Fragmen

Perkembangan dan Pengelolaan Pers NU saat Awal Berdiri

Ahad, 9 Februari 2025 | 16:00 WIB

Perkembangan dan Pengelolaan Pers NU saat Awal Berdiri

Jilid muka salah satu edisi majalah Berita Nahdlatoel Oelama (Foto: NU Online Jabar)

Salah seorang pendiri NU, KH Abdul Wahab Hasbullah menyampaikan pandangannya tentang arti penting pers bagi sebuah perkumpulan. Pandangan tersebut dikutip majalah Berita Nahdlatoel Oelama pada salah satu edisinya pada 1936.


Tidak mempunyai surat kabar samalah artinya dengan buta tuli sebab tak mempunyai pemandangan (Berita Nahdlatoel Oelama, 1 Januari 1936, No 5, tahun ke-5).


Pandangan Kiai Wahab itu sudah diwujudkan 9 tahun sebelumnya, yakni pada 1927. NU yang berdiri 1926, setahun kemudian menerbitkan majalah Swara Nahdlatoel Oelama.


Penerbitan majalah bukan semata-mata mengikuti tren saat itu: Sarekat Dagang Islam menerbitkan Taman Pewarta, Boedi Oetomo menerbitkan Darmo Kondo, Muhammadiyah memiliki Swara Muhammadiyah, Paguyuban Pasundan memiliki Sipatahoenan, melainkan karena NU (dalam hal ini khususnya Kiai Wahab) memahami arti pentingnya pers.


Bahkan, Kiai Wahab sendiri langsung memimpin operasional penerbitan majalah itu selama 7 tahun (Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, 2011).


Perkembangan pers NU

Majalah Swara Nahdlatoel Oelama menggunakan bahasa Jawa huruf Arab pegon. Kemudian, seiring dengan pertambahan pengurus dan anggota yang berasal dari Sunda dan Betawi, NU mengupayakan majalah yang berhuruf Latin berbahasa Melayu bernama Oetoesan Nahdlatoel Olama. Majalah itu sebagian isinya menerjemahkan serta mengalihaksarakan majalah Swara Nahdlatoel Oelama. Kedua majalah itu terbit sebulan sekali.


Respons atas kebutuhan tersebut, Oetoesan Nahdlatoel Oelama menegaskan:


Kita sudah mengeluarkan majalah Swara Nahdlatoel Oelama huruf pegon bahasa Jawa, maka kemudian banyak sekali saudara-saudara yang memikir dan membilang sayang bahwa majalah Swara Nahdlatoel Oelama dibikin bahasa Jawa saja, mengapa tiada dibikin dengan bahasa Melayu huruf Latin, padahal seandainya begitu sudah tentu lebih-lebih majunya dan lebih umum gunanya oleh karena bahasa Melayu dan huruf Latin itu boleh dibilang terpakai oleh umum dalam Indonesia, bahkan luarnya pula (Oetoesan Nahdlatoel Oelama, No. 1 tahun ke-1)


Kiai Wahab semakin sibuk untuk mengembangkan NU ke berbagai daerah, sementara cabang dan anggota sudah melampaui Jawa, melainkan di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, hingga Sumbawa. Kiai Wahab menugaskan KH Mahfudz Shiddiq untuk menangani majalah NU versi baru, Berita Nahdlatoel Oelama.  


Di masa kepemimpinan KH Mahfudz Shiddiq ini, pers NU menggunakan teknik jurnalistik sebagaimana pers umum waktu itu (Greg Fealy dan Greg Barton (eds.), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, 2010).


Dari tahun ke tahun, majalah itu semakin tersebar ke seluruh Indonesia. Tahun 1936 majalah itu melaporkan penerimaan uang dari Indragiri (Riau), Palembang (Sumatera Selatan), Martapura dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan). Bahkan pada tahun itu pula ada penerimaan uang dari Makkah Berita Nahdlatoel Oelama, (1 Juni 1936, No 15, tahun ke-5).


Itu artinya, Berita Nahdlatoel Oelama sudah tersebar ke wilayah tersebut dan menunjukkan kehidupan NU di wilayah tersebut.


Korespondensi pemikiran

Majalah itu juga dipergunakan sebagai media yang menghubungkan para kiai dengan kiai, dan kiai dengan umat. Majalah itu membahas problematika yang sedang dihadapi umat Islam atau menjawab pertanyaan yang disampaikan umat.


Para tokoh seperti Kiai Wahab, Kiai Alwi Abdul Aziz, Kiai Bisri Syansuri turun langsung menjawab pertanyaan, termasuk Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.


Ya, memang fungsi majalah NU itu, sebagaimana disampaikan pada satu tulisan di Oetoesan Nahdlatoel Oelama oleh seorang penulis atas nama Mr Jahman, adalah “laksana seorang laki-laki yang berbayonet menjaga pintu gedong yang berisi agama Islam.” (Oetoesan Nahdlatoel Oelama, 119.)


Untuk menjalankan fungsi itu, memastikan majalah sampai ke tangan pembaca di kota-kota besar maupun kecil, NU membuka agen di cabang-cabang yang dilaksanakan sejak Swara Nahdlatoel Oelama dan Oetoesan Nahdlatoel Oelama pada 1929:


"Vergadering pengurus SNO dan ONO 20 Januari 1929 telah memutus akan mengadakan hoofdagent-hoofdagent di mana-mana kota besar yang bisa terima urusan berlangganan SNO dan ONO. Pertama di daerah Malang, yang memegang jabatan hoofdagent tadi yaitu tuan KH Nahchrawie Jagalan, Malang. Di lain-lain tempat nanti dikabarkan" (Oetoesan Nahdlatoel Oelama, (No. 1 tahun ke-1)


Semakin hari, tanya jawab dan korespondensi semakin meluas. Semula hanya terjadi antara kiai dengan kiai dan kiai dengan umat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kemudian meluas ke Jawa Barat, Jakarta, dan Banten.


Misalnya, berlangsung korespondensi antara Kiai Baidlowi dari Indramayu, Kiai Fadhil bin Muhammad Ilyas dari Tasikmalaya dengan kiai-kiai di Jawa Timur.


Pada perkembangan selanjutnya, saat Berita Nahdlatoel Oelama, majalah itu memuat kiriman verslag (laporan) kegiatan organisasi di berbagai daerah atau artikel keagamaan. Bahkan di beberapa edisi, majalah itu memuat tulisan dari tokoh-tokoh pergerakan perkumpulan lain yang penting dibaca warga NU seperti tulisan Agus Salim, MH Thamrin, Muhammad Yamin.


Tentu saja, majalah NU juga menurunkan ulasan kritis merespons kondisi saat itu, termasuk masalah politik yang terkait umat Islam seperti perdebatan dalam sidang Volksraad (Dewan Rakyat) bikinan Hindia Belanda (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, 141).


Majalah itu juga menyajikan laporan tentang perkembangan situasi global, terutama yang terkait Islam di Turki, Amerika Serikat, Mesir, Cina, dan negara-negara lain.


Biasanya, di akhir majalah tersebut disajikan kabar kematian para pengurus atau warga NU. Di situ sisi kita bisa tahu, betapa NU membina kebersamaan dengan sesama orang hidup dan mati. Pengelola majalah mengajak seluruh warga NU di mana pun berada untuk mengirim doa dan melaksanakan shalat gaib bagi mereka yang telah meninggal dunia.


Distribusi dan jaringan

Tentu saja majalah-majalah itu dihidupi dari uang langganan. Karena itulah di setiap edisi, redaktur mempromosikan majalah itu kepada khalayak pembaca. Laporan keuangan penerimaan pun selalu dikabarkan di bagian akhir majalah.


Selain itu, sumber dana lainnya didapatkan dari penayangan berbagai macam iklan seperti jamu, rokok, sarung, buku, perhiasan, dan lain-lain. Majalah itu juga mengimbau pemuda Ansor agar aktif mencari iklan dan pelanggan di daerah-daerah (Berita Nahdlatoel Oelama, (1 Februari 1936, No. 7, tahun ke-5).


Promosi tidak hanya disampaikan melalui majalah, tetapi juga secara langsung disampaikan kepada khalayak dalam berbagai kesempatan, termasuk saat muktamar.


Pada beberapa muktamar, pengurus NU merekomendasikan agar cabang dan warga NU berlangganan majalah itu. Redaksi majalah BNO mengingatkan cabang-cabang NU dan pembaca agar mengingat hasil Muktamar NU di Banyuwangi yang salah satu di antaranya setiap cabang harus membeli majalah sejumlah ranting (kring) yang ada di tiap daerah:


Cabang-cabang dan Kring Nahdlatul Ulama, Ya ayyuhal ladzina amanu aufu bil ‘uqudi
Hai sekalian kaum muslimin tetepilah janji tuan-tuan.

Kita percaya bahwa tuan-tuan belum lupa putusannya kongres kesembilan di Banyuwangi yang mana putusan itu tuan-tuan sendiri yang memutuskan ialah akan berlangganan majalah BNO menurut sebanyak jumlahnya kring-kring di dalam cabang tuan.

Dan kita percaya bahwa itu putusan tidak hanya ditulis di atas kertas belaka. Akan tetapi tuan-tuan telah sanggup akan menjalankan itu putusan. Maka dari itu kami selalu menunggu-nunggu kabarnya dari tuan-tuan (Berita Nahdlatoel Oelama, 1 Februari 1936, No 7, tahun ke-5).


Untuk memperluas jaringan dengan organisasi lain, Berita Nahdlatoel Oelama tahun 1936 misalnya melakukan kerja sama dengan majalah lain untuk keperluan tukar-menukar informasi dan pengetahuan.


Kerja sama antarmedia itu dilakukan baik dengan media dari Jawa maupun luar Jawa. Dari luar Jawa, misalnya, majalah NU menjalin kerja sama dengan majalah Assyoeban (Tanjung Balai), Kendali Moeda (Padang Panjang), Bakti (Padang), Pewarta Timoer (Kupang), Al-Bayan (Samarinda), dan Tarich Anbiya, (Bengkulu) (Berita Nahdlatoel Oelama, 15 Mei 1936, No. 14, tahun ke-5)


Majalah NU juga bekerja sama dengan penerbitan yang dikelola oleh pengurus cabang NU di daerah, seperti dengan Al-Mawaidz, milik NU Cabang Tasikmalaya. (Berita Nahdlatoel Oelama, 15 Mei 1936, No. 14, tahun ke-5)


Dalam kurun waktu 15 tahun sejak didirikan, NU menerbitkan Swara Nahdlatoel Oelama dan Oetoesan Nahdlatoel Oelama yang masing-masing terbit sebulan sekali. NU kemudian menerbitkan Berita Nahdlatoel Oalama yang terbit dua minggu sekali. Media lainnya adalah Soeloeh Nahdlatoel Oelama. Ada juga media yang diterbitkan oleh badan otonom, yaitu Swara Ansor, Terompet Ansor, serta majalah berbahasa Jawa Penggugah.