Cara Pesantren Al-Raudloh Kajen Ciptakan Pesantren Ramah Anak: Bangun Kedekatan dan Empati
Sabtu, 9 November 2024 | 18:30 WIB
Proses pembelajaran di Pesantren Al-Raudloh Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. (Foto: dok. Pesantren Al-Raudlah)
Pati, NU Online
Pengasuh Pesantren Al-Raudloh Kajen, Margoyoso Pati, Jawa Tengah, KH Muhammad Farid Abbad mengatakan upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan atau mewujudkan relasi ramah anak di pesantren bisa menggunakan pendekatan kultural yakni personal dan emosional (ikatan batin) dengan para santri.
Di pesantren yang ia asuh, regulasi atau peraturan bukan hanya sekadar hitam di atas putih, tetapi juga hukum yang perlu ditegakkan dengan pendekatan. Pendekatan yang ia gunakan untuk menciptakan pesantren ramah santri ialah dengan pendekatan kultural.
Ia menambahkan, yang ditekankan di pesantren yang ia asuh bahwa pesantren merupakan rumah bersama baik bagi santri, pengurus maupun pengasuh. Relasinya seperti bapak dengan anak dan kakak dengan adik.
“Maka setiap hari saya pribadi atau abah dan ibu berinteraksi (dengan santri), tidak hanya saat ngaji dan kegiatan pesantren saja. Namun, setiap hari itu kadang ngobrol, makan jajan bersama dan ngopi bersama. Itu adalah mekanisme kultural. Hingga saat ini kita hapal satu persatu nama-nama santri kita,” jelasnya kepada NU Onlline, Sabtu (9/11/2024).
Ia mempunyai strategi khusus apabila terjadi kekerasan terhadap santri, terutama kekerasan mental atau perundungan. Salah satu budaya santri yang cukup kental yakni gojlok-gojlokan. Ia sebagai pengasuh memantau selama dua puluh empat jam sehari agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Namun apabila terjadi kasus gojlok-gojlokan yang mengarah pada perundungan, ia dengan sigap akan menegur santri tersebut dan menyelesaikannya secara kekeluargaan. Menurutnya, ia bisa tahu apa masalah yang dihadapi santri lewat aduan dari pengurus atau mendengar langsung dari kamarnya. Karena kamar tidurnya berhadap-hadapan dengan kamar santri.
“Teguran pasti ada, sanksi atau punishment yang mendidik kita lakukan. Tapi konflik dan kebencian itu penting untuk kita hilangkan (antara) kelompok-kelompok yang merundung dan yang dirundung. Kenapa di Al-Roudlah sangat minim terjadi perundungan, karena kedekatan kita dengan santri tidak ada sekat atau jarak,” ungkapnya.
Bangun wadah konseling dan crisis center
Pria yang akrab disapa Gus Farid ini menjelaskan bahwa di pesantrennya ada sub lembaga atau divisi yang berfungsi semacam untuk mengonseling santri yang bernama Crisis Center. Lembaga tersebut berfungsi untuk menerima aduan, curhatan, masukan dan kritik santri dan berdiri sejak tahun 2020.
Karena, kata Farid, pesantrennya menekankan hubungan kekeluargaan dalam pola kehidupan sehari-hari. Hal ini mempermudah santri untuk menyampaikan keluh kesah, tekanan dalam pembelajaran dan masalah lainnya.
Menurutnya dengan adanya Crisis Center tersebut pihaknya mempunyai data dan rekam jejak santri. Ia berharap Crisis Center ini tidak hanya menjadi ruang konseling semata namun juga pengembangan bakat.
“Artinya atau tidak hanya masalah yang kita tangani. Tentu manusia mempunyai dua dimensi, dimensi kelebihan dan kekurangan. Maka Crisis Center mempunyai dua sisi itu. Pertama untuk menyelesaikan kekurangan-kekurangan para santri di sisi lain bagaimana kita melihat kemampuan para santri yang layak untuk ditumbuh kembangkan,” ujar pria yang juga mengasuh Halaqah Ngaji Selapanan di berbagai daerah ini.
Mengedepankan empat tanpa kekerasan
Pengurus sekaligus Santri Senior Pesantren Al-Raudloh, Khoirul Intifaul Ma’robby mengatakan, sepanjang pengalamannya mondok di pesantren Al-Raudlah, pola pengasuhan santri mengedepankan empati dan tanpa kekerasan fisik maupun mental. Menurutnya, realitas kehidupan di pesantrennya dapat dikategorikan ramah anak.
Relasi antar-santri dan santri terhadap guru terjadi dalam hubungan yang harmonis dan penuh kasih sayang. Ini terbukti saat ada santri melakukan kesalahan pengurus atau guru tidak memberi hukuman fisik atau marah, namun dilakukan pembinaan dan bimbingan terhadap santri tersebut.
Baca Juga
Garut Kembangkan Pesantren Ramah Anak
“Hal ini membantu santri memahami kesalahannya dan memperbaikinya dengan kesadaran sendiri,” ujarnya saat diwawancarai NU Online pada Kamis (7/11/2024).
Menurutnya, pola relasi antar-santri dibangun dengan dasar kasih sayang dan saling menghormati sehingga tidak terjadi gesekan seperti perundungan maupun kekerasan fisik. Bahkan santri senior diberi tugas untuk menjadi mentor belajar dan penyesuaian diri bagi santri-santri junior atau adik kelas.
“Kami menyediakan ruang konseling atau guru pembimbing khusus yang bisa menjadi tempat santri berbicara jika mengalami masalah. Hal ini membuat santri merasa didengar dan tidak takut untuk melapor jika merasa tidak nyaman atau mengalami kesulitan,” tutur santri yang juga menempuh studi di Kampus IPMAFA Pati tersebut.
Ia berharap semoga pesantrennya dan pesantren secara umum konsisten menciptakan tempat belajar santri yang aman dan damai. Serta tidak terjadi kekerasan baik secara fisik dan mental antar-santri maupun oleh atau kepada guru.
“Kami menginginkan adanya sistem pengawasan yang mencegah bullying atau perundungan, serta tempat yang nyaman untuk belajar dan beribadah,” paparnya.