PBNU Terima Delegasi IIS Austria, Bahas Humanitarian Islam dan Model Kerukunan Indonesia
NU Online · Jumat, 14 November 2025 | 15:00 WIB
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menerima delegasi Indonesian Interfaith Scholarship (IIS) 2025 dari Austria di Gedung PBNU, Jl Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (14/11/2025). (Foto: Junadi Ghufron/TVNU)
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menerima delegasi Indonesian Interfaith Scholarship (IIS) 2025 dari Austria di Gedung PBNU, Jl Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (14/11/2025).
Kunjungan ini menjadi bagian dari rangkaian dialog lintas iman yang diselenggarakan Kementerian Agama RI untuk memperkenalkan model kerukunan Indonesia kepada komunitas internasional.
Rombongan yang terdiri dari sepuluh peserta lintas agama ini dipimpin oleh Ketua Gugus Tugas untuk Dialog Agama dan Budaya di Kementerian Luar Negeri Austria, Alexander Rieger.
Dalam pertemuan itu, Gus Yahya menyampaikan orientasi PBNU dalam diplomasi lintas iman dan kontribusi NU dalam percakapan global tentang masa depan kemanusiaan.
Ia menekankan perlunya membangun kesepahaman universal yang bersumber dari nilai-nilai agama masing-masing. “Kami ingin mendorong Islam menjadi sumber solusi, bukan sumber masalah,” ujar Gus Yahya.
Ia menjelaskan bahwa pasca peristiwa 11 September 2001, berkembang mispersepsi di sejumlah negara Barat tentang Islam. Melalui gagasan Humanitarian Islam, PBNU berupaya menegaskan bahwa Islam membawa nilai kemanusiaan dan kedamaian sebagaimana diwariskan oleh para pendiri NU.
“Humanitarian Islam adalah ikhtiar untuk menghadirkan nilai kemanusiaan universal berdasarkan ajaran agama masing-masing,” katanya.
Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menjelaskan bahwa para peserta IIS datang untuk memahami lebih dekat peran NU sebagai organisasi Islam terbesar dalam merawat keberagaman dan membangun dialog lintas iman.
“Mereka mau mengenal NU, mau mengenal komunitas Nahdlatul Ulama. Mereka bertemu NU, Muhammadiyah, tokoh Katolik, dan mengunjungi Istiqlal,” ujarnya.
Gus Ulil menerangkan bahwa Gus Yahya memaparkan upaya PBNU dalam mendorong dialog antaragama dengan tujuan membangun kesepakatan global menghadapi tantangan kemanusiaan.
“Ketum tadi menjelaskan usaha-usaha PBNU di ranah internasional, yaitu membangun dialog antaragama untuk mengatasi tantangan kemanusiaan bersama,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa gagasan Humanitarian Islam merupakan kelanjutan dari konsep Islam rahmatan lil ‘alamin yang telah dibawa oleh para kiai NU dari generasi ke generasi.
“Ajaran Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam sudah dibawa sejak era Kiai Hasyim Muzadi diteruskan era Kiai Said, dan sekarang oleh Gus Yahya dalam bentuk Humanitarian Islam,” ungkapnya.
Gus Ulil berharap program IIS dapat terus menjadi jembatan untuk memperkuat saling pengertian antarbangsa dan memperdalam kajian moderasi beragama yang menjadi ciri khas Indonesia.
Salah satu peserta, Profesor di University College of Teacher Education of Christian Churches in Austria, Prof Elif Medeni menyampaikan kesan mendalam setelah mendengar penjelasan Ketua Umum PBNU.
Menurutnya, konsep wasathiyah yang diusung NU membuka ruang refleksi bagi konteks Eropa. “Apa yang dipromosikan beliau adalah bahwa Nahdlatul Ulama berdiri pada posisi wasathiyah, Islam moderat. Sebagai orang Eropa, saya bertanya apa implikasinya bagi konteks kami, karena kami hidup dalam masyarakat demokratis tanpa konflik besar seperti di banyak wilayah lain,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa Eropa tidak memiliki tingkat keragaman agama setinggi Indonesia. Karena itu, ia ingin mengetahui lebih dalam dasar-dasar teologis yang membuat model Indonesia berjalan stabil.
“Kami tidak memiliki pluralitas sebesar yang Anda miliki di sini. Jadi, saya bertanya apa masukan teologis yang dapat kami pelajari dari Indonesia,” katanya.
Sebagai akademisi bidang pendidikan, Prof Medeni mengaku ingin mengetahui bagaimana pendidikan di Indonesia berkontribusi dalam membentuk moderasi beragama generasi muda.
“Bagaimana pendidikan dapat berkontribusi pada Islam yang lebih moderat bagi anak muda? Dalam dunia digital, ekstremisme muncul dalam banyak bentuk. Ini pertanyaan bersama yang harus kita jawab,” tegasnya.
Prof Medeni juga menyoroti praktik toleransi di Indonesia sebagai pengalaman yang dapat menjadi inspirasi bagi Eropa.
“Pertanyaan saya adalah bagaimana praktik toleransi diterapkan? Di Eropa dan Indonesia, konteksnya berbeda. Tapi apa yang bisa kami pelajari dari PBNU?”
Ia menegaskan bahwa toleransi adalah tahap awal, tetapi nilai partisipasi jauh lebih berarti untuk membangun masyarakat yang inklusif.
“Menurut saya, toleransi tidak cukup. Partisipasi lebih penting setiap orang harus memiliki hak untuk terlibat dalam seluruh aspek kehidupan sosial,” ucapnya.
Prof Medeni menggarisbawahi bahwa konteks Indonesia memiliki kekhasan, yakni masyarakat yang sejak awal hidup berdampingan.
“Di sini, orang sudah hidup berdampingan sejak dulu. Kristen, Buddha, Muslim semua sudah menjadi bagian dari tempat ini. Itu berbeda dari Eropa, di mana migrasi memunculkan perdebatan siapa pendatang dan siapa penduduk asli. Di sini, semua adalah penghuni sejak awal,” tuturnya.
Pertemuan antara PBNU dan delegasi IIS Austria berlangsung relatif singkat karena kedua pihak memiliki agenda lanjutan. Meski begitu, dialog tersebut dinilai sarat makna dan membuka peluang kerja sama studi keagamaan di masa mendatang. Pada pertemuan ini Gus Yahya ditemani oleh Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla beserta Wasekjen PBNU Najib Azca.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua