Denpasar, NU Online
Di pasar buku Indonesia banyak ditemukan buku berkualitas dan inspiratif yang bisa bermanfaat bagi pembaca. Namun sayangnya harga buku tersebut cenderung mahal dan tak terjangkau daya beli masyarakat yang masih terbilang lemah. Salah satu solusi yang dapat ditempuh adalah mencetak buku-buku dengan harga terjangkau.
Hal tersebut disampaikan Kepala Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, Manajemen Organisasi (LKKMO), HM Zain, pada sesi kedua Seminar Penilaian Buku Pendidikan Agama dan Keagamaan untuk Memperkuat Moderasi Agama yang digelar di Denpasar, Bali, Kamis (18/10), dengan narasumber Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Balitbang Kemendikbud.
Saat beberapa kali berkunjung ke Mesir, HM Zain menemukan fenomena menarik sekaligus menginspirasi terkait dunia perbukuan. Setiap tahun digelar pameran buku berskala internasional.
“Suzanna, istri mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak mencetak buku Alfu Lailah Wa Lailah dan buku Brocklemann History of Arabic Literature (Tarikh al-Adab al-Arabi) lewat maktabah al-usrah,” katanya.
Yang hebat, harganya sangat murah. Mesir bisa melakukan itu. Mengapa kalau yang tebal itu di Indonesia mahal? "Di sana berapa jilid pun dicetak dengan harga sangat murah sehingga mahasiswa mampu membelinya," kata doktor jebolan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Menurut dia, mestinya pemerintah membantu 'mengondisikan' murahnya percetakan buku. Namun, apresiasi penulis tetap tinggi sehingga tidak terjadi "matinya" sang penulis. Selain itu, sejarah Islam yang kita baca banyak yang berdarah-darah. Mengapa bukan sejarah damai saja yang ditulis.
"Saya kira jarang orang paham tentang sejarah Islam yang damai. Misalnya, tentang Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah). Mungkin karena tidak termaktub dalam Kutub al-Sittah seperti Sahih Bukhari. Justru, dapat ditemukan di Sirah Nabi yang ditulis Ibnu Hisyam," terangnya.
Doktor Ilmu Hadis ini mengatakan, terkait mahalnya harga buku bukan salah penulisnya. Sebagaimana terjadi, hanya kelompok menengah ke atas yang mampu membeli buku tersebut lantaran harganya mahal. Mahasiswa tidak mampu beli. Di Mesir dan India, buku dicetak dua model, hardcover dan softcover.
Meski Mesir negara miskin, bookfair atau pameran buku, di sana Ma’radl namanya, setiap tahun digelar besar-besaran. Setiap hari buku terbit di Mesir. Tradisi kritik-mengkritik hidup di sana. Buku berbalas buku. Kritik tidak hanya selesai di mimbar khutbah. "Kita belum menemukan ini di Indonesia. Kita berharap di sini bisa terjadi demikian," ujarnya.
Oleh karena itu, ia berkomitmen untuk kegiatan penilaian buku mendapat porsi anggaran tertinggi. "Bagi saya, untuk buku visinya jelas, yakni bisa menyelamatkan bangsa,” tegas dewan pakar PP Pergunu ini. (Musthofa Asrori/Ibnu Nawawi)