Internasional

Kaleidoskop 2025: Krisis Kemanusiaan, Kelaparan, Blokade Bantuan, dan Solidaritas Dunia untuk Gaza

Ahad, 28 Desember 2025 | 15:00 WIB

Kaleidoskop 2025: Krisis Kemanusiaan, Kelaparan, Blokade Bantuan, dan Solidaritas Dunia untuk Gaza

Ilustrasi krisis kemanusiaan. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Pada Juli 2025, kelaparan di Gaza mencapai titik kritis yang mencekam ketika bantuan nyaris tidak sampai. Kholoud Al-Arqan, seorang ibu Palestina mengeluh untuk mendapat sepotong roti.


“Saya hanya ingin sepotong roti untuk anak-anak saya,” ujarnya pada Ahad, (20/7/2025).


Direktur Kementerian Kesehatan Gaza Munir Al-Bursh menggambarkan situasi buruk yang terjadi di Gaza. “Di Gaza, makanan bukan lagi hak. Makanan hanyalah keinginan yang tak terpenuhi,” ujar Al-Bursh pada Senin, (21/7/2025).


Data medis menunjukkan krisis ini bukan sekadar kekurangan, melainkan ancaman nyata bagi kelangsungan hidup warga sipil. Penderitaan bertambah ketika laporan dari rumah sakit besar Gaza menunjukkan bahwa 21 anak tewas karena kekurangan gizi dan kelaparan dalam 72 jam terakhir,


“21 anak telah meninggal karena kekurangan gizi dan kelaparan di wilayah tersebut dalam 72 jam terakhir,” ujar Dr. Mohammed Abu Salmiya pada Selasa, (22/7/2025)


Krisis gizi akut juga menyerang sekitar 17.000 anak di Gaza utara, yang kondisinya belum dapat ditangani secara memadai oleh fasilitas kesehatan setempat. 


Krisis kemanusiaan di Gaza sepanjang Juli hingga September 2025 semakin memburuk akibat pembatasan dan penghalangan bantuan kemanusiaan. Laporan lembaga internasional menunjukkan, kelaparan massal yang terjadi bukan disebabkan kekurangan pasokan global, melainkan karena tertutupnya akses bantuan ke wilayah Gaza.


Memasuki awal Juli 2025, PBB mencatat kurang dari 25 persen kebutuhan bantuan harian yang berhasil masuk ke Gaza melalui perlintasan darat utama, terutama Kerem Shalom. Bantuan penting seperti susu bayi, obat-obatan, dan bahan bakar kerap tertahan atau ditolak.


“Kami memiliki bantuan dan makanan yang siap dikirim, tetapi akses ke Gaza diblokir,” ujar seorang pejabat kemanusiaan PBB, pada Selasa (9/7/2025).


Selain pembatasan di perbatasan, distribusi bantuan di dalam Gaza juga terhambat. Banyak truk yang telah masuk tidak dapat menjangkau Gaza Utara, wilayah dengan tingkat kelaparan paling parah.


Sementara pada Agustus 2025, upaya bantuan melalui jalur laut juga dihadang. Kapal bantuan kemanusiaan Handala, yang membawa makanan dan obat-obatan untuk anak-anak Gaza, dicegat dan ditarik ke Pelabuhan Ashdod oleh pasukan Israel.


“Kami membawa bantuan kemanusiaan, bukan senjata. Namun kami diperlakukan seperti ancaman,” ujar salah satu aktivis kapal Handala, pada Jumat (16/8/2025).


Lembaga kemanusiaan mencatat, sepanjang Agustus, lebih dari 60 persen misi bantuan mengalami penundaan atau penolakan, baik karena alasan keamanan maupun administratif.


Memasuki September 2025, tekanan internasional untuk membuka akses bantuan semakin menguat. Namun di lapangan, tidak ada pelonggaran signifikan. Jumlah truk bantuan yang masuk tetap jauh di bawah kebutuhan minimum penduduk Gaza.


“Kelaparan di Gaza bukan karena tidak adanya bantuan, tetapi karena bantuan tidak diizinkan masuk,” kata perwakilan organisasi kemanusiaan internasional, pada Senin (23/9/2025).


Hingga akhir September, jalur darat dan laut masih dibatasi ketat. Organisasi kemanusiaan menegaskan bahwa anak-anak, perempuan, dan lansia menjadi kelompok paling terdampak dari blokade bantuan yang berkepanjangan.


Kelaparan dan blokade di Gaza menuai reaksi diplomatik di panggung internasional. Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyerukan dukungan internasional terhadap warga Gaza:


“Saya secara khusus memohon kepada Presiden Amerika Serikat yang terhormat, Donald Trump agar memastikan bahwa bantuan kemanusiaan menjangkau mereka yang membutuhkan tanpa hambatan,” ujar Anwar, Kamis (24/7/2025).


Raja Belgia Philippe juga turut menyuarakan hal serupa. Ia menegaskan kecaman terhadap pelanggaran kemanusiaan.


“Saya turut menyuarakan pendapat saya kepada mereka yang mengecam pelanggaran kemanusiaan yang serius di Gaza,” ujar Philippe.


Krisis dan Blokade di Gaza tersebut juga memicu aksi protes besar di berbagai negara di dunia. 


Australia 

Pada 3 Agustus 2025, ribuan warga turun ke jalan dalam aksi March for Humanity di Sydney Harbour Bridge, sebagai solidaritas terhadap warga Gaza dan tuntutan untuk menghentikan genosida serta membuka akses bantuan. Organiser memperkirakan hingga 225.000–300.000 peserta memenuhi jembatan tersebut, menunjukkan gelombang dukungan yang luar biasa bagi kemanusiaan. 


Pada 24 Agustus 2025, warga Australia menggelar aksi lanjutan. Lebih dari puluhan ribu orang di lebih dari 40 kota di Australia menyerukan pemerintah federal mendesak sanksi dan embargo senjata terhadap Israel atas perang dan kelaparan di Gaza.


Eropa

Pada 10 Agustus 2025, ratusan ribu demonstran dilaporkan berkumpul di berbagai kota Eropa seperti London, Berlin, dan Paris menuntut diakhirinya genosida, pemberlakuan embargo senjata, dan gencatan senjata total. Di London, massa marching dari Russell Square menuntut “Stop starving Gaza” sebagai tema utama aksi solidaritas. 


Pada 14 September 2025, Berlin menggelar aksi lanjutan. Setidaknya 12.000 demonstran berkumpul di Berlin di bawah slogan “Stop the genocide in Gaza!”, menolak pengiriman senjata ke zona perang, dan menyerukan perdamaian serta tangan bantuan yang nyata. 


Selain itu, aksi-aksi solidaritas juga terjadi di Belanda (den Haag), Brasil (Sao Paulo), Paris, Tunis, dan Buenos Aires, serta protes di kampus-kampus Eropa yang menuntut penghentian hubungan akademik dengan institusi yang mendukung konflik.