Gerakan Perempuan Muda Bergeser ke Pola Tanpa Pemimpin Tunggal dan Tersebar di Berbagai Wilayah
Rabu, 24 Desember 2025 | 20:30 WIB
Koordinator Lingkar Studi Feminis (LSF) Eva Nurcahyani dalam Diskusi Merawat Ingatan, Membangun Kekuatan Bersama Bangun Politik Perempuan Muda Banten di Kedai Wajah Pribumi, Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (24/12/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online
Koordinator Lingkar Studi Feminis (LSF) Eva Nurcahyani menilai gerakan perempuan hari ini mengalami pergeseran pola, dari gerakan terpusat menuju gerakan yang bersifat rizomatik atau rimpang yaitu tanpa figur pemimpin tunggal dan tersebar di berbagai wilayah. Pola ini dinilai menjadi ciri kuat gerakan sosial kontemporer, khususnya yang digerakkan oleh anak muda.
Eva menjelaskan, gerakan perempuan saat ini berbeda dengan gerakan pada era 1998 yang cenderung terpusat dan terkonsolidasi dalam satu barisan besar melawan rezim. Kini, gerakan perempuan muda tumbuh secara spontan, tersebar, dan tidak selalu terikat dalam satu struktur organisasi formal.
“Gerakan hari ini bersifat rizomatik, leaderless, dan tidak bertumpu pada penokohan. Tantangannya adalah bagaimana kita mengonsolidasikan gerakan-gerakan yang tersebar ini untuk melawan rezim, karena musuh kita satu, bukan sesama gerakan,” ujar Eva dalam dalam Diskusi Merawat Ingatan, Membangun Kekuatan Bersama Bangun Politik Perempuan Muda Banten di Kedai Wajah Pribumi, Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (24/12/2025).
Eva menjelaskan, LSF memilih untuk memulai penguatan gerakan di tingkat wilayah, khususnya di Provinsi Banten, sebelum mendorong konsolidasi di tingkat nasional. Secara politik, gerakan sosial menghadapi banyak tantangan sehingga penguatan basis lokal menjadi langkah strategis.
Eva menuturkan bahwa LSF di Banten bersama jejaring anak muda membentuk sejumlah kolektif dengan nama yang berbeda, seperti Puan Tara di Tangerang Raya, Lingkar Puan Pandeglang, dan Lintas Setara di Serang Raya.
“Penggunaan nama yang berbeda juga menjadi strategi. Kita belajar dari sejarah, ketika semua organisasi memakai nama yang sama, justru mudah dibredel. Hari ini kriminalisasi terhadap anak muda masih terjadi, sehingga ini menjadi bagian dari refleksi gerakan,” jelas Eva.
Selain penguatan kolektif wilayah, LSF menaruh perhatian serius pada maraknya kekerasan berbasis gender online (KBGO), antara lain doxing dan penyebaran konten intim tanpa persetujuan. Eva menyebut, LSF telah memiliki kanal aduan serta standar operasional prosedur (SOP) penanganan dan pendampingan kasus.
Sejak 2019, LSF bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta dalam membangun posko bantuan hukum untuk pendampingan kasus, baik litigasi maupun non-litigasi, termasuk bagi korban KBGO di internal LSF maupun jejaring di Banten.
“Paling tidak, kita punya panduan untuk penanganan dan pencegahan kekerasan berbasis gender online di masing-masing organisasi,” katanya.
Sementara itu, Direktur Institute for National and Democracy Studies (INDIES) Kurniawan Sabar menilai pola gerakan yang spontan, kreatif, dan adaptif bukanlah hal baru dalam sejarah gerakan perempuan di Indonesia.
Ia menuturkan bahwa sejak era kolonial Hindia Belanda, gerakan perempuan telah tumbuh secara sporadis dan lokal, terutama di basis produksi seperti pertanian.
“Gerakan perempuan lahir dari kesadaran atas penindasan dan pengisapan, terutama akibat penguasaan alat produksi. Polanya mirip dengan hari ini, tersebar dan lokalistik,” ujar Kurniawan.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa gerakan yang hanya tumbuh secara sporadis tidak cukup untuk memenangkan perjuangan. Merujuk pada sejarah Gerwani yang lahir dari fusi beberapa organisasi perempuan, Kurniawan menegaskan pentingnya persatuan dalam skala nasional.
“Kalau kita ingin menang, kita harus bersatu secara nasional. Sistem yang menindas perempuan hari ini adalah hasil konsolidasi politik ekonomi nasional yang terhubung dengan kapitalisme monopoli internasional,” tegasnya.
Menurut Kurniawan, tantangan gerakan perempuan saat ini bukan hanya soal pertumbuhan jumlah gerakan, tetapi soal kebersatuan untuk mengakhiri akar penindasan dan pengisapan, khususnya monopoli atas alat produksi seperti tanah dan kapital.
Ia juga mengkritik bahwa Indonesia belum pernah sepenuhnya menuntaskan satu fase penindasan menuju fase pembebasan, baik dari kolonialisme, feodalisme, maupun kapitalisme. Akibatnya, diskriminasi terhadap perempuan terus berlangsung di berbagai sektor kehidupan.
“Di bidang apa pun, perempuan akan tetap menghadapi situasi diskriminatif karena akar penindasan itu tidak pernah diselesaikan,” ujarnya.