Banjir Sukabumi: 2.500 KK Direlokasi, 10 Korban Jiwa, Kerusakan Lingkungan Diduga Akibat Tambang Emas
Senin, 16 Desember 2024 | 10:00 WIB
Bandung, NU Online
Banjir besar yang melanda Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, membawa dampak yang memprihatinkan. Sebanyak 2.500 Kepala Keluarga (KK) harus direlokasi akibat bencana ini, yang juga menyebabkan 10 orang meninggal dunia. Kerusakan lingkungan yang parah, diduga disebabkan oleh aktivitas tambang emas dan pertambangan galian lainnya, menjadi sorotan utama.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto, mengungkapkan bahwa 129 KK terdampak harus segera direlokasi karena rumah mereka hancur dan berada di lokasi rawan bencana. Selain itu, 2.500 jiwa lainnya juga harus dipindahkan untuk memastikan keselamatan mereka.
"Proses relokasi memerlukan penataan lahan yang matang, baik dari lahan pemerintah maupun swasta," ujar Suharyanto saat mengunjungi pos pengungsian di Desa Bantargadung, Kecamatan Bantargadung, Jumat (13/12/2024) dilansir NU Online Jabar.
Menurut data BNPB hingga Rabu (11/12/2024) pukul 07.00 WIB, bencana ini telah memengaruhi 20.629 warga, dengan 3.464 orang mengungsi. Angka ini meningkat dari laporan sebelumnya, dengan tambahan 10.455 warga terdampak dan 476 warga yang mengungsi. Bencana ini meluas ke 184 desa di 39 kecamatan di Sukabumi.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Wahyudin, menyoroti aktivitas tambang emas sebagai penyebab kerusakan lingkungan.
"Hasil pemantauan citra satelit menunjukkan kerusakan hutan di beberapa kawasan di Sukabumi, yang diduga akibat aktivitas tambang emas dan tambang galian kuarsa," jelasnya.
Kawasan terdampak termasuk Kecamatan Waluran Jampang, di mana pembukaan lahan untuk proyek Hutan Tanaman Energi (HTE) turut berkontribusi pada degradasi hutan. Proyek ini bertujuan menyediakan serbuk kayu untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pelabuhanratu.
Walhi juga menemukan adanya aktivitas tambang emas yang dilakukan oleh PT Wilton di Ciemas dengan konsesi seluas 300 hektare, serta PT Generasi Muda Bersatu di Kecamatan Simpenan.
Krisis ini menjadi pengingat akan pentingnya pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan penegakan hukum yang ketat terhadap aktivitas tambang ilegal. Pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat bekerja sama untuk mencegah bencana serupa terjadi di masa depan.