Narasi Feminis dan Perjuangan Pekerja Rumah Tangga Saling Berkaitan Erat
NU Online · Ahad, 16 November 2025 | 20:45 WIB
Penanggung Jawab Program Penelitian di Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati, dalam Diskusi Ngobrol Santai Pentingnya Narasi Feminis yang diselenggarakan Jakarta International Literary Festival di Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (16/11/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Penanggung Jawab Program Penelitian di Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati menuturkan bahwa narasi feminis yang ia pahami hari ini berakar dari pengalamannya mengorganisasi buruh sejak masih berusia 19 tahun.
Vivi mengingat masa ketika ia terjun ke lapangan, tinggal di rumah-rumah buruh perempuan, mendengar kisah tentang jam kerja panjang, pemeriksaan tubuh yang merendahkan, serta beban kerja tanpa batas.
“Narasi feminis itu memperkuat bagaimana perjuangan buruh dan perjuangan feminis tidak bisa dipisahkan, karena keduanya sama-sama bicara tentang kemerdekaan perempuan,” ujarnya dalam Diskusi Ngobrol Santai Pentingnya Narasi Feminis yang diselenggarakan Jakarta International Literary Festival di Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (16/11/2025).
Vivi menjelaskan bahwa perjuangan untuk memperoleh jam kerja yang manusiawi, membuka ruang istirahat, dan kesempatan bersosialisasi merupakan bagian dari perjuangan feminis.
“Perempuan tidak akan merdeka kalau waktunya habis untuk bekerja tanpa jeda, baik di pabrik maupun di rumah,” tambahnya.
Senada, Perwakilan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Yuni Sri menegaskan bahwa narasi feminis yang ia kenali justru setelah bergabung dalam organisasi pekerja rumah tangga.
Yuni menceritakan, banyak PRT tidak menyadari bahwa mereka memiliki hak-hak dasar sebagai pekerja, mulai dari upah layak hingga perlindungan dari kekerasan.
Dalam kesehariannya, Yuni pernah mengalami diskriminasi, ketidakadilan ekonomi, kekerasan fisik, serta pelecehan seksual.
“Banyak yang pikir pekerjaan PRT itu aman-aman saja, padahal kami bekerja di ruang domestik yang tidak aman dan tertutup. Saya pernah mengalami diskriminasi, ketidakadilan secara ekonomi, kekerasan fisik, hingga kekerasan seksual,” ungkapnya.
Yuni menjelaskan, melalui organisasi, para PRT belajar menulis, mendokumentasikan pengalaman, dan menjadikan cerita mereka sebagai kampanye publik. Tulisan-tulisan itu kemudian diterbitkan, termasuk dalam buku Kami Tidak Akan Diam, yang menjadi ruang bagi PRT menyampaikan suara mereka secara langsung.
“Tanpa menulis, masyarakat tidak akan tahu penderitaan PRT. Menulis adalah cara kami bersuara,” kata Yuni.
Dalam kesempatan ini, Yuni juga mengingatkan perjuangan 21 tahun RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang belum juga disahkan. Menurutnya, hambatan ini menunjukkan betapa negara masih belum mengakui PRT sebagai pekerja yang layak mendapatkan perlindungan hukum.
“Setiap hari, selalu ada PRT yang mungkin membutuhkan pertolongan. Inilah mengapa kami terus berjuang,” tegasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua