Cerpen: Endang S. Sulistiya
Tuan rumah mempersilakan tamunya masuk. Dengan sopan santun yang terlalu, Mali beserta Indra putranya, terlebih dahulu melepas sandal. Kemudian mereka mengelapkan kaki ke keset. Lalu bapak beranak itu berhati-hati melangkah dengan suara kaki yang nyaris tidak terdengar.
Sebungkus plastik loreng hitam putih besar ditaruh Mali ke atas meja. Hidung peka tuan rumah dapat mendeteksi aroma gula dan teh.
"Mengapa repot-repot segala? Kamu datang saja, aku sudah bahagia,” ujar Sugi mentransfer nada sungkan.
“Ah, cuma gula dan teh ini,” balas Mali merendah.
Nyonya rumah tergopoh menyajikan minuman dan camilan. Ramah, dia mempersilakan tamunya sebelum kembali ke dapur dengan menenteng oleh-oleh.
"Wah, lumayan,” gumam istri Sugi. Otaknya segera mengalkulasi jumlah uang belanja yang bisa dihematnya. Sebayang gamis baru melambai padanya.
“Bagaimana kabarmu, Mali?” Sugi memulai basa-basi.
Silaturahim dua sahabat yang lama tidak bertemu itu berlangsung khusuk. Mereka memperbarui kenangan demi kenangan dengan menceritakan ulang kisah-kisah usang. Pengalaman pahit masa silam mendadak terasa jadi lebih manis saat dibahas di masa sekarang.
Indra menghormati perbincangan bapak dan sahabatnya dengan sikap diam seribu bahasa. Takzim mendengarkan. Sesekali dikembangkannya senyum tipis.
Pada dasarnya Indra ialah seorang pemuda yang pendiam lagi penurut. Dengan sabar, dia menanti Sugi dan Mali merampungkan nostalgianya. Sampai tiba gilirannya nanti dilibatkan dalam percakapan.
Setelah merasa cukup dengan segala ramah-tamah, Mali mulai mengarahkan pembicaraan ke tujuan utama. Mula-mula Mali memperkenalkan Indra versi masa kini yang sudah dewasa pada Sugi. Karena terakhir kali mereka bertemu, Indra masih bocah kecil. TK saja belum tamat saat itu.
Dari sudut pandang seorang bapak, Mali mengisahkan kondisi Indra yang membuat masa tuanya merana. Lima tahun setelah menyandang gelar Sarjana Pendidikan, anak tunggalnya itu belum juga mendapatkan pekerjaan yang baginya cukup layak.
Memang sebagai laki-laki, Indra sudah berupaya sedemikian rupa menjaga martabatnya. Dia tidak gengsi bekerja apa saja asalkan halal. Akan tetapi justru orang tua, khususnya Parmi ibunya, yang luar biasa rewel.
"Masak sarjana jualan keliling! Sia-sia nanti ijazahmu,” keluh Parmi kala Indra merintis usaha bakso.
Menuruti ibunya, Indra berhenti berjualan bakso. Dia lantas melamar kerja ke pabrik. Mengajukan diri sebagai admin, malah dia disodori posisi operator produksi. Menurut informasi dari salah seorang staf HRD, lowongan admin sudah terisi oleh orang bawaan dari salah satu supervisor.
Menyadari tiap pengalaman adalah berharga untuk menjadi batu loncatan, Indra menerima tawaran itu. Dia bekerja giat meski sebelumnya tidak pernah bekerja kasar. Tiap tiba tanggal gajian, dia memberikan seluruh pendapatan kepada ibunya sebagai bentuk baktinya.
“Masak sarjana bekerja di pabrik! Apa tak ada pekerjaan lain?" sinis Parmi.
“Tempat kamu bekerja, kemungkinan besar akan menjadi tempatmu mendapatkan jodoh. Kalau kamu berjodoh dengan buruh, akan seperti apa masa depanmu? Bagaimana kamu dan istrimu akan membesarkan anak-anak kalian nanti? Padahal biaya hidup dari waktu ke waktu semakin meningkat,” keluh kesah Parmi.
Sekonyong-konyong Indra patah hati. Lagi-lagi ibunya menafikan tetes keringatnya. Indra merasa dirinya demikian hina di mata ibunya. Dia tidak bisa memberi setetes saja kebahagiaan untuk orang tuanya.
“Saya harus bekerja apa biar Ibu bahagia?” tanya Indra, pasrah. Indra sangat berharap memperoleh rida ibunya.
“Ya, harapanku kamu itu bisa mengajar. Bukannya kamu dahulu kuliah supaya bisa jadi guru seperti bapakmu?” kalimat itu melesat, mencabik hati Indra.
“Puluhan lamaran sudah saya sebar ke berbagai sekolahan, Bu. Namun belum ada panggilan sampai sekarang,” lirih Indra.
Alih-alih membesarkan hati putranya, Parmi cemberut. Dahinya berkerut-kerut, tampaknya Parmi tengah berpikir keras. Mencari celah demi celah agar Indra bisa menjadi guru sebagaimana impiannya.
“Pak, ingat Sugi tidak? Ibu dengar kabar kalau dia sudah jadi kepala sekolah sekarang. Coba bapak silaturahmi ke rumahnya. Minta bantuannya untuk mencarikan jalan buat Indra,” tutur Parmi kepada suaminya.
“Sugiyanto?” sahut Mali.
“Ya, Sugi yang itu! Yang dahulu rumah kontrakannya sebelah rumah kita,” jawab Parmi mengiyakan.
Dalam sekejap, ingatan Mali berkelana. Terbayang sosok Sugi muda yang sering kali dibantunya. Sahabat sekaligus tetangganya itu dahulu sering ditraktirnya makan. Mali kerap juga meminjami Sugi uang.
Setelah bertahun-tahun wiyata bakti dengan gaji yang mengenaskan, Sugi kemudian menyusul keberuntungan Mali. Sugi lolos CPNS. Tidak lama berselang, Sugi mengalami kenaikan karier dengan pesat. Dia kemudian membeli rumah baru di luar kota. Lalu pindah ke sana. Berpisah jarak dan waktu, Mali dan Sugi kian jarang bertemu.
Tidak menampik saran dari istrinya, Mali mempersiapkan diri untuk mengunjungi Sugi. Tidak ada salahnya dicoba, pikirnya. Bukan bermaksud menuntut balas atas jasa, Mali merasa Sugi pasti dapat memahami permintaannya.
Sekarang Mali sudah pensiun, susah baginya membantu Indra menjadi guru. Kenalan Mali pun sudah banyak yang pensiun. Maka ketika istrinya menyebut nama Sugi, Mali seolah ditunjukkan jalan untuk masa depan Indra.
“Jadi kedatanganku ke mari, tidak lain, tidak bukan, ingin meminta tolong padamu supaya mencarikan pekerjaan untuk Indra.” Gamblang Mali mengutarakan niatan
“Waduh bagaimana ya Mali? Aku ingin sekali membantu tetapi tahu sendiri sekarang aturan sangat ketat,” tutur Sugi, ragu-ragu. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang mendadak gatal.
“Tolonglah, Sugi. Jadi guru honorer di sekolahmu dahulu tidak apa-apa. Biar Indra punya pengalaman mengajar,” kejar Mali.
“Tapi honorer itu gajinya kecil, Mali! Bahkan tidak ada setengahnya dari buruh pabrik. Apa Indra bersedia?” terang-terangan Sugi memaparkan kenyataan pahit tenaga honorer yang diketahuinya secara mendalam.
“Tidak apa-apa,” sahut Mali menyerobot jawaban dari Indra.
“Selain itu aku juga tidak bisa memberikan jaminan mengenai pengangkatan PNS-nya. Sekarang kebijakan tentang PNS sudah jauh berubah,” imbuh Sugi membeberkan fakta pahit di muka.
“Ya, aku tahu itu. Indra bisa honorer saja sudah cukup. Selanjutnya biar Indra sendiri yang berusaha.”
“Kalau memang Indra bersedia. Aku akan segera mengatur jadwal. Agar Senin depan, Indra bisa segera mengajar?”
“Terima kasih, Sugi. Terima kasih,” ucap Mali dengan suara bergetar. Haru.
Mali menyenggol Indra yang tanpa reaksi. Indra menangkap kode yang dihantarkan bapaknya.
“Terima kasih, Om!” kalimat itu meluncur dari bibir Indra dengan berat hati. Sesuatu mengganggu pikirannya.
“Begini saja. Indra lebih baik tinggal sementara di rumahku. Karena jika setiap hari pulang pergi antara rumah dan sekolah, pasti capek. Sedangkan kalau kos, harus keluar biaya yang tidak sedikit,” putus Sugi menawarkan solusi.
Mali mengangguk-angguk setuju sedangkan Indra makin terbebani. Wajahnya tampak tertekan.
Indra sangat menyadari bahwa dirinya telah terperangkap dalam lingkaran sesat. Bermula dari gula dan teh, Indra telah menjadi bagian dari siklus korupsi, kolusi, dan nepotisme di negeri sakit ini.
Endang S. Sulistiya, menetap di Boyolali. Alumnus FISIP UNS. Tergabung dalam Grup 'Diskusi Sahabat Inspirasi'.