Wawancara ZASTROUW AL-NGATAWI:

Di NU, Lesbumi Masih Marginal

Jumat, 5 April 2013 | 18:04 WIB

Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia disingkat Lesbumi, telah berusia 51 tahun. Lembaga kebudayaan di bawah naungan Nahdlatul Ulama ini diresmikan di Bandung 28 Maret 1962. Berarti, ia telah melewati masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.<>

Pada medio 60-an, Lesbumi cukup disegani di antara lembaga-lembaga kebudayaan lain. Lembaga ini sangat berperan, tidak hanya bagi NU, tetapi bagi Indonesia pada umumnya. Tiga tokoh utamanya, Djamaludin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul Sani adalah tokoh film nasional.

Pada zaman Orde Baru, sebagaimana beberapa lembaga lain di NU, Lesbumi sempat vakum atau bisa dikatakan mati. Baru pada masa Reformasi dihidupkan kembali.

Lalu, bagaimana kiprah Lesbumi, visi kebudayaan, dan perjuangannya untuk NU  dan Inndonesia? Juga bagaimana keadannya sekarang?  

Berikut  petikan wawancara Abdullah Alawi dari NU Online dengan Ketua Pengurus Pusat Lesbumi, Zastrouw Al-Ngatawi, melalui surat elektronik:

Untuk apa Lesbumi lahir, kemudian diresmikan tahun 1962 di Bandung?

Di satu sisi untuk mewadahi para seniman dan budayawan yang ingin bergabung di NU, karena tidak tertampung di tempat lain karena tidak sesuai dengan garis perjuangan dan ideologi para seniman tersebut. Suasana sosial politik saat itu mencerminkana adanya “pertarungan” ideologi yang sangat kuat antara sosialis yang tercermin dalam Lekra dengan kubu kapitalis yang tergabung dalam Manikebu. Para seniman yang tidak tertampung dalam ekdua ideologi tersebut membutuhkan wadah untuk bergabung, dan gagasan itu sejalan dengan ideologi NU, maka wajar saja jika akhirnya mereka memilih NU sebagai sebagai media untuk berjuang melalui wadah Lesbumi.

Disi lain, pada saat itu NU juga membutuhkan suatu sayap politik untuk merealisasikan ideologinya melalui jalur kebudayaan, untuk menghadapi provokasi dan gerakan kebudayaan yang dilakukan oleh Lekra melalui para senimannya. Atas dasar inilaih maka NU mendirikan Lesbumi sebagai wadah berkiprah para seniman dan hudayawan untuk melakukan gerakan politik melalui jalur seni budaya. 

Bagaimana visi kebudayaan Lesbumi waktu itu? 

Kalau pandangan dan visi kebudayaan Lesbumi pada masa awal berdirinya bisa dilihat dari pandangan para tokohnya pada saat itu, khususnya Usmar Ismail dan Asrul Sani. Dalam hal ini bisa dilihat dalam Surat Kepercayaan Asrul Sani dan pidato kebudayaan Usmar Ismail. Intinya Lesbumi pada saat itu menentang liberalisme seni budaya, termasuk ungkapan seni untuk seni. Karena bagi Lesbumi, di balik seni ada etika, norma dan berbagai spirit religiusitas yang tidak bisa semata-mata diabdikan untuk seni. 

Kedua, Lesbumi pada saat itu juga menentang hegemoni kebudayaan asing terhadap budaya lokal. Hal ini dibuktikan dengan penentangan Lesbumi terhadap beredarnya film-film asing secara bebas dan berlebihan. Hal ini bukana semata-mata karena sikap sentimen terhadap film asing, tetapi sebagai upaya menumbuhkan dan meningkatkan kualitas film nasional. Dan hal ini berhasil dilakukan dengan bukti impor film asing turun sampai mendekati angka 50% dalam kurun waktu sekutar 5 tahun dan produksi film nasional naik hampir 100%. Artinya, nasionalisme kebudayaan merupakan visi kebudayaan Lesbumi dan pandangan kebudayaan Lesbumi.

Pandangan dan visi seperti itu yang kami teruskan hingga saat ini. Sebagimana kita ketahui saat ini, atas nama liberalisasi dan globalisasi, seni tradisi dan budaya lokal digencet dari dua sisi; di sisi kiri seni tradisi didesak oleh proses kapaitalisasi dan industrialisasi seni sehingga tidak dapat menemukan ruang kreasi dan ekspresi yang memadai, bahkan cenderung dilindas habis karena dianggap tidak profit dan tidak menarik. Di sisi kanan seni tradisi digencet oleh gerakan puritanisasi agama. Mengangagap seni tradisi sebagai bid’ah yang harus dihilangkan karena mengotori kesucian agama.Ketika budaya, tradisi dan kesenia  lokal digencet dari dua sisi, Lesbumi berusaha melakukan advokasi dan perlawanan melalui berbagai kegiatan yang mengarah pada upaya revitalisasi seni dan tradisi Nusantara. Inilah yang kami lakukana saat ini.

Kami sadar pilihan ini sangat berat, karena harus menghadapi dua tantangan besar sekaligus. Selain itu, juga menghadapi teman-teman di NU sendiri yang tidak paham tentang strategi kebudayaan, sehingga maunya gebyar, kelihatan mentereng, diliput media dan sebagainya. Padahal kami sadar, apa yang kami lakukan ini tidak akan mendapat liputan media atau publikasi besar karena kami melakukan gerakan yang tidak sesuai dengan cara pandang mereka. Kami sedang bergerilya, gerilya budaya. Perlu keuletan, kesabaran dan ketekunan dalam menjalankan semua ini. Untuk melakukan semua ini, jangankan dibantu, dibina atau dikasih jalan, kita malah sering dilecehkan, dipandang sebelah mata bahkan tidak dianggap, dan ironisnya sikap seperti ini juga datang dari kalangan NU sendiri.

Bagaimana Lesbumi memandang kebudayaan Indonesia (Nusantara) secara umum?

Saat ini, Lesbumi memandang kebudayaan Nusantara sebagai identitas kultural dan panduan hidup bangsa dan masyarakat Indonesia. Kebudayaan Nusantara adalah jangkar dan akar sekaligus modal masyarakat Indonesia yang bisa menjadi sumber inspirasi dalam menghadapi globalisasi dan melawan hegemoni kebudayaan lain. Karena kebudayaan Nusantara inilah yang paling compatible dengan cara hidup dan cara pandng masyarakat Indonesia. Oleh karenanya dia harus menjadi sumber  inspirasi dan pijakan untuk membentuk sistem-sistem kehidupan lainnya; sosial, politik, hukum, ekonomi dan sebagainya. 

Lesbumi, dari singkatannya ada “muslim” bagaimana pandangan kesenian muslimnya? Dan bagaimana strategi kebudayaan Lesbumi di tengah kebudayaan Nusantara yang beragam? 

Dalam Rapat kerja tahun 2010, kata seniman budayawan dan muslimin telah diubah menjadi seni budaya muslim. Karena kata muslim itu sendiri sudah mewakili dari kata seniman dan budayawan. Jadi, kata seni budaya muslim itu sendiri artinya adalah para senimaan dan budayawan yang beragama Islam, jadi tidak perlu diulang dengan kata seniman budayawan mulimin.

Strategi kebudayaan Lesbumi sekarang adalah back to local culture. Artinya melakukan revitalisasi terhadap berbagai seni tradisi dan budaya lokal maasyarakat Nusantara sebagai khazanah peradaban bangsa. Lesbumi memahami seni tradisi sebagai akar kebudayaan Nusantara adalah khazanah dan kapital yang bisa dieksplorasi secara kreatif dan cerdas untuk melawan dan menghadapi modernitas di era globalisasi. Jadi, menjadi modern dengan berbasis tradisi. Artinya mendudukkan modernitas dan tradisionalitas secara setara dan komplementer. Inilah strategi kebudayaan Lesbumi sekarang. 

Bagaimana peran dan gerak Lesbumi waktu itu (sebagai lembaga kebudayaan NU) di tengah lembaga-lembaga kebudayaan lain? 

Sebenarnya saya agak canggung untuk bicara peran Lesbumi pada saat itu, karena takut dituduh terjebak dalam romantisme historis, dan hal ini juga bisa kita lihat dari buku-buku yang sudah ditulis. Tapi secara singkat dapat kami katakan bahwa gerakan Lesbumi pada waktu itu memiliki peran yang sangat besar di tengah-tengah lembaga kebudayaan lainnya. Sebagaimana yang saya jelaskan di atas, Lesbumi pada saat itu berhasil melawan dan menghadang gerakan leberalisasi kebudayaan baik yang dilakukan oleh kaum sosialis melalui Lekra maupun kaum kapitalis melalu Manikebu. 

Melalui film dan seni pertunjukan (drama, film dan musik), dua genre kesenian yang benar-benar dikuasai oleh Lesbumi, Lesbumi bisa melakukan gerakan mulai kalangan elite sampai ke akar rumput. 

Bagaimana Lesbumi pada zaman Orde Baru? Bisa bercerita detail dan Kronoligis?

Pada zaman Orde Baru Lesbumi mengalami mati suri, bahkan kepengurusan tidak ada, sehingga kegitannya juga vakum. Ada dua hal yang mendorong hal ini terjadi, pertama karena kuatnya cengkeraman rezim politik Orba, yang menginginkan kekuatan tunggal, termasuk dalam bidang kebudayaan. Lembaga-lembaga kebudayaan di luar bentukan negara, harus diberangus, termasuk Lesbumi. 

Kedua, karena NU merasa sudah tidak membutuhkan lagi sayap politik yang mengurusi kebudayaan. Sebagaimana kita ketahui sejak terjadinya fusi partai pada awal tahun 70-an, gerakan politik NU dibatasi. Hak ini berpengaruh terhadap sayap politik NU termasuk Lesbumi. Kondisi vakum politik ini menjadi kuat ketika dicanangkan gerakan Khittah NU pada tahun 1984. Kondisi inilah yang membuat Lesbumi vakum pad masa Orba. Kondisi seperti ini  tidak hanya terjadi pada Lesbumi tetapi juga lembaga profesi lainnya yang ada di bawah NU, seperti Sarbumusi, Pertanu, Pergunu, dan sejenisnya 

Semangat apa pada zaman Reformasi muncul kembali. Bisa diceritakan secara kronologis?

Saat terjadi reformasi, kran politik dibuka di segala sektor kehidupan maka hal ini berpengaruh juga terhadap NU, termasuk upaya merevitalisasi Lesbumi. Pada muktamar di Solo tahun 2004, para muktamirin merekomendasikan untuk menghidupkan kembali Lesbumi. Atas rekomendasi muktamar inilah pada tahun 2005 diangkat kepengurusan Lesbumi sebagai lembaga seni budaya yang menjalankan progrsm PBNU di bidang seni budaya. Dalam kepengurusan ini saya dan Dienaldo diangkat sebagai ketua dan sekretaris.

Sejak saat itu pengurus mulai melakukan konsolidasi di beberapa daerah untuk melakukan revitalisasi baik secara kelembagaan maupun kegiatan. Spirit Lesbumi sebenarnya sudah muncul di beberapa tempat, apalagi lembaga ini peernah mencatat tinta emas pada zamannya. Sehingga sebenarnya tidak sulit menghidupkan kembali lembaga ini. Namun satu hal yang menjadi kendala adalah, lembaga ini tidak lagi menjadi badan otonom NU sebagaimana yang terjadi pada tahun 60 dan 70, sebelum mengalami vakum. Sejak direvitalisasi tahun 2004, Lesbumi merupakan bagian dari lajnah/lembaga yang merupakan organ pelaksana program PBNU, oleh karena itu, pengangkatan pengurus dilakukan oleh pengurus NU pada tiap-tiap tingkatan. Oleh karenanya, keberadaannya juga tergantung pda kepedulian pengurus di daerah, semangat tinggi beberapa aktivis Lesbumi kadang tak tertampung oleh pengurus daerah sehingga sulit dibentuk. selain itu beberapa pengurus daerah masih berpikiran bahwa Lesbumi hanya merupakan lembaga yang mengurusi soal penyelenggaraan pentas seni, padahal sebenarnya Lesbumi lebih dari itu, karena lembaga ini berperan penting dengan hal-hal yang terkait dengan masalah kebudayaan, tradisi dan seni.

Apa lembaga kebudayaan seperti Lesbumi masih dibutuhkan dalam konteks sekarang? 

Bagi saya tidak hanya dibutuhkan tetapi sangat dibutuhkan….!!!

Bisa dijelaskan? 

Saat ini hampir tidak ada lembaga yang peduli pada kebudayaan, ekonomi, politik, hukum bahkan pemerintah hampir tidak peduli pada kebudayaan, akibatnya semua sistem berjalan tanpa kebudayaan, politk tanpa kebudayaan, ekonomi tanpa kebudayaan, hukum tanpa pada kebudayaan. Akibatnya terjadi degradasi nilai kemanusiaan dalam semua aspek kehidupan. Untuk itu perlu ada lembaga yang secara serius memikirkan soal kebudayaan, merumuskan strategi kebudayaan dan melakukan gerakan kebudayaan, agar nilai-nilai kemanusiaan tidak terdegradasi seperti saat ini. Karena kebudayaanlah yang membedakan manusia dengan hewan. Kalau politik, ekonomi, hukum sudah mengabaikan kebudayaan maka perilakaunya menjadi tidak manusiawi lagi. Inilah pentingnya lembaga kebudayaan seperti Lesbumi.

Apa yang membedakan gerak Lesbumi tahun 1960-an dengan sekarang?

Gerak Lesbumi tahun 60-an berada di pusat kekuasaan, karena dia menjadi bagian dari politik formal NU yang pada saat itu sangat dekat dengan kekuasaan sehingga bisa mengakses langsung pusat-pusat kekuasaan yang strategis.

Sekarang Lesbumi jauh dari kekuasaan, bahkan berada dalam posisi marginal. Jangankan dalam lingkungan kekuasaan politik praktis, dimana NU sendiri secara formal sudah tidak lagi berada di dalamnya. Dalam lingkungan politik NU sendiri Lesbumi berada dalam posisi marginal, karena dianggap tidak penting, dan hanya lembaga hiburan yang mengkordinir event kesenian. Kami sendiri sudah mencoba menjelaskan tentang urgensi gerakan kebudayaan, tetapi belum ada respon yang memadai, karena tampaknya gerakan ekonomi dan politik lebih menarik perhatian daripada gerakan kebudayaan.

Dari segi spirit memperjuangkan kebudayaan nasional yang tercermin dalam berbagai bentuk seni tradisi dan pemikiran lokal masyarakat Nusantara serta melawan hegemoni kebudayaan asing yang tercermin dalam gerkan liberalisasi seni dan puritanisasi agama, tidak ada bedanya antara Lesbumi tahun 60-an dengan yang sekarang. 

Bagaimana pergerakan Lesbumi sekarang secara umum, dari tingkat pusat hingga daerah? Dan bagaimana seharusnya?

Sebagaimana saya sebutkan tadi, pergerakan Lesbumi sekarang masih berada dalam taraf konsolidasi dan gerilya budaya. Dengana kemampuan apa adanya pengurus mencoba mengawal dan menjalankan gerakan ini. Pengurus juga mencoba melakukan komunikasi dengan beberapa pengurus daerah yang sudah terbentuk. 

Terus terang, pengurus di pusat sendiri kurang bisa intens melakukan kordinasi karena Lesbumi di daerah memang tidak seperti lembaga-lembaga lainnya yang bisa memperoleh perhatian intens dari pengurus NU. Hanya beberapa daerah yang memang progresif saja yang bisa melakukan konsolidasi meski tidak mendapat perhatian dari pengurus NU, seperti di Yogya, Magelang, Jepara, Malang, Surabaya, Jawa Timur, Lombok, dan beberapa kota lainnya.

Dari sisi keorganisasian secara struktur, bagaimana Lesbumi di daerah-daerah? 

Lesbumi di daerah masih kurang mendapat perhatian yang memadai dari pengurus NU baik Cabang maupun Wilayah. Sejauh pengalaman kami ketika turun ke daerah, kami menemukan para seniman dan budayawan yang ingin bergabung ke Lesbumi, tetapi ketika kordinasi dengan pengurus Cabang dan Wilayah, kebanyakan hanya ditanggapi sambil lalu. Kalau kemudian membentuk Lesbumi yang diangkat bukan para seniman uyang sudah memiliki concern kebudayaan, tetapi mereka-mereka yang aktif di jamaah rebana atau pengajian yang dekat dengan pengrus NU. Inilah yang kemudian menjadi kendala saat operasional di lapangan, karena rata-rata pengrus NU masih menganggap Lesbumi hanya mengurusi pentas seni yang bernuansa Arab yanag dianggap sebagai seni Islam.

Apa gerakan Lesbumi di satu daerah mesti sama dengan daerah lain? Apa yang menyamakan dan membedakannya?

Bentuk dan format gerakan Lesbumi antara satu daerah dengan daerah lain tidak perlu sama. Karena perbedaan situasi, sumber daya dan krativitas masing-masing daerah berbeda. Selain itu kondisi sosial dan kultural masyarakat di Indonesia ini beragam. Untuk itu format dan bentuk gerakan tidak perlu sama karena hal ini sangat terkait dengan kondisi geografis, sosial, kultural dan kreatifutas masyarakat.

Namun pada sisi visi, missi dan spirit harus harus sama, karena ini yang menjadi roh gerakan Lesbumi. Kesamaan spirit, visi dan missi ini akan menjadi ciri yang membedakan antara kerakan kebudayaan Lesbumi dengan yang lainnya meski bentuk dan formatnya berbeda.

Apa imbauan dan harapan Anda untuk Lesbumi dari pusat hingga daerah untuk membesarkan kembali Lesbumi pada situasi sekarang ini?

Perlu ada kordinasi dan konsolidasi yang utuh dan intensif agar visi dan misi Lesbumi yang sudah dirumuskan oleh pengrus di tingkat pusat dapat dipahami dan dijalankan oleh pengurus Lesbumi di tingkat daerah.

Kedua perlu ada keseriusan dari pengrus daerah baik PC dan PW untuk membentuk kepengrusan Lesbumi, karena dalam konteks kekinian, gerakan kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting dan strategis. Sebagaimana kita ketahui, saat ini terjadi proses kebangkrutan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berdampak pada terjadinya krisis di seluruh sektor kehiduoan termasuk dalam bidang keagmaan. Disinilah dibutuhkan gerakan kebudayaan untuk mengembalikan martabat kemanusiaan.

Apa agenda kebudayaan terdekat dari Lesbumi? 

Untuk tahun ini ada dua agenda besar yaitu pekan kebudayaan Lesbumi dalam rangka peringatan Harlah Lesbumi ke-51. Dalam kegiatan ini akan dilakukan Tadarrus Puisi dan syair dzikir yang dimeriahkan oleh KI Ageng Ganjur, Muhfudz MD, Acep Zamzam Noor, Fatin Hamama, Niken KDI, Evie Tamala, dan masih banyak lagi. Tanggal 31 Maret, Pemutaran dan Apresiasi film Santri bersama Rieke Dyah Pitaloka, Soultan Saladin, Ray Sahetaphy dll. Pada tanggal 1 s/d 3 April dan wayang kulit dalang Ki Enthus Susmono dengan lakon “Wisanggeni Gugat” pada tanggal 7 April. Semua kegiatan ini dilakukan di gedung PBNU Jl. Kramat Raya Jakarta.

Agenda kedua adalah melaksanakan Rembuk Budaya Nasional yang akan diikuti oleh para pengurus Lesbumi, pusat maupun daerah, para seniman, budayawan dan akademisi. Dalam event ini akan dilakukan pembahasan secara intens dan mendalam mengenai strategi kebudayaan Nusantara yang akan menjadi kerangka pijakan dan arak kebudayaan Indonesia. Untuk agenda ini sedang disusun TOR, materi dan penjajakan dengan pihak lain untuk kerjasama. (Red:Anam)