Wawancara

Hasan Basri: Kajian Islam Miskin Terobosan

Jumat, 4 September 2015 | 22:06 WIB

Akhir-akhir ini banyak orang yang bertanya, di mana posisi kajian Islam dalam Indonesia kontemporer. Pertanyaan ini di satu sisi mudah dijawab. Misalkan dengan menunjukkan bahwa banyak intelektual publik yang popular di Jakarta, tumbuh dari lingkungan kajian Islam. Atau bisa juga dijawab dengan <>mengatakan bahwa Indonesia masa Reformasi ini diskursus Islam dan politik, Islam dan tata Negara, muncul kembali.

Tapi di sisi lain, kita juga banyak menemukan tesis-tesis, pendapat-pendapat, hingga pembelaan-pembelaan intelektual yang tumbuh dalam kajian Islam atau studi Islam ini, nyaris tidak berbeda dengan iintelektual berbasis ilmu sosial atau ilmu politik secara umum. Perdebatan kita hari ini tentang Islam juga sama dengan perdebatan puluhan tahun silam, Apakah cocok antara Islam dengan demokrasi? Apakah Islam menghormati hak-hak perempuan? Apakah syariah mendukung nilai-nilai nasionalisme? Dan sederat pertanyaan yang begitu populer.

Nah, sebetulnya apa sih yang terjadi dalam wacana kajian Islam? Bagaimana kajian Islam di Indonesia ini menggelinding? Hal-hal apa saja yang mewarnai atau memengaruhi kajian islam di negeri Muslim terbesar di dunia ini? Berikut ini wawancara NN Naafi’ dari NU Online  dengan Hasan Basri, pengajar di Pesantren Kaliopak Jogjakarta.

Apa yang Anda pikirkan tentang Studi Islam di Indonesia?

Kajian Islam atau dirasat al-islamiyah (Islamic Studies) terlalu imported-minded. Apa-apa diambil dari luar, menjadikan “luar” sebagai patokan dan rujukan. Luar atau monco dalam konteks geopolitik Islam di Indonesia, ya Barat, ya Timur Tengah. Tapi kontrol atas kajian Islam Indonesia sudah terjadi sejak zaman penjajahan, aparatur pengetahuan untuk mengawasi “pengetahuan” tentang Indonesia dimulai sejak zaman Belanda. Seperti bagaimana Belanda menguatkan lembaga pengetahuannya tentang Indonesia melalui lembaga orientalisme Belanda, terutama di bidang filologi, dan agama Islam. Sehingga sampai sekarang, orang Indonesia merasa lebih nyaman dengan wacana keislaman yang diomongkan orang lain.

Dari mana pengaruh studi Islam di Indonesia?

Sebenarnya sudah sangat tidak menarik memakai istilah “pengaruh” atau    “kecenderungan”, dan semacamnya dalam diskusi semacam ini. Tapi dalam beberapa hal, kata “pengaruh” masih menemukan konteksnya. Seperti Kajian Islam di Indonesia adalah pengaruh dari Barat dan Timur Tengah.

Sejauh mana pengaruh Kolonialitas terhadap studi Islam sekarang?

Kaitan kolonialitas dengan kajian Islam mengingat kita pada Edward Said. Di Indonesia pemikirannya tidak diapresiasi, orang yang UIN/IAIN justru menjadi garda depan menolak gagasan Said. Ini penelitian tesis saya. Padahal di luar sana, orang-orang sibuk mengkritik Said dengan cara mengembangkan kemungkinan-kemungkinan baru yang belum dibicarakan Said dalam bukunya Orientalism.

Okwie Einzower, dosen dan Kurator Vanice Biennale 2015, mengatakan bahwa kritik Said pada Barat terlalu “soft”, generasi dunia sekarang harus bersuara lebih keras lagi melebihi “kemarahan” Said.

Kalau terkait isu kolonialitas: Kajian Islam ini sebenarnya metamorfosa, atau dapat disebut sebagai “keturunan” dari Orientalisme. Isu ini masih relevan dibicarakan, tetapi di Indonesia sangat dihindari dan dianggap selesai padahal tidak. Karena Islamic Studies berasal dari “bapak” yang lahir dari rahim     kolonialisme. Maka jelas sangat dekat hubungannya.

Yang jarang diperhatikan orang dalam diskursus kolonialitas dan kajian Islam di Indonesia adalah fakta-fakta tentang “gaya kolonialisme” Belanda dalam lapangan pengetahuan di Indonesia yang berbeda dengan Inggris dan Prancis pada masa lalu.

Belanda melakukan kontrol pengetahuan yang amat padat dan keras terhadap umat Islam di Indonesia. Saya sebutkan ya. Pertama, perampasan fisik pengetahuan, seperti perampasan naskah, pengapalan naskah ke Belanda dan Eropa secara umum. Bentuk lain kontrol fisik pengetahuan: pengurangan jumlah pesantren dari masa ke masa.

Kedua, membangun lembaga pengetahuan terhadap Indonesia, termasuk keislaman. Ketiga, pembutahurufan aksara lokal terhadap orang pesantren. Oleh karena mereka membangun otoritas baru terhadap bahasa lokal yang dilepaskan dari hubungannya dengan Islam. Kajian Jawa, terutama filologi demikian jauh dari kajian Islam. Kajian Jawa justeru dipakai untuk menjuahkan Islam dari identitas lokalnya. Persoalan ini demikian penting diperhatikan.

Keempat, Belanda juga memfasilitasi impor gagasan dari Barat (abad 20) dan dari Timur Tengah (sejak akhir abad-19). Lahirlah pembaharuan, pemurnian dan yang senyawa dengannya.

Apakah bisa dikatakan studi Islam kita berkiblat pada…?

Saya ingin mengatakan bahwa kajian Islam di Indonesia lebih Amerika secara rasa dan selera, walaupun ada kiblat lainnya.

Anda di atas sebut-sebut Timur Tengah?

Kita tidak tahu persis postur pengaruh Timur Tengah. Tapi secara historis Islam di Indonesia sudah lama jadi incaran Barat maupun Timur Tengah. Ini persis dengan gambaran bagaimana orang Barat tahu Nusantara via orang Arab dan mereka sama-sama berlomba menguasainya.

Negara-negara Timur Tengah, terutama Saudi dan Mesir memiliki pengaruh kuat karena koneksi pendidikan. Banyak sekali intelektual muslim Indonesia alumni kedua negara Tim-Teng tersebut.

Barat…?

Pengaruh Barat amatlah kuat. Sejak Harun Nasution dan seterusnya adalah rangkaian dari proses colonizing mind. Mereka ini yang disebut orang muslim sekolahan (intelektual) kerjanya hanya “mengolok-ngolok” pesantren dan praktek keislaman di Indonesia. Dan karena kemampuan mereka    itu mereka disebut pembaharu dan intelektual muslim Indonesia.

Di mana posisi pesantren dalam studi Islam?

Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan keislaman yang mengakar di Indonesia. Pesantren adalah lokus pengucapan pengetahuan umat Islam. Pesantren yang ada hari ini adalah rangkaian sanad dari tradisi pengetahuan Islam di Nusantara.

Saya membaca beberapa pidato dan tulisan almagfurlah mbah Wahid Hasyim, Menteri Agama di masa Soekarno tentang pentingnya perguruan tinggi Islam. Saya menangkap bahwa pendirian IAIN dan sekarang UIN adalah sebagai medium pembelajaran agama yang lebih lanjut dengan menempatkan ilmu-ilmu agama sebagai sebuah disiplin akademis tradisional, ya  harus diposisikan setara dengan disiplin pengatahuan modern.

Jadi kemudian proses pengembangannya di sana-sini harus ditambahin dengan dinamika yang ada tetapi jangan sampai menjadi eksperimentasi orang lain. Kira-kira demikian, bagaimana studi Islam di Indonesia ini mengembangkan model studi Islam tradisional di pesantren, tanpa mencederai tradisi pesantrennya; mencari bentuk kajian Islam sesuai dengan kebutuhan Indonesia.

Dikatakan orang pesantren sendiri belum banyak peduli dengan perkembangan studi Islam. Mereka masih asyik dengan dunianya sendiri. Apa tanggapan Anda?

Tuduhan itu persangkaan semata. Tradisi keilmuwan pesantren tidak pernah ditempatkan seperti tadi, sebagai disiplin akademis tradisional yang memiliki perangkat ilmiah juga. Yang dibutuhkan oleh kajian Islam, seperti tampak di negara lain adalah bagaimana menguasai perangkat keilmuwan tradisonal secara mendalam sekaligus akrab (syukur menguasai) ilmu-ilmu modern juga.

Di masa mendatang, orang pesantren salaf (seperti NU) yang memungkinkan pengembangan dan mengarahkan masa depan kajian Islam di Indonesia.

Kenapa unsur kesenian khususnya, belum menjadi diperhatikan oleh para peminat studi Islam, bahkan saat antropologi digandrungi?

Kajian Islam di Indonesia dalam waktu panjang dipakai sebagai alat untuk mengintegrasi praktek keagamaan masyarakat di Indonesia, sehingga yang dikaji kebanyakan adalah ilmu tauhid, fikih dan filsafat. Kesenian sangat minimal. Dan ini tidak terjadi di Indoensia, tetapi umum di dunia mana.

Diskursus kesenian Islam atau islamic art sudah seharusnya segera dipikirkan karena ini area yang menjanjikan sekali untuk turut serta mendinamisir kajiah Islam. Tetapi miskinnya kajian kesenian Islam tidak saja terjadi di Indonesia tetapi     sifatnya sangat umum. Dalam studi Islam dunia, porsi kajian tentang kesenian juga tidak kalah kikirnya.

Apa karena orang masih melihat seni sebagai sarana?

Harus dibedakan antara kesenian sebagai sarana dengan seni-fungsional dalam masyarakat Islam. Di Indonesia, kesenian ditempat sebagai sarana atau alat dakwah bagi umat Islam, padahal kesenian di masyarakat Islam adalah fungsional, yaitu kesenian menubuh dalam ritme harian umat Islam.

Di Indonesia memang ada kekhususan, bahwa kesenian secara perlahan tapi pasti dipisahkan dari umat Islam. Para pengkaji Islam tahu benar bahwa warisan Islam Nusantara sebagian besar dalam kesenian. Artinya, itu yang masih bertahan.

Bagaimana Anda melihat kecenderungan di dunia penelitian?

Soal penelitian, saya kira kita sangat tertinggal soal penelitian. Tapi bagi saya adalah bagaimana menumbuhkan terlebih dahulu kultur pengetahuan yang terbuka tetapi mandiri di lingkungan perguruan tinggi Islam. Baru setelah itu kita ngomong penelitian.

Tahun ini Kemenag menggelar AICIS ke-15. Apa yang Anda amati?

Kita berharap AICIS mengembalikan cita-cita pendirian Kementerian Agama oleh para founding father sebelum dilucuti oleh Mukti Ali. Kita tahu tokoh bernama Mukti Ali ini adalah anggota CCF, sayap lembaga kebudayaan CIA pada masa perang dingin. Banyak perubahan terjadi setelah dia jadi menteri agama dan rektor IAIN Sunan Kalijaga.

Apa Anda mash punya harapan Anda pada studi Islam di lingkungan Perguruan Tinggi Islam?

Punya dong. Teman-teman yang masih bagus juga banyak, ada di banyak tempat juga. Harapan terbesar saya adalah tumbuhnya tradisi akademis dalam studi Islam yang penuh terobosan. Sekarang miskin terobosan. Persoalannya sangat sederhana, bagaimana memikirkan suatu bentuk kajian Islam yang sesuai kebutuhan di Indonesia?

Belakangan ada harapan begini. Di sini tumbuh kajian keislaman yang menggali filologi Islam Indonesia yang lepas dari filologi kolonial. Selain itu, para sarjana muslim di perguruan tinggi harus banyak berdialog dengan intelektual, ulama, Indonesia di luar perguruan tinggi untuk melihat dinamika yang ada.