Wawancara

KRT Moh. Muhtarom, Penghubung Ulama-Keraton

Senin, 18 Februari 2013 | 03:02 WIB

Mungkin sebagian warga nahdliyin di Solo, hanya mengenalnya sebagai sosok ketua tanfidziyah Majelis Wakil Cabang (MWC) Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta. Tapi siapa sangka, pria kelahiran Purwodadi 44 tahun yang lalu ini, mengemban jabatan yang penting.<>

Jabatannya tersebut memungkinkan dirinya untuk memainkan peran sebagai penghubung antara umat Islam di Surakarta pada khususunya, dengan pihak Keraton Surakarta.

KRT (Kanjeng Raden Tumenggung) Moh. Muhtarom, begitu nama yang tertera pada kartu pengenal yang ia kenakan, saat ditemui NU Online Sabtu (9/2) lalu, di kompleks Pondok Pesantren Tahfidz Wa Ta’limil Qur’an (PPTQ) Masjid Agung Surakarta.

Guru SD Cemani Sukoharjo ini, kesehariannya menjadi Imam Masjid Agung Surakarta dan pengajar di PPTQ Masjid Agung Surakarta. Dulu, ia pernah nyantri di Pesantren Zumrotut Thalibin Kacangan Boyolali. Kemudian dilanjutkan sekolah di Pendidikan Guru Agama (PGA) sambil ngaji di PPTQ Masjid Agung dibawah bimbingan Kiai Mutohar.

Perbincangan yang singkat, membicarakan tentang perannya sebagai Tafsir Anom dan pentingnya jalinan hubungan ulama dengan keraton. Berikut cupilkan perbincangan kontributor NU Online, Ajie Najmuddin, dengan Tafsir Anom KRT Moh. Muhtarom, S.Ag.:

Sejak kapan anda menjabat sebagai Tafsir Anom (TA)?

Belum lama. Sejak Agustus tahun 2012 lalu. Tepatnya saat pergelaran Malem Selikuran Keraton di masjid Agung.

Jabatan TA itu sebetulnya bagaimana?

Tugas utama dari jabatan ini yakni mengembangkan agama Islam kepada masyarakat Solo, jadi hampir seperti peran ulama pada umumnya. Kemudian juga bertugas untuk menjadi penghulu, atau petugas yang menikahkan anak raja atau lingkup Keraton.

Apa jabatan itu semacam jabatan turun temurun?

Bukan. Jabatan ini diberikan langsung oleh pihak keraton kepada seseorang yang dianggap kompeten untuk menjadi TA. Meskipun dulu jabatan ini pernah diberikan secara turun temurun (dari TA V kepada putranya, yakni TA VI,-red). Saya menggantikan KRT Hasan Kamal dan sebelumnya beliau menggantikan KH Muhammad Dasuki.

Tentang peran Tafsir Anom sebagai ulama keraton, apa pendapat anda tentang hal tersebut?

Kalau kita mau melihat sejarah Kerajaan Islam di masa lalu. Ulama dahulu memiliki peran sebagai penasihat raja, bukan seperti sekarang yang terkadang justru menjadi ’pesuruh’.  Taruhlah para Walisongo yang menjadi ulama dan penasihat kerajaan Demak. Mereka mampu mewarnai dan memperngaruhi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan kerajaan.

Jadi anda memandang penting, keberadaan ulama di keraton?

Ya! Apabila ulama tidak lagi dekat dengan keraton, berarti ada semacam terputusnya mata rantai sejarah. Untuk itu saat ini harus mulai dibangun kembali hubungan ulama dan Keraton.

Tentang ulama yang mampu mewarnai kebijakan keraton, khususnya di bidang keagamaan, seperti apa misalnya?

Semisal pada istilah-istilah, budaya atau ritual kegiatan keagamaan di Keraton yang oleh sebagian kalangan umat Islam, dianggap tidak Islami. Maka itulah tugas kita, supaya simpul-simpul dalam bentuk ritual yang notabene warisan dari para Walisongo ini, mampu diterjemahkan dalam nilai-nilai Islam (Internalisasi Islam).

Pihak Keraton sendiri, apakah mereka masih menganggap penting nilai-nilai Islam di lingkup keraton?

Tidak hanya menganggap penting, bahkan mereka mengakui kebesaran nama keraton tak lepas dari peran para pendahulu mereka yang notabene merupakan dari kerajaan Islam (Mataram dan Demak). Mereka bahkan masih sering mengunjungi makam Kiai Hasan Besari di Pacitan.

Sebagai Tafsir Anom sekaligus ketua MWC NU, apa ada semacam keuntungan tersendiri bagi anda memegang peran tersebut?

Saya melihatnya justru ini merupakan sebuah kesempatan bagi para ulama NU. Nuansa keagamaan keraton dengan segala kebudayaannya, sebetulnya akan nyambung bila bertemu dengan kelompok Islam moderat seperti NU.



Redaktur: A. Khoirul Anam