Wawancara

NU Penting Percepat Pengembangan Ekonomi

Kamis, 9 Mei 2013 | 02:37 WIB

NU dilahirkan atas latar belakang tiga organisasi pergerakan, Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pengusaha) Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Bangsa) dan Taswirul Afkar (Pengembangan Pemikiran). Diantara tiga pilar tersebut, aspek ekonomi yang sejauh ini masih perlu mendapatkan perhatian lebih besar.
<>
Karena itulah, PBNU membentuk Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN) sebagai upaya mempercepat tumbuhnya sektor ekonomi dan kewirausahaan di lingkungan warga NU. Apa visi misi, dan langkah apa saja yang dilakukan HPN, berikut wawancara Mukafi Niam dari NU Online dengan Abdul Kholik, ketua umum HPN seusai peringatan 100 tahun Nahdlatut Tujjar di sebuah kawasan bisnis di Jakarta baru-baru ini.

Sebenarnya, apa visi dan misi pengembangan Himpunan Pengusaha Nandhliyin (HPN) ini?

Pertama, bagaimana kesadaran kita semua, Nahdliyin untuk mulai memperhatikan pembangunan ekonomi. Kenapa kita mengambil inspirasi dari Nahdlatut Tujjar (NT), kalau anda baca di literatur, landasan berdirinya NT adalah agar Nahdliyin tidak ketinggalan dengan pengusaha Tionghoa, pengusaha non pribumi. Surprisenya setelah 100 tahun, ini masih relevan, ini karena kita ketinggalan terus. Kenapa itu terjadi, karena pemberdayaan ekonomi yang dijalankan selama 100 tahun ini relatif minim dibandingkan dengan gerakan politik. NU didominasi oleh gerakan politik. Sekarang tugas HPN pertama, bagaimana agar pemberdayaan ekonomi ini memperoleh perhatian yang setimpal dalam strategi pengembangan NU. 

Kedua, kita ini kan dikenal sebagai pengusaha kelas menengah bawah. Mengapa demikian, karena kemampuan ekonomi merupakan refleksi kemampuan SDM. Kalau SDM-nya kompetitif, dia pasti akan unggul, masuk dalam top level. Ini artinya pemberdayaan ekonomi tidak lepas dari bagaimana kita meningkatkan kualitas SDM. Sebagai contoh, kalau anda lihat kaum Nasrani. Pendidikan menengah mereka kuat, SD, SMP, SMA. Begitu masuk perguruan tinggi, mereka masuk ke perguruan tinggi yang berkualitas yang dimiliki pemerintah, sehingga begitu keluar dari PT, mereka jadi calon pemimpin, baik di pemerintahan maupun di swasta. Kenapa, karena pengkaderan di level menengahnya bagus. Lha di kita, di NU, kebanyakan sekolah kita kan lebih banyak menekankan sektor religi, tetapi tidak ada keseimbangan d alam sektor duniawiahnya. Ini yang saya kira mesti diperbaiki. 

Jadi ketika kita bergerak di sektor ekonomi, dimensinya menjadi luas. Dalam fase 5 tahun pertama HPN berkonsentrasi bagaimana melakukan stimulasi untuk menumbuhkan  kesadaran kita semua bahwa ekonomi ini adalah penting dalam banyak sektor kehidupan. Kita perlu memperoleh kehidupan yang memadai. Ini yang pertama dulu.

Berarti kebijakan ekonomi belum mendapat perhatian yang cukup dari PBNU?

Menurut saya begitu, mohon maaf, kalau kita lihat. Pengusaha ini dilihat di NU, tidak hanya di PBNU, tetapi juga di daerah, hanyalah supporting untuk mengadakan kegiatan, mau ada istighotsah atau kegiatan lain, siapa pengusahanya, jadi lebih pada itu, bukan dijadikan satu elemen untuk memperjuangkan daya tawar NU dengan kepentingan lain. Sementara masih ini positioningnya.

Potensi sektor kewirausahaan di lingkungan NU bagaimana?

Kalau potensinya besar sekali, sebagai contoh misalnya. Kalau kita lihat trend bisnis masa kita. Sekarang kan berbasis social network seperti MLM. Ini pada dasarnya social network yang dimanfaatkan untuk berbisnis. Kemudian dengan masuknya teknologi informasi, facebook meledak, ada tokobagus.com. di bisnis media ada detik.com. Pada dasarnya kan semua berbasis pada jaringan. Nah, kekuatan NU kan di situ, di jamiyyah. Kalau kita mau mengembangkan bisnis NU dengan baik, bayangkan saja hasilnya akan luar biasa. Bapak pernah dengar, salah satu situs Indonesia dibeli ratusan milyar, padahal baru diakses 5 juta orang. Bagaimana kalau di NU ini, semua ngakses dari satu toko online. Maka nilai bisnisnya besar. Nah ini yang dilihat oleh orang luar, misalnya yang sedang saya tangani dengan orang Singapura, mereka lihat, NU ini marketnya besar. Cuma sayangnya kita dengan rela hati dimanfaatkan sebagai market saja. Sekarang saya rubah adalah, oke saya punya market, tetapi you tidak bisa ngacak-acak market punya saya. Silahkan You manfaatkan tetapi saya juga harus memperoleh manfaat. 

Kita selama ini, tidak menghargai intangible asset jamiyyah ini, padahal nilainya tinggi sekali. Jadi kalau sering saya sampaikan pada teman-teman, sebenarnya kita tidak perlu berbisnis dengan orang luar, berbisnis dengan orang NU saja, sudah banyak sekali. Sudah mencukupi. Hanya persoalannya, kebanyakan masih bermain di sektor produksi, jagung, ayam, beras, kambing, dan lainnya, tapi bisnis kan bukan hanya di produksi, ini yang kita kurang.

Sebagai contoh, saya pernah ke Pasuruan, ada sebuah pesantren yang menghasilkan topeng. Ini dipakai oleh orang Venesia kalau mereka melakukan pesta topeng, tapi siapa yang masarin ke sana, bukan orang Pasuruan, tapi dia lempar ke Bali, sama orang Bali dicat, terus dilempar ke sana. Jadi, kita hanya jago di produksi, padahal, pada dunia bisnis modern, seharusnya bukan apa yang bisa kita buat, tetapi apa yang dibutuhkan orang.  Ini yang masih harus diasah.

Kultur kita kan agraris, sementara dunia wirausaha kan punya sebuah kultur sendiri. Gimana kita melakukan transformasi agar semakin banyak orang NU yang masih dalam sektor dunia usaha ini?

Kembali menurut saya, orang NU lemah, pengusaha NU lemah, karena meninggalkan jamiyyahnya. Anda bilang, bahwa kebanyakan orang kita berada di sektor agribisnis. Saya ambil contoh, industri yang sama, di Australia, mereka berkumpul membentuk asosiasi, tetapi jamiyyah mereka benar, saling menghargai. Kalau sudah kesepakatan, diikuti bersama. Kalau kita, sudah sepakat, tapi kalau ada yang nawar lebih mahal, dijual, dan mengkhianati jamiyyahnya. Nah, kalau disana, di Australia. Harga anggur selalu bagus di pasaran, karena petani anggur disiplin. Berapa pasarnya, misalnya 10 ton, maka pasokannya diatur, si fulan dapat jatah segini, si ini sekian ton, semua disiplin. Kalau ada kelebihan produksi, dibuat yang lain. Mereka bikin sirup, jus, dan lain-lain tapi dikerjakan bersama-sama. 

Kita belum bisa seperti itu, misalnya disepakati harga 10, anda dapat jatah produksi 1 ton, terus ada yang nawarin, loe diam-diam saja, produksi saja 1.5 ton, akhirnya merusak pasar. Tradisi jamiyahnya ditinggalin. Kita sesungguhnya punya potensi kuat, kalau kiainya mengerti ini, mengharuskan jamaahnya yang para petani itu. Eh, kamu kalau begini haram, tapi dengan bahasa bisnis, ini powerful. Seperti yang pernah dilakukan di Jatim, dengan bisnis pembalut wanita. Selain dari pembalut wanita ini, haram. Itu gila-gilaan, cuma kebetulan yang ngatur bukan orang bisnis, tapi begitu digenjet produksinya sama partnernya, mati dia. Kalau kita orang bisnis tidak. Kalau kita bekerjasama dengan orang, kita tidak mau tergantung. Begitu kita melakukan sesuatu, segera melakukan alternatif. Ini sebenarnya roh kekuatan kita di situ dan tidak dimanfaatkan. Semua pengusaha di Australia membentuk asosiasi, di sapi, strawberry, dan lainnya, mendasarkan diri pada kekuatan jamiyyah. 

Saya juga amati, PBNU kan membentuk beberapa badan usaha, dari zaman Gus Dur, dengan pembentukan Nusumma, sampai dengan zaman Kiai Said sekarang, belum ada yang berhasil. Ini sebenarnya kenapa, apa memang organisasi sebaiknya tidak perlu membikin badan usaha?

Kan orang itu kan unggul pada bidangnya masing-masing. Pak Kiai kan keunggulannya pada bidang religi, bagaimana membina umat dari sisi religi. Kalau disuruh berbisnis, ngak excellent lah, karena dia berbeda set of attitude-nya. Kalau di dalam dalam bisnis, pengertian ikhlas, bukan kalau ada yang minta, terus dikasih, tapi harus set of attitude bisnis yang dipakai. Dan kalau ini dipakai di organisasi keagamaan, juga kurang cocok. Ada yang berlawanan. Sekarang kalau kita minta Pak Kiai menjalankan bisnis, ya, amburadul, karena Pak Kiai tidak bisa bilang ngak kalau ada orang minta tolong. Tapi kalau pengusaha, bisa bilang ngak, tapi nanti kita wadahi dengan sedekah kita, dengan zakat kita, tidak dengan mengorbankan modalnya. Kalau Pak Kiai, “Wah kasihan” Kalau perlu, modalnya pun dikorbankan. 

Kedua, pola dalam bisnis dan pola decision dalam menjalankan roda organisasi massa kan jauh sekali. Kalau di bisnis, kita harus tega mengatakan, “Anda tidak perform, anda saya pecat.” Kan begitu, karena level kompetisi, performance yang diukur. Tapi kalau di organisasi massa, anda melakukan itu, makin banyak musuhnya, pada waktu pemilihan ketua lagi, tidak dipilih lagi. He he he. Orang-orang yang sakit hati ini pada ngumpul, “Jangan pilih lagi itu, kurang ajar, begini-begini.” Jadi set of attitudenya berbeda. 

Dan NU tidak bisa dikelola dengan pendekatan bisnis?

Ya, betul. Orang berbisnis itu, orang kalau ingin berhasil, karena kan kita berkompetisi dengan orang lain, itu harus situasinya diperlakukan sedemikian rupa sehingga kita seperti dikejar anjing. Ini kan pager dua meter bisa kita loncati, tapi kalau dalam situasi biasa-biasa saja, satu meter pun kita tidak bisa. Apa yang sama maksud, ini risiko. Wah ini kalau saya tidak lompat bisa digigit anjing nih. Karena saya ngerti risikonya, saya habis-habisan loncat pagar, dia kan tidak punya risk. “Amal usahanya kan milik NU, bukan saya yang rugi” kan begitu, “Jadi kenapa saya harus tampil, mecatin orang-orang, dimusuhin orang-orang.” tapi kalau usaha itu miliknya dia, maka dia akan habis-habisan, karena faktor risikonya ada di dia. Misalnya Nusumma, itu punya NU, bukan punya Gus Dur, bukan punya Pak Hasyim, tapi punya banyak orang. Sekarang siapa yang mau menanggung risiko kalau gagal, semua orang, kan. pengurus cuma mewakili NU doang, ini ngak jalan. Sekali lagi, set of attitudenya ngak jalan. Makanya, organisasi seperti NU, tidak perlu berbisnis karena karakternya berbeda. Dibutuhkan karakter yang berbeda. Tak heran, selama ini, kalau organisasi menjalankan bisnis, kurang berhasil karena daya tempurnya berbeda.

Kalau kita lihat organisasi lain, misalnya Muhammadiyah, juga punya Rumah Sakit atau Sekolah yang dikelola dengan pendekatan bisnis sosial, yang bisa mendukung organisasinya, kenapa lebih berhasil?

Kalau saya lihat SDM-nya. Di kita, ini kan ada tradisi, NU punya usaha, lalu ditunjuklah orang kepercayaan kiai tertentu. orang NU juga, dengan kualifikasi bisnis tertentu. Di NU kan, kalau saya bilang ekstrimnya, relatif otokrat. Kita relatif tidak berani bilang tidak pada perintahnya kiai. Kan begitu, sementara pada waktu kiai memutuskan bisnis, yang ada di kepalanya bukan bisnis. Kitanya ngak berani “nglawan”, tapi kalau di Muhammadiyah, dialognya lebih dua arah, kalau kita kan kurang. 

Idenya tapi kan mengembangkan bisnis dari para pengusaha NU, nanti gimana simbiosis mutualismenya, terhadap organisasi?

Kalau sekarang, prinsip yang saya anut di HPN, HPN tidak boleh membuat bisnis yang menjadi pesaing dari bisnis yang sudah ada, tapi kita hanya ingin menjadi katalis. Sebagai contoh, kalau kita melihat bahwa, kekurangan teman-teman ini di sektor pemasaran, kita akan bikin platform pemasaran bersama yang akan menggandeng teman-teman ini sehingga tidak perlu berpikir tentang pemasaran dan produksi. Produksi biar menjadi domainnya mereka, kita bantu di sektor pemasarannya. Ini yang akan kita rancang, jadi kita hanya membuat platform bersama untuk menutupi kekurangan individu-individu tadi. Kita akan membangun seperti trading house, sehingga promosi ke luar negeri akan kita lakukan. Kalau kita mengharapkan mereka memiliki seperti itu, kan lama membinanya. Tapi kalau kita ingin membuat topeng seperti itu, kan lama juga. Sekarang kita sinergikan, apa yang sudah ada di sana, apa yang orang lain punya, kita matching-kan, tetapi tantangannya adalah kita berada dalam bahasa yang sama, bahasa profesional dan bahasa bisnis. Ini yang sama. Sebagai contoh, para pengusaha China itu mampu mengerjakan proyek-proyek besar, itu bukan karena kemampuan finansial individu yang besar, ini karena mereka melakukan kongsi. Kenapa kongsinya bisa berjalan, karena bahasanya sudah sama, bahasa profesional, bahasa komitmen, kalau mereka bilang, cincai. Artinya sama-sama ngerti. Tidak ada saling menyakiti. Ini berbeda dengan di NU, yang satu bilang, ya udahlah, ini demi NU, kita ikhlas saja, sementara yang lain dengan pendekatan bisnis. Bahasanya berbeda. 

Misalnya waktu saya arrange pameran di Surabaya, saya tanya event organizernya, berapa harganya, dia bilang, “Udahlah, ini buat NU, saya ikhlas.” Saya bilang, ngak, berapa harganya, karena saya tidak mau tidak ada kejelasan, supaya kalau saya mampu bayar, akan saya bayar dan begitu saya bayar, saya akan tuntut performancenya. Bahasa ini yang harus disamakan, di NU challenge terbesarnya disitu, bagaimana kita membuat agar bahasanya bahasa profesional sehingga sinergi bisa kita lakukan. 

Kalau dalam kasus pengusaha topeng tapi, mereka bisa saja bilang, waduh, “Bapak kan pengusaha besar, mestinya Bapak bantu saya, kan sama-sama NU,” ngak nyambung itu bahasanya. Padahal kita inginnya, “Bapak kan orang profesional, Bapak harus produksi topeng dengan bagus supaya saya bisa menjual.” Bahwa saya dan mereka sama-sama NU, nanti, kalau seperti orang China, kalau saya untung 10 saya makan sendiri, tapi kalau NU, okelah, saya untung 10, saya bagi 5-5. Kira-kira, itu mutualisme yang ingin kita bangun. Tapi basis yang ingin kita bangun tetap basis bahasa profesional. Ngak bisa lagi pakai bahasa ikhlas, ini tidak relevan.

Pengembangan sektor usaha kan masih terkait dengan kecil menengah, ini kan juga perlu dukungan pemerintah. Apa yang bisa dilakukan PBNU dalam memberikan dukungan kebijakan? 

Sekarang menurut saya tidak perlu lari ke sana dulu, kalau kita mampu bernegosiasi dengan pemerintah, kemudian pemerintah menelurkan kebijakan yang menguntungkan NU, pertanyaan selanjutnya, apa yang bisa dilakukan oleh NU. Kan begitu. Sebagai contoh, kita minta ada kredit lunak. Lalu begitu dikasih, kita menengok ke belakang, siapa yang mau kita kasih, pengusaha yang tidak bakal ngemplang kreditnya, jangan-jangan nanti pada ngemplang. Kan tantangan terberatnya di situ. Yang coba kita bangun di HPN, bagaimana kita menyiapkan potensi-potensi ini. Yang punya kemampuan ekonomi, intelektual, kita line up, lalu kita internalisir, sehingga pada waktu nanti secara PBNU, rumah besarnya minta ke pemerintah, kita sudah tahu apa yang akan kita kerjakan, kita tahu kapabilitas kita dimana, sehingga begitu pemerintah Ok, kita balik, si A kerjakan ini, si B, kerjakan ini. Sekarang kita beresin internal, begitu kita konsolidasikan di dalam, baru kita ngomong di luar, begitu kita minta, kita yakini bahwa kita akan bisa jalankan.