yang haji ngak pulang, tahun 1800 muncul ulama besar, diantaranya KH Nawawi Banten dan Kiai Mahfudz Termas, di bawahnya ada generasi Kiai Khalil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Asnawi Kudus, Kiai Abbas Buntet, Kiai Karim Lirboyo, kiai-kiai seluruh Indonesia itu temannya Kiai Wahab. Pulang-pulang dirikan NU, apapun mazhab kita ya Walisongo.

Kadang-kadang kita terlena dengan istilah baru, setelah 10 tahun bergelut dengan ilmu umum, sekarang kembali. Di pesantren khataman Alfiyah, akhrinya masuk S2 tahun 1994, tergila-gila dengan berbagai ilmu sosial, Antony Giddens, sampai terakhir Fukuyama dengan Great Disruptions-nya, mbalik wae. Tetapi paling tidak kita tahulah, dan nambah-nambah ilmu, masak ilmu pesantren tok. Dan kita punya hak lah, kalau kita ngomong history sosial, mulai teori konflik sampai Peter Berger sampai kita tahulah, ternyata cuma begitu saja.

NU kan memiliki massa besar yang tentu memiliki nilai politis, bagaimana menyalurkannya? Apa mesti lewat PKB, partai lain atau dibiarkan begitu saja?

Kita sudah bereksprimen dengan politik, dulu tidak berpolitik, ikut Masyumi dibujuki tok, bikin partai memang besar, tetapi konflik di dalam. Ketika ada reformasi, hampir semua masuk PKB, tetapi toh ketika diupayakan semuanya masuk PKB juga nga bisa. Ya khittah ini yang sudah benar. Adapun hubungan dengan PKB karena ikut melahirkan, tetapi semua tergantung PKB sendiri. Kita disuruh masuk ya nga bisa, kalau jadi mediator oke, tetapi pribadi saja. Tetapi pada prinsipnya keputusan khittah sudah benar.

Sekarang suara di muktamar NU mau membikin partai lagi kan masih ada, atau NU menjadi partai maneh, ruwet. Politik dalam arti power menjadi beban. Okelah mayoritas milik PKB, apapun, pada dasarnya dengan semua partai kita menjaga jarak yang sama, tetapi, secara individual banyak hubungan dengan PKB itupun asal tidak vulgar juga ngak pa-pa.

Jadi nanti hubungannya lebih pada hubungan personal?

Ya memang aturannya begitu, institusional gak oleh. Hubungan politik kan hak pribadi. Keputusan khittah kan sebenarnya hubungan institusi organisasi, jangan dibawa ke mana-mana, tetapi sebagai pribadi anda silahkan jadi lurah, jadi bupati, jadi gubernur, jadi DPR, itu hak anda. Dhak mungkin NU melarang warganya jadi lurah atau DPR kan ngak ada.

Artinya keinginan agar NU memiliki sayap politik tidak sesuai dengan khittah?

Sayap politik dalam bentuk partai menurut saya berlawanan dengan khittah. Tetapi dalam arti aspirasi politik warga NU dititipkan di partai, apa pun partai itu, karena yang agak dekat PKB itu juga ngak salah, kuncinya tetap, institusi jangan dibawa.

Ketika hanya atas nama individu kan bargainingnya kurang kuat?

Politik iku kan molor mrungket, kita tidak boleh kaku-kaku, tetapi garis besarnya seperti itu. Garisnya tidak boleh dilanggar, tetapi bahwa politik iku molor mrungset, grey areanya ini yang bisa digunakan oleh NU. Kalau NU misalnya tidak memberi “bisikan”, repot juga, warga NU akan diambil oleh orang lain.

Dalam pilihan langsung sekarang, one man one vote sementara orang masih dalam keadaan melarat, orang belum mampu berfikir dengan jernih. Informasi terbatas, komunikasi terbatas, dalam keadaan semacam ini, kita tidak salah jika memberikan arahan dan bisikan-bisikan daripada diambil oleh orang lain.

Pengalaman saya waktu nyalon kemarin, ketika orang NU dibiarkan bisa masalah. Di Malang itu, ada satu MWCNU, bilang “Untuk DPR RI memang milih njenengan, tapi kalau propinsi dan kabupaten sampun perjanjian kalih caleg PKS. Kalau hak pribadi oke lah, tetapi sebagai pemimpin NU harus memberikan sikap dengan bisik-bisik, ternyata kan dimanfaatkan oleh orang lain. Disinilah pemimpin NU harus ada luwesnya, tetapi juga ada garis yang dianut dengan tegas.

Bagaimana Bapak mendefinisikan NU dan politik sebagai sesuatu yang berbeda?

Lha politik itu kan power, NU kan spiritnya spiritual, ini kan ranah yang berbeda, politik itu profan. Hubungan ada, walaupun bukan tasfil atau pemisahan, tetapi tamyiz, bukan pembedaan, tapi pemilahan tugas, jadi fungsi NU tetap pada spiritualisme. Jadi politik itu sesuatu yang profan, sesuatu yang profan dimasuki yang spiritual tidak cocok.

Saya mengadakan penelitian tentang NU dan politik kasusnya di pulau Madura. Pokoknya kalau agama dan politik terlalu dekat, selalu bermuara dua hal, satu, yang awalnya memang dia ingin cari kekuasaan untuk agama, tetapi realitasnya agama sebagai alat untuk politik. Kedua, sering terjadi radikalisasi politik atas nama agama. Itu penelitian saya tahun 1997 ketika saya nulis thesis. Jadi kalau politik untuk kebangsaan dan kerakyatan gak po-po.

Istilah PBNU mendirikan PKB nga pas, istilah saya membidani, hubungan batinnya ada, tetapi kalau konfliknya di dalam bukan salahnya orang NU.

Ada indikasi orang nyalon jadi ketua PCNU sebagai batu loncatan untuk meraih posisi bupati atau wakil bupati, apa ini bagian dari politisasi agama?

Sebenarnya boleh saja, aturannya sudah jelas, non aktif selama nyalon, kalau sudah jadi boleh kembali, seperti Pak Hasyim dulu, ini contoh yang paling baik, tetapi kasus saya kan berbeda. Ya itulah, saya menjadi trauma, betapa berdasarkan survey, saya yang paling tinggi. Ketika masuk ke situ kan masuk ring tinju, ya itulah pengalaman saya. Tapi paling tidak saya pengalaman, dan ini menjadi catatan saya, saya catat seumur hidup.

Mengenai fokus garapan ke depan kira-kira apa?

Problem NU menurut saya kan problem orang bawah, problem ekonomi, jadi menurut saya perlu ada empowerment. Harus di surveylah, menurut saya ada dua, satu BPR dan kedua koperasi. Itu kalau mau kita desain bener, bagus. Kita juga bisa bikin toko seperti Indomart atau Alfamart. Jadi kalau kita mau mengembangkan NU kabupaten, pesantren atau MWC, ini bisa menjadi sebuah jaringan. Kita bisa mencontoh yang diterapkan di Sidogiri, ngak perlu bikin pabrik, bikin saja cap Sidogiri.

Kalau kita punya jaringan se-Indonesia, coba bayangkan, untuk satu rupiah kali berapa. Itu harus dimulai proyek per kabupaten. Kita juga punya perusahaan BUMD misalnya, yang bergerak dalam sektor distribusi dan konsumsi. Cuma ini harus lepas dari pengurus NU, NU sebagai pengawas saja. Orang NU ngak boleh terlibat. Makanya kita cari orang profesional yang diawasi oleh orang NU, yang orang NU ini di belakangnya orang yang ngerti bisnis, dan untuk pertama, ini pilot project saja.

Yang lebih mungkin sekarang koperasi, hampir semua pesantren memiliki koperasi, kita bikin saja produk dengan merek NU, kecap, sabun dan lainnya. Teori Darul Arqam kan seperti itu, omsetnya milyaran. Pesantren Sidogiri juga milyaran omsetnya, bisa menghidupi. Kalau punya dana, PBNU bisa join paroan dengan NU cabang. Indomart hanya 200 juta, saya sudah pernah tanya, sayang mau mendirikan tidak jadi. Kita menyiapkan tempat, rak-rak siap, kemudian kita setor 200 juta, tiap bulan kita sudah dapat, kalau tiap cabang punya dua atau tiga sudah berapa, semacam itu. Bisa menghidupi cabang NU sehingga tidak mudah ditarik ke sana-kemari.

Kedua, kita bisa melaksanakan jimpitan beras, meskipun kelihatannya kecil, tapi penting, NU hanya menyediakan yang operasional, kaleng susu ke ranting-ranting, dua atau tiga sendok beras tidak terasa. Ada satu ranting yang bisa mendapatkan 600-700 ribu per bulan. Dan itu diperintahkan harus habis tiap bulan, untuk siapa, untuk janda dan anak yatim. Sing anak yatim itu dibayari SPP-nya, giliran, sedangkan untuk janda untuk biaya pengobatannya.

Masing-masing ranting ngurusi anak yatimnya sendiri, nga perlu buat gedung, itu terlalu repot, tetapi ada sesuatu yang NU berikan. Itu ngalah-ngalahi BLT. NU akhirnya memberi, lho kalau kita secara pribadi memberi belum tentu bisa, kalau jimpitan ngak berat, dua atau tiga sendok kan tidak terasa. Jum’at pagi anak IPNU atau Ansor atau kita sewa orang mengambil dan ketika satu bulan, dijual bisa menghasilkan 600-700 ribu, itu kalau dinasionalkan luar biasa.

Pokoknya kalau lembaga kita dipercaya, itu “tsunami” saja, saya sudah pengalaman. Pengurus NU Aceh baru telpon saya karena tahu saya deklarasi, karena saya nyumbang untuk korban tsunami lebih besar daripada PBNU, 4 milyar, belum termasuk mie, saya bawa berapa kontainer itu ke Aceh. Makanya mereka bilang, “Saya milih Bapak saja”. Kenapa kita bisa dapat segitu banyak, karena kita dipercaya. Di Jawa Timur, kita yang dipercaya, saya kaget juga. Ini kan pemimpin. Saya bisa bangun gedung 11 Milyar, Gedung Diklat di Pasuruan juga 3 Milyar, makanya kalau dari segi manajer, ngurus orang, insyaallah saya mampu.

PBNU pernah berusaha bikin usaha dengan rokok merek Tali Jagat, tapi ternyata gagal?

Rokok itu kompetitornya banyak, kedua, saham NU kan juga nga banyak, jadi ngak bisa menentukan. Jadi saya lebih cenderung hal-hal yang bersifat koperasi atau BPR. Entah itu BPR syariah atau tidak, yang penting tidak membebani bunganya, wong kalau tidak dikatakan bunga ya sama saja. Saya cenderung itu dan jaringan ekonomi kecil tadi. Seperti jaringan Indomart, kita ciptakan dulu, pilot project dulu, misalnya per cabang satu. Wong NU sing sugih-sugih, kongkon urunan. Kita ciptakan instrumen dari atas, kemudian kita bangun jaringan di bawah, saya yakin, insyaallah bisa. Kalau langsung bikin bank seperti zaman Gus Dur ya berat.

Kalau kita ingin menghidupi tiap cabang, dari keuntungan setiap Indomart bisa sampai dua juta tiap bulannya, kebutuhan cabang sebenarnya kan tidak banyak, sehingga tidak perlu mengandalkan partai atau apa. Cabang punya uang 10 juta untuk operasional tiap bulan sudah bisa jalan.

Pemerintah kan juga memberikan dukungan pada ekonomi kerakyatan?

Justru kita tidak boleh mengandalkan pemerintah karena pemerintah tidak mau NU besar, Darul Arqam dihabisi, Nusumma-nya Gus Dur dihabisi karena dianggap bisa menjadi besar. Kalau saya tidak mau dianggap model-model yang melawan pemerintah, pemerintah kan tidak mau disaingi.

Koperasi kan menunjang program pemerintah. Ya kita kerjasama dengan produk luarlah, mie, kecap, sabun, odol. Kalau kita sudah bisa menguasai jaringan seluruh Indonesia, untung satu rupiah saja sudah berapa. Kalau cabang butuh 10 juta sebenarnya bisa saja, sama jimpitan beras tadi, meskipun kelihatannya sederhana, tetapi cukup bagus. Untuk membantu pengobatan. Di desa ke dokter 50 ribu kan sudah termasuk obatnya, kita kan banyak orang sakit tapi nga bisa berbuat apa-apa. Tapi tiap bulan uangnya harus habis. Nga boleh untuk acara maulid atau nyumbang masjid, khusus untuk anak yatim dan janda dan itu yang sakit saja, makane kalau dengar ada yang sakit, minta saja ke NU.
Bagaimana bapak mengembangkan pesantren dalam menghadapi persaingan dengan lembaga pendidikan lain?

Pesantren menurut saya bisa dipetakan menjadi tiga, pesantren salaf murni, pesantren modern, yang nga ada kitab kuning, nga ada barokah, rasional, hubungan antara guru dan murid impersonal, ada juga pesantren yang semi modern, lalu kita mapping dulu.

Bagi pesantren salaf yang masih laku, kita tetap upayakan dan ini tetap kita butuhkan, seperti Sidogiri, biar seperti itu. Kalau nanti mengambil sekolah formalnya, nanti ada yang ilang. Demikian pula di Lirboyo atau Ploso, biar seperti itu. Semantara kalau seperti Tebuireng, nga boleh kebablasan, harus ada ma’had ali-nya, ada pilot project, para santri senior yang pinter-pinter, diwurui maneh, dari kitab Hikam sampai tafsir juga harus ngerti. Walaupun jumlah santrinya nya cuma 10-15 orang, tapi dadi kiai "bener", iso moco kitab.

Yang kepingin modern pol, yow is sak karepmu. Tetapi menurut saya, yang banyak di NU kan yang semi modern dan semi salaf. Ini harus kita upayakan, kalau perlu kerjasama dengan Depag, yang sudah semi modern dan semi salaf ini ada pilot project, seperti ma’had ali. Sayang ma’had ali sekarang kurikulumya kan seperti kurikulum pasca serjana. Kalau saya enggak, mbalik wae ke kitab-kitab lama, atau ustadz-ustadz di pondok itu ditatar nahwu supoyo iso moco kitab temenan, sampai menjadi kiai, ngerti fikih betul. Sekarang kan setengah-setengah, saya khawatir ngak ada kiai yang betul-betul memahami fikih, akhirnya mengandalkan doktor-doktor dari IAIN. Mereka ada kelemahannya, mereka sudah modern, ya maaf, wis nga koyo kiai biyen. Agama itu sulitnya kita kan ngak bisa ngomong saja, tetapi harus dijalani. Kebesaran kiai itu kan ketika apa yang diucapkan dan dilakukan itu sama. Ketika apa yang diucapkan dan dilakukan tidak sama, kharismanya hilang. Saya khawatir kiai-kiai seperti itu pada saatnya tidak ada lagi, padahal NU itu kan pilarnya kiai, ulama.

Kiai Tolhah Hasan kan pernah melakukan penelitian, jumlah santri semakin menurun, ini bagaimana?


Ini yang di pesantren salaf, Lirboyo dan Ploso menurun, tetapi Sidogiri tidak.

Tapi meskipun menurun, keberadaannya tetap perlu?

Ploso itu menurun karena disebelahnya ada sekolah Al Falah yang dikelola Gus Munif. Jadi yang dilakukan oleh Gus Munif itu yang santrinya banyak, seperti yang kita lakukan dulu waktu kecil, isuk SD dan sore madrasah, sebenarnya itu. Jadi sekolah formalnya tetap, kemudian kalau sore atau malam diniyah. Yang seperti itu sekarang yang rame.

Lain dengan Lirboyo yang mendirikan Arrisalah, yang benar-benar sekolah tersendiri, yang mirip-mirip pesantren Tambak Beras. Seperti di Tebuireng, buktinya santri salaf menurun. Jadi itulah hukum alam sekarang.

Pesantren sekarang juga menghadapi stigma terorisme?

Itu bukan pesantren di bawah NU, paling tidak pemerintah tahu bahwa pesantren di bawah NU tidak seperti itu. Hanya kita kena getahnya, tapi tidak terlalu parah. Karena itu dialog-dialog dan hubungan antar agama di pesantren salaf terutama harus digalakkan, fikih politik atau fikhussiyasah harus digalakkan. Sebab saya lihat santri yang cenderung keras, kan masih banyak yang ingin negara Islam. Kan NU sudah memutuskan NKRI final. Menjadi kewajiban NU untuk mengajak dialog beberapa pesantren yang cenderung mengedepankan formalisme agama.

Survey yang dilakukan di Jawa Barat kan pesantren yang masih memimpikan berdirinya negera Islam?

Ya, tapi saya belum tahu persis, pesantren di Jawa Barat kan beda dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tapi itu menurut saya lampu kuning betapa dialog menurut saya tetap harus dilakukan. Jadi menurut saya, NU perlu punya tim khusus yang membidani masalah agama dan negara, mereka diajak dialog dengan PKS, Hizbut Tahrir, kitalah yang proaktif. Ya itulah menurut saya pekerjaan yang riil yang tidak dipodiumkan. Neng podium tok nga mari mas, saya pengalaman di Jawa Timur seperti itu.

Saya di Jawa Timur ngajak dialog Hizbut Tahrir, tapi ngak pernah rame-rame, saya pribadi, paling tidak kan baik hubungannya. Kalau nantang di depan umum, saya juga mau, karena nantang. Di Batam, saya juga pernah ditantang, karena dari Jakarta tidak ada yang mau, pernah dengan Sekjennya al Irsyad, debat ya debat.

Belakangan ini, jumlah pesantren non NU kan juga berkembang, artinya ini bukan domain NU lagi?

Makanya harus kuat RMI-nya, selama dua periode ini, ketua RMI-nya kurang jalan. Orang pesantren tapi bukan aktifis pesantren. Yang jalan itu, orang pesantren yang sejak santrinya jadi pengurus, ini akan jalan.

RMI ini akan jadi fokus saya, akan saya cari orang yang pandai ilmunya, dan sejak santri mau jadi pengurus. Ini akan jalan, jadi bukan karena berasal dari pesantren besar, belum tentu. Dia aktifis ngak, disitu dibutuhkan manajer juga. Bukan hanya sekedar ilmu dan dari pesantren besar, tetapi sejak dari santri mau jadi pengurus ngak, mau ngurus ini, itu, mau soro apa tidak. Orang kalau sudah pernah jadi pengurus mesti pengalaman, pasti bisa. Justru itu, ini akan jadi prioritas saya, cari orang, kan banyak.

Bagaimana link and match antara pesantren, Maarif dan perguruan tinggi?

Saya ini kalau urusan pendidikan, yang jalan biar jalan. NU kan punya banyak lembaga pendidikan. Tidak semua lulusan harus masuk ke perguruan tinggi, saya berfikir anak-anak yang lulus SMP ke SMA atau dari Tsanawiyah ke Aliyah, ditakoni, kalau ingin jadi ilmuwan, ya langsung, dia langsung masuk ke pelajaran yang kelasnya seperti itu, tapi kalau nantinya ingin jadi penjahit, pelajarannya cukup dua hari, yang enam hari ya njahit. Nga usah kakean pelajaran, ya matematika rendahan, agama, bahasa Inggris, pancasila, tapi keluar dari situ, iso njahit, life skill-lah. Kita nyiapkan pilihanlah, bisa service HP, bisa production house, service sepeda motor. Saya kok punya angan-angan, NU punyalah satu kelas untuk ini, satu kelas untuk yang lainnya, kita tawarkan ke sekolah-sekolah dan untuk meyakinkan pemerintah.

Sekarang kan menjadi latah bahwa semua orang harus menjadi sarjana, terus nganggur. Jadi pendidikan sekarang harus dikembalikan pada makna pendidikan yang sebenarnya yang sekarang disebut life skill, disamping mencerdaskan otak dan hati, juga punya ketrampilan. Urusan nyetak atau nyablon saja bisa menjadi kaya,

Bagaimana upaya NU dalam sektor layanan kesehatan?

Sekarang sudah, tinggal menggiatkan saja, pesantren kan sekarang punya Poskestren, rumah sakit milik NU di Surabaya kan besar, di Sidoarjo, Mojokerto, Bangil, Lamongan, Malang juga. Jadi cabang yang ingin punya rumah sakit supaya berguru pada yang sudah besar. berguru pada yang sudah besar. Pesantren kan sudah mulai ada kliniknya. Jawa Timur menurut saya lumayan.

Ada contoh yang bagus di Banyuwangi, jadi di tiap kecamatan supaya diusahakan ada klinik, ada dokter yang dikirim dari cabang NU, trus keliling, kita nyiapkan tempat saja, terus mereka turun ke desa, hampir separuh MWC yang menyiapkan tempat, tiap malam dokter datang, karena yang punya NU, Alhamdulillah masih ada kepercayaan. Paling tidak nek nyuntik moco bismillah, Banyuwangi juga punya rumah sakit. kalau sudah agak berat dibawa ke rumah sakit milik NU Banyuwangi. Ini kan jaringan. Kalau PCNU belum punya rumah sakit, misalnya ada klinik dulu yang dokter datang tiap malam.

Mengenai hubungan NU dengan badan otonomnya bagaimana, kan ada yang dianggap “nakal”?


Saya dulu membuat kebijakan setiap Selasa, minggu ketiga atau ke empat ngadain rapat, ini soal silaturrahmi saja.

Artinya tidak perlu perubahan ada hubungan struktural atau penegasan kembali kesetiaan badan otonom NU?


Dulu saya selalu rapat, guyon, lok-lok ora opo-opo. Kita ini orang NU biasa guyon, kita nga usah marah digitukan, beda pendapat biasa, tetapi itu mesti dilakukan. Kita ngumpul bareng, makan bareng, guyon-guyon, silahkan dibuka, apa kekurangan NU. Bagaimanapun juga kita kan harus ketemu, semua lembaga harus kumpul bareng-bareng, berkatan maneh. Dibuka rais syuriyah, pengantar dari ketua tanfidziyah, terus ngomong apa banom-banom, lok-lokno sak karepmu, kita kan nga boleh marah. Ini pengalaman, makanya hampir sembilan tahun, saya ngak pernah ada gejolak, baik internal atau eksternal, enak-enak saja.

Padahal orang Jawa Timur kan cukup kompleks?

Sekarang ukuran saja, bu Endang, warung yang ada di belakang kantor, masak tiga kali kurang, sekarang bilangnya, mboten enten jenengan, kulo masak sepisan mawon mboten telas sak niki. Ya mungkin berbeda gaya kepemimpinan saya dengan mereka, semuanya tiap hari pada datang, dari komunitas agama, mahasiswa, dan lainnya, ternyata warung saja bisa jadi ukuran. Style pemimpin ternyata juga berpengaruh pada rame dan tidaknya kantor. Makanya, ngapain urusan banom digede-gedekan, urusan dirasani biasa saja, namanya pemimpin itu harus siap dilokne. Pada dasarnya pemimpin jangan hanya ingin dipuji, ngak ada, wong kita berhasil saja ngak dipuji kok, lho ini dianggap enteng saja.

Bagaimana tentang pengkaderan?

Ada tiga hal, justru saya ingin memfokuskan pada keluarga. Pengalaman saya, kalau keluarga eksis, mereka yang mendidik anaknya menjadi NU, ini yang terpenting. Kedua, lewat Maarif NU, sekolah atau lewat lembaga pengkaderan NU, IPNU, Ansor atau lembaga pengkaderan lain. Tiga, yang memang benar-benar formal seperti latihan pengkaderan yang dilakukan oleh Ansor. Yang belum maksimal sekarang pengkaderan formal, seperti berbagai latihan dasar kepemimpinan.

Sering ada keluhan, tiba-tiba ada orang jadi pengurus tanpa melalui proses pengkaderan?


Kalau di Jawa Timur, pengalaman saya tidak pernah terjadi, orang masuk kepengurusan wilayah, dia pernah di cabang atau lembaga, lompat tidak pernah terjadi, ini sudah menjadi aturan. Yang terjadi di mana-mana kan lompat, makanya perlu dirumuskan dalam muktamar, bagian dari rambu-rambu, pola yang bisa dijadikan untuk rekrutmen. Kalau orang tidak jelas, tiba-tiba jadi bendahara PBNU, bagaimana? Kami tidak pernah merekrut orang kalau sebelumnya tidak pernah di cabang atau lembaga, kalau ada lompatan, pasti terjadi sesuatu.

Orang sekarang sering mendikotomikan antara NU kultural dan struktural?

Sebuah kekuatan ya harus sinergi, kultur itu sudah ada sebelum struktur, makanya itu sama-sama sebuah kekuatan yang menurut saya tidak boleh saling menghabisi, yang menurut saya kultur ya harus tetap nyambung dengan struktur, dan kultur itu dijamin tidak akan pernah mati, orang ngaji tahlil ya tetap saja. Jadi dari kultur itu, beberapa daerah yang tidak mau masuk struktur tetap diupayakan. Saya yakin banyak di luar Jawa yang kulturnya kuat, tetapi ketika diajak masuk jamiyyah tidak bisa, menurut saya harus tetap diupayakan, paling tidak ketua tahlilannya mau jadi pengurus ranting, kalau anggotanya jangan dipaksa. Struktur itu butuh pengurus, tidak butuh anggota, anggotanya ya kultur itu, makanya biarkan kultur berjalan seperti biasa. Kultur itu memperkuat struktur, lha kalau struktur butuh orang, kultur disitulah yang harus melengkapi, jadi harus tetap sinergi.

Ada kalanya struktur dianggap tidak aspiratif terhadap kemauan kultur?

Ah, ini kemauan politik saja, kalau sudah begitu, jangan dicampuradukkan lagi. Atau bisa juga terjadi rivalitas, pengurus struktur pengaruhnya kalah dengan kultur, ini kasuistik saja, lagi-lagi dibuat silaturrahmi, biasa kok. Antar kiai saja rivalitas tetap ada, dhak bisa dihilangkan 100 persen, ini bagian dari dinamika. Orang beda pendapat ngak papalah, sing ruwet nanti kalau beda “pendapatan”. Kultur dukung si A, strukturnya dukung B, tapi itu kan temporer. Yo wajar, jenenge wong duwe gawe, piring benthikan, asal ngaK pecah wae.

Muncul ide penguatan syuriyah, ini bagaimana?


Ya memang syuriyah harus kuat, aturannya memang harus seperti itu.

Kalau ada wacana seperti itu, berarti ada sesuatu di lembaga ini?

Bukan, ini lebih pada orangnya, kan sudah jelas rumusannya sebagai pengarah, NU itu ya syuriyah. Memang perlu ada dialog, sowan. Dimana-mana pengurus tanfidziyah dan syuriyah itu sering terjadi rivalitas, jadi menurut saya, rumusan penguatan syuriyah itu ya memang harus kuat. Yang dikuatkan apanya, wong sudah kuat, kan persoalannya tinggal per orang kan.

Tinggal mau memanfaatkan kekuatan yang sudah diberikan atau tidak?

Tetapi meskipun sudah kuat, keputusannya kan harus berdasarkan rapat, namanya keputusan organisasi harus duduk bersama, makanya namanya rapat rutin itu harus ada, entah dua minggu sekali atau sebulan sekali. Kalau kiainya di daerah mungkin bisa sebulan sekali, datang bersama pengurus harian, satu atau dua orang.

Sebenarnya kalau urusan komunikasi dan tempat sekarang tak menjadi persoalan, kalau perlu teleconference. Walaupun dekat tempatnya kalau hatinya jauh, akan tetap jauh, persoalan komunikasi sekarang bukan soal tempat, tetapi hatinya jauh apa tidak, cedek tetapi wa kuluubuhum tsatta, ketoe jejer tapi atine musuhan.

Memang selalu ada rivalitas antara ketua tanfidziyah dan rais syuriyah, ini dinamika, saling melengkapi. Seringkali kita tidak cocok juga, tetapi bagaimana kita meyakinkan, disinilah kemampuan kita membiasakan setuju atau tidak setuju dengan pendapat orang, asal reasoningnya ada. Kita harus berani membuat alasan, reasonable apa tidak. Tapi kadang juga menyangkut kepribadian orang, ada orang yang ingin one man show, juga ada, ada orang yang ingin selalu menjalin kebersamaan. Makanya, rumusan itu sudah sangat jelas, tetapi terkait dengan implementasi personal, tinggal orang itu bagaimana.

Kalau ketua umum harus manajer itu bagaimana?

Kan pada dasarnya ketua umum itu, paling tidak selama ini harus memanage, kriteria seperti itu tidak salah, makanya itu harus cocok dengan raisnya. Kalau raisnya pernah di IPNU atau Ansor pengkaderan lain, syuriyahnya bagus. Kalau tiba-tiba di cabang ada yang langsung jadi syuriyah, sering gegeran karena merasa menjadi pembina, dia pandai membaca kitab, tetapi harus semuanya dia, ada juga. Kenapa begitu?, karena dia tidak pernah berorganisasi dari bawah. Kalau rais syuriyahnya pinter baca kitab, pernah di IPNU, Ansor, di lembaga-lembaga NU, biasanya bagus, arif dan ngerti.

Bahwa seorang ketua harus menjadi manajer, ya memang harus menjadi menajer, lha disitulah bisa dilihat, orang itu pernah memimpin apa tidak, jam terbang itu menjadi sa