Ketua PBNU Tekankan Pentingnya Kekuatan Ekonomi dan Budaya dalam Konstelasi Politik Global
Senin, 17 November 2025 | 10:00 WIB
Sesi Plenary Muktamar Ilmu Pengetahuan III di UIN KH Abdurrahman Wahid Kota Pekalongan, Ahad (16/11/2025).
Pekalongan, NU Online
Staf Ahli Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Prof Rumadi Achmad, memaparkan dinamika kekuatan global pada Sesi Plenary Muktamar Ilmu Pengetahuan III di UIN KH Abdurrahman Wahid Kota Pekalongan, Ahad (16/11/2025).
Ia menegaskan bahwa peta kekuatan negara di dunia modern masih sangat ditentukan oleh dua faktor utama, yakni ekonomi dan kemampuan memproduksi persenjataan.
Menurutnya, dua aspek tersebut menjadi instrumen penting dalam proses negosiasi antarnegara. “Negara yang kuat ekonominya dan mampu memproduksi senjata sendiri, pasti punya kekuatan politik,” ujarnya diberitakan NU Online Jateng.
Rumadi menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat bergantung pada investasi dan kemampuan negara tersebut menggerakkan perekonomian domestik, termasuk menekan angka pengangguran dan kemiskinan. Kekuatan ekonomi itu pula yang menjadi modal dalam membangun industri pertahanan.
Ia menyinggung fenomena middle income trap yang dialami banyak negara, termasuk potensi yang mengancam Indonesia jika tidak mampu mengembangkan kekuatan ekonomi secara berkelanjutan. Rumadi mencontohkan masa Orde Baru yang menekankan stabilitas demi menarik investasi asing sebagai strategi memperkuat ekonomi nasional.
Dalam konteks geopolitik, negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China tampil sebagai pemain utama karena kemandirian industri persenjataan dan kekuatan modal yang mereka miliki.
Sementara Indonesia, kata Rumadi, belum memiliki kekuatan penuh pada dua aspek tersebut. Industri pertahanan seperti PT Pindad memang berkembang, namun belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan nasional.
Meski demikian, Indonesia memiliki kekuatan lain yang tidak kalah strategis, yakni diplomasi budaya, moderasi, dan toleransi.
“Kekuatan kita bukan pada ekonomi atau persenjataan. Indonesia dikenal karena budayanya, kehidupan harmonisnya, dan bahasa moderasinya. Di situ peran besar NU berada,” terangnya.
Rumadi kemudian mengaitkan hal tersebut dengan proyeksi pertumbuhan penduduk Muslim dunia. Berdasarkan riset lembaga internasional, umat Islam diprediksi akan melampaui populasi Kristen pada 2100. Menurutnya, pertumbuhan ini harus dibaca sebagai peluang.
“Pertanyaannya: Islam seperti apa yang akan tumbuh? Di sinilah NU punya kepentingan besar. Islam yang ramah, moderat, dan tidak menimbulkan rasa terancam bagi orang lain,” jelasnya.
Ia menyoroti bahwa gerakan NU kerap menguat ketika muncul ancaman dari luar, seperti ekstremisme atau radikalisme. Situasi itu justru memicu konsolidasi internal dan penguatan kaderisasi. Rumadi memaparkan data peningkatan jumlah masyarakat yang merasa menjadi bagian dari NU. Pada 2005, jumlahnya sekitar 27 persen dan meningkat menjadi 50,9 persen pada 2024.
“Ini pertumbuhan luar biasa, tidak lepas dari gerakan NU yang semakin masif dan kaderisasi yang terus berjalan,” tegasnya.
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa militansi organisasi harus tetap menjaga kenyamanan masyarakat.
“Kaderisasi NU jangan sampai menimbulkan kesan fasisme. Justru harus membuat orang lain merasa nyaman dengan kehadiran NU,” pungkasnya.