Wawancara

Politik Aliran di Indonesia telah Berakhir

Rabu, 17 Juni 2009 | 07:18 WIB

Pada pemilu 2009 ini, total suara yang diperoleh partai-partai Islam semakin menurun dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Para pengamat sebelumnya juga telah memprediksi, dan penurunan ini diperkirakan akan terus berlanjut di masa yang akan datang.

Para pemenang pemilu juga silih berganti, meskipun masih didominasi oleh beberapa partai besar. Apakah dinamika politik di Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini menunjukkan telah berakhirnya politik aliran yang eksis selama ini. Berikut wawancara Achmad Mukafi Niam dari NU Online dengan Sekjen PBNU Endang Turmudi baru-baru ini.
<>

Bagaimana dengan politik aliaran, apakah saat ini sudah luntur?

Ya, Memang betul. Politik aliran di Indonesia dasar-dasar pembagiannya dilakukan Herberg Feith dalam buku The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Jadi ada yang Barat, Nasionalis, Komunis dan Islam. Tapi Islam juga terbagi dalam yang modernis dan tradisionalis.

Dulu pada tahun 1955, politik aliran ini memang riil dan kuat sekali melalui partai-partai yang ada. Empat partai pemenang pemilu jelas merepresentasikan aliran ini. Belakangan ini, ketika pemilu 1999, saya menduga politik aliran ini kembali. PKB yang merepresentasikan NU, PDIP, pewaris PNI, ada PBB mewakili Masyumi, yang tidak ada kan PKI. Tapi kemudian, mungkin karena dinamika politik itu sendiri, kecenderungan ini semakin melorot.

Sekarang pendukung NU lari ke partai lain. Katakanlah kalau pemilu tahun 1955 NU dapat 18 persen. Jika digabungkan dengan partai berbasis NU seperti PPP dan PKB pada pemilu 1999, jumlahnya juga 18 persen, tapi sekarang kan jauh melorot, jadi bisa dikatakan aliran ini sudah tidak ada, paling tidak orang memilih berdasarkan aliran sudah jauh menurun.

Faktor apa saja yang mempengaruhi ini?


Pertama, partai sendiri sepertinya tidak lagi merepresentasikan kepentingan mereka, kedua, melorotnya ideologi dalam kepartaian yang ada. Jadi partai A dan B tidak ada bedanya lagi. Program juga sama. Ini membuat keterikatan dengan partai melemah. Dulu kalau ada partai Islam, saya merasa terikat dengan partai Islam, jadi ideologis.

Apalagi kemudian muncul pemilu dengan sistem pemilihan suara terbanyak. Ini kan peran dan pengaruh partai sudah semakin turun karena yang dipilih bukan lagi partai, tapi orang. Kalau orang, hitungannya, masyarakat di bawah, apa yang bisa saya dapatkan dari orang ini, kemungkinan munculnya politik uang ya di sana, dan orang hilang keterikatan ideologinya.

Kecenderungan global juga seperti itu, pertempuran ideologi sudah hilang?

Ini ada di bukunya Daniel bell, tapi jangan lupa, di negera maju ada civic religion, politik juga dipengaruhi agama. Di Amerika, kekuatan agama juga kembali menguat. Saya tidak tahu dalam politik Indonesia, untuk sementara, ideologi seperti menghilang. Tapi disisi lain, sekarang orang Islam ke-santri-annya menguat, kesalehannya menguat. Tapi di kalangan NU sendiri, masih ada juga yang menginginkan NU memiliki partai Islam karena makin sholeh, hanya memang wadahnya tidak tersedia. Partai Islam menyatakan diri sebagai partai terbuka sehingga buat sebagian yang lain tidak menarik.

Apakah ini kemenangan ideologi pasar sehingga ideologi lain tidak mampu bertahan?


Ya memang sudah tidak ideologis lagi. Jadi ini betul, sekarang ini pasar di bawah menuntut lebih banyak. Karena tuntutan pemilih, calon harus mengeluarkan uang, karena pemilih sudah tidak dapat alternatif ideologis, atau memperjuangkan ideologi yang sama sehingga, ya tawar menawar, kalau saya mencoblos anda, apa yang anda berikan kepada saja, sehingga masyarakat juga menerima uang itu.

Berakhirnya politik aliran ini menunjukkan semakin dewasanya masyarakat atau bagaimana?

Saya kira tidak juga. Kan begini, sebetulnya kita melihat perubahan partisipasi politik dari parochial menjadi partisipan belum terlihat dalam masyarakat kita, meskipun ada peningkatan. Dulu, sampai sekarang, kampanye partai X hanya diikuti simpatisan partai X, simpatisan ini, mungkin tidak mau mendatangi kampanye partai lain, dan ini sebetulnya pada sisi lain, keterikatan dengan partai X, meskipun keterikatannya bukan ideologis.

Dalam politik yang lebih matang, orang merasa bersih dari partai apapun dan ketika ada partai yang menawarkan programnya, ia mencoba memberikan pertimbangan. Sekarang kan kita belum sampai ke sana.

Artinya, politik aliran berakhir, masyarakat bersikap rasional, kalau dulu pokoknya Islam, pokoknya nasionalis?

Logikanya begitu, tetapi dalam realitas tidak selalu seperti itu, yang terjadi dalam masyarakat kita, ketika pemilu kemarin, pilihannya bukan pilihan rasional, oh ini partai yang lebih baik, ini calon yang lebih hebat, rasional dalam arti calon A memberikan uang lebih besar dari calon B. Ini bukan rasionalitas yang baik, pertama karena partainya terlalu banyak, kedua, calonnya terlalu banyak, dan masyarakat sendiri tidak kenal dan tidak tahu kualitasnya sehingga masyarakat mencoblos yang tidak dikenal.

Tapi kalau dilihat secara makro, masyarakat bersikap rasional, mereka menghukum partai yang gagal, misalnya tahun 1999, PDIP menang, kemudian 2004 Golkar, kemudiaan SBY dianggap sukses sehingga partai Demokrat menang, swing voter sudah bersikap rasional disamping ada pemilih setia?

Saya kira pertimbangan seperti itu ada, mungkin pada sebagian orang. Kehidupan sekarang kan lebih baik, ini artinya kontribusi pemerintah terhadap situasi ekonomi berhasil, tetapi saya ragu pilihan yang terjadi di bawah berdasarkan rasionalitas seperti itu, paling tidak untuk pemilu sekarang ini. Masyarakat lebih banyak terpengaruh siapa yang lebih banyak mendekati. Politik uang bukan rahasia lagi, masyarakat kalau uangnya lebih banyak yang dipilih. Orang yang lebih banyak modalnya insyaallah menang, meskipun ada orang yang tidak mengeluarkan uang, ya sekedar uang operasional saja

Posisi NU bisa menjadi kekuatan politik ketika politik aliran eksis, sekarang bagaimana strategisnya?


Sekarang harus dibedakan antara partai politik NU dan institusinya, pengaruhnya juga berbeda. Masyarakat NU masih percaya dengan NU sebagai institusi, tetapi dengan partai NU pakai reserve. NU sekarang sudah seperti kesatuan, ulamanya, dalam kesatuan. Kalau partai NU bisa menurun, kalau pengaruh NU cukup konstan, tapi memang, kalau dibawa untuk berpolitik, masyarakat NU akan berfikir dua kali.

Artinya ada simbiosis mutualisme, partai berbasis NU ingin umat NU mencoblos dia, dan NU ingin program NU dikawal parpolnya?


Ya, maunya begitu, partai NU juga memberikan kontribusi atau memfasilitasi dilaksanakannya program NU, tapi kan memang dalam realitasnya tidak mudah merealisasikan kepentingan itu.

Politik warga NU masih kelihatan, misalnya kita ingin gubernur atau walikota dari NU?


Saya kira kalau harapan seperti itu, dalam semua golongan itu kan masih terus hidup, saya golongan X menginginkan gubernur saya juga X. kalau politik aliaran, tidak dalam konteks seperti itu. Kalau itu kan dalam primordialisme atau golonganisme, tapi kalau aliran seperti dimaksud apa yang dikonseptualisaiskan para ilmuwan, politik yang dipengaruhi oleh ideologi tertentu, baik Islam ataupun yang lainnya, dalam konteks itu. Sekarang, semua partai terbuka, aliranisme sudah tidak ada.

Jadi semuanya semakin ke tengah, PDI memiliki Baitul Muslimin, partai Islam menyatakan diri sebagai partai terbuka?


Jadi partai Islam sendiri seperti partai sekuler, nasionalis. Jadi kalau dulu ada nasionalis, ideologisnya terbuka, yang diperjuangkan bukan syariat Islam, tetapi meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga seperti yang dikatakan banyak orang, sama kecenderungannya. Di sana, aliranisme ini yang sering dikatakan tidak ada. (mkf)